Beban Ganda Penyandang Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia Selama Pandemi

Laporan Kasus kesehatan mental melonjak di Indonesia selama pandemi Covid-19

Sama seperti kebanyakan orang, Bintang Adamas tak mengira 2020 akan semuram ini. Pandemi Covid-19 yang seolah hidup berdampingan dengan umat manusia selama kurang lebih 10 bulan terakhir, membikin segala yang ideal ketika dibayangkan seketika sirna.

Yang ada di kepala tinggal satu perkara; bagaimana cara bertahan di tengah abu-abu nasib yang berkelindan dengan kabar orang-orang kehilangan pekerjaan, korban yang terus berjatuhan, maupun laju infeksi yang terlihat mustahil dikendalikan.

Videos by VICE

Bagi Bintang, kenyataannya lebih gelap daripada hitung-hitungan di atas kertas. Pasalnya, Bintang mesti beradu hadap dengan gangguan bipolar yang diidap sejak empat tahun belakangan.

Berstatus sebagai penyandang bipolar di masa biasa saja bukan persoalan mudah, terlebih saat situasi pandemi. Bintang harus melewan kondisi mentalnya yang tak stabil lantaran terjadi perubahan mood, sebagaimana lazimnya dialami penyandang bipolar.

“Bipolar itu ada kecenderungan buat manic depressive. Nah, kalau [yang ada] di gue itu lebih ke mellow-nya,” kata lelaki 26 tahun ini kepada VICE.

Oleh psikiater tempat dia pertama kali berobat, Bintang diberi resep mengonsumsi Benzodiazepin guna mengatasi gejala tekanan emosi, kecemasan, atau susah tidur. Harapannya, Benzodiazepin mampu memberi Bintang ketenangan.

Tapi Bintang tak merasa nyaman bila harus bergantung dengan obat dalam jangka waktu yang lama. Lebih-lebih, menurutnya, anjuran yang diberikan psikater terasa terburu-buru.

“Pergi ke psikiater merupakan pengalaman pertama kali gue mencari mental help. Jadi, sempet ragu waktu dikasih resep untuk Benzo secara langsung,” tuturnya.

Akhirnya, Bintang memutuskan tak mengonsumsi obat. Prinsipnya adalah sebisa mungkin penggunaan obat-obatan menjadi jalan paling ujung, andaikata kondisinya makin memburuk. Sebagai gantinya, Bintang mencari second opinion dari psikolog.

“Untungnya sama psikolog ini membantu dan enggak pernah di-refer ke psikiater sama psikolog-psikolog yang gue datengi,” imbuhnya.

Waktu berjalan. Perlahan, Bintang mulai bisa beradaptasi. Dia mengaku beruntung punya support system yang mengerti kondisinya, dari pacar maupun teman-teman satu pergaulan. Jika Bintang membutuhkan ‘tempat’ keluh kesah, mereka yang jadi tujuannya.

“Gue merasa support system gue sangat memahami kondisi gue yang kayak gini,” jelasnya.

Di tengah upaya menjaga kewarasan diri itulah, kegelapan kembali datang. Akhir Agustus, salah satu kerabatnya terpapar Covid-19 dan kemudian meninggal. Kabar tersebut tak ubahnya terjaman keras untuk Bintang, membikin kondisi mentalnya semakin terpuruk.

Guna mengurangi tekanan yang ada, Bintang dan kedua orangtuanya memutuskan untuk melakukan tes. Hasilnya: negatif. Agar lebih meyakinkan lagi, tes yang kedua pun dijalankan.

Ternyata orangtua Bintang resmi positif tertular virus corona. Bintang mengaku kabar itu menjadi fase terburuknya selama pandemi. “Gue yang udah kayak matiin otak aja. Yang penting gue lihat dan nyelesein dulu masalah yang ada di depan mata gue,” ucap lelaki yang bekerja sebagai fotografer ini.

Bintang kembali jatuh dalam lubang yang paling bawah, seperti saat dia menyadari mengidap bipolar dulu. Pikirannya menerawang hingga kemungkinan yang paling terburuk, mengingat orangtuanya, terutama sang ayah, punya penyakit bawaan hipertensi dan parkinson.

“Gue sampai yang expect the worse,” akunya.

Masalah bertambah kompleks tatkala kedua orangtuanya tak bersedia dibawa ke rumah sakit. Di titik ini, Bintang sempat beberapa kali terlibat debat panjang, yang juga menguras emosinya, untuk menyakinkan kedua orangtuanya bahwa kendati tanpa gejala, penanganan rumah sakit merupakan prioritas yang tak bisa ditampik.

