Revisi UU ITE

Pemerintah Diminta Aktivis Tunda Bikin Pedoman UU ITE dan Utamakan Revisi

Pedoman ini menggantikan opsi revisi yang dituntut masyarakat. Ahli hukum menganggap pedoman tak selesaikan masalah karena sifatnya boleh dipakai, boleh tidak.
Batal lakukan revisi, Pemerintah Berniat Bikin Pedoman Tafsir UU ITE
ILUSTRASI BELENGGU KEBEBASAN BEREKSPRESI OLEH OLEH BOBBY SATYA RAMADHAN

Tim kajian revisi UU ITE bentukan pemerintah memutuskan tidak merevisi pasal karet di UU bermasalah tersebut. Setelah tiga bulan bekerja sejak dibentuk Menko Polhukam pada 22 Februari lalu, tim memilih menyusun pedoman penerapan UU ITE.

Iklan

Dalam oerkembangan terbaru, ketua tim kajian revisi UU ITE Sugeng Purnomo tengah menjadwalkan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, dan Kejaksaan Agung, sebagai landasan pembuatan pedoman penerapan UU ITE.

“Kami sedang mempersiapkan jadwal untuk penandatanganan SKB-nya, tentang pedoman implementasinya [UU ITE]. Setelah ditandatangani maka kita mencoba melakukan sosialisasi kepada ketiga aparat hukum ini. Nanti, Kemenkopolhukam mencoba untuk ikut memfasilitasi pelaksanaan sosialisasi ini sehingga tidak lagi terjadi berbagai persoalan terkait penerapan UU ITE yang selama ini terjadi,” ujar Sugeng dalam konferensi pers, 22 Mei lalu.

Sikap cuek pemerintah terhadap suara publik yang menginginkan revisi membuat kelompok sipil bernama Koalisi Serius Revisi UU ITE mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mendesak pemerintah menunda penandatanganan SKB tersebut.

“Koalisi menilai bahwa dalam UU ITE, yang menjadi salah satu pokok permasalahannya adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum yang tercantum dari pasal-pasal yang selama ini lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara. Sedangkan, pedoman