Bintang sadar segala perdebatan dengan orangtuanya justru membuat usahanya seolah tak produktif. Namun, Bintang tak dapat mengelak. Dia tak ingin kondisi orangtuanya memburuk karena Covid-19 sudah pasti memburuk bila tak cepat ditangani.

Akhirnya, jalan pintas lain ditempuh. Bintang bersama kakak-kakaknya berhasil membawa orangtua mereka ke RS guna menjalani perawatan.  “Bokap sama nyokap sedikit gue ‘tipu’ supaya masuk ke RS,” ujarnya seraya tertawa. “Mereka awalnya protes [kenapa dirawat di RS], tapi makin ke sini mereka diem.”

Usai menjalani perawatan, keadaan kedua orangtua Bintang pun membaik, sebelum kemudian dinyatakan sembuh dari Covid-19.

Sejak kasus positif Covid-19 pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada Maret 2020, kondisi langsung berbalik. Indonesia keteteran menghalau penyebaran virus yang bermula dari Wuhan, Tiongkok. Lonjakan kasus yang begitu signifikan tak diimbangi dengan langkah mitigasi—maupun solusi—tepat guna. Ratusan ribu penduduk Indonesia positif tertular, nyaris 12 ribu pasien meninggal. Jumlah penularan Covid-19 diyakini masih lebih besar lagi, mengingat kemampuan pelacakan oleh pemerintah tidak maksimal.

Situasi ini tak pelak membikin banyak orang dilumuri rasa takut, termasuk Bintang. Pandemi memperburuk kondisi mentalnya. “Gue hampir setiap hari merasa anxious. Dan bahkan sampai kebawa ke mimpi. Mimpi yang vivid gitu,” terangnya.

Bintang tidak sendiri mengalami masalah macam ini. Bahkan, dari perkiraan pemerintah, penderita gangguan kesehatan mental meningkat selama momen pandemi corona.

Berdasarkan hasil temuan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, ada tiga masalah kesehatan jiwa terbesar yang rentan muncul selama pandemi. Masalah terbesar adalah kesulitan berkonsentrasi atau belajar (25,76 persen), disusul stres (23,87 persen), dan gangguan kecemasan (18,85 persen).

Observasi sekitar 160 psikolog terhadap total 14.000 pasien selama April-September 2020 turut memperlihatkan munculnya ragam masalah kesehatan jiwa lain, termasuk gangguan jiwa berat seperti depresi, bipolar, hingga tendensi untuk melukai diri sendiri (self-harm).

“Pandemi ini pasti akan menimbulkan berbagai dampak psikologis,” kata Annelia Sari Sani selaku Ketua Satgas Penanganan Covid-19 di IPK Indonesia. “Sekitar minimal 25 persen populasi akan mengalami dampak yang paling berat, mungkin masalah kejiwaan atau gangguan jiwa.”

Masalahnya, lonjakan angka penderita gangguan kesehatan mental belum bisa dibarengi dengan jumlah tenaga medis dan fasilitas yang mengimbangi laporan. Human Rights Watch melansir, baru tersedia 1 psikiater untuk setiap 300 ribu penderita gangguan mental di Indonesia.

Persoalan akses layanan kesehatan mental tak hanya tentang jumlah tenaga medis. Dari 48 rumah sakit jiwa, lebih dari separuhnya terbatas di empat dari 34 provinsi. Membuat janji konsultasi kesehatan jiwa ke layanan dasar seperti puskesmas kini butuh waktu karena antrean pasien. Sementara bila ke lembaga swasta, ongkosnya bisa lebih dari Rp1 juta per bulan.

Maka, lagi-lagi, penyandang problem kesehatan mental pertama-tama harus mengandalkan support system keluarga dekat. Bintang, yang selama ini mengandalkan jejaring keluarga dan teman dekat tadi, harus merelakan semua interaksi yang selama ini membantunya melalui momen gelap tak lagi dilakukan tatap muka.

“Pasti ada yang kurang. Tapi, mau gimana lagi,” ucapnya, pasrah. Seperti pengidap masalah kesehatan mental lain, Bintang hanya bisa berharap pandemi segera berlalu.


Laporan ini adalah hasil kolaborasi antara VICE Indonesia dan Asumsi.co menyorot tema penanganan kesehatan mental di Tanah Air. Kami menemui sejumlah narasumber, dari psikolog, psikiater, pejabat pemerintah, hingga penyintas untuk mengurai masalah kesehatan mental selama pandemi. Laporan lain dalam seri ini membahas problem akses konseling selama pandemi dan minimnya jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia.

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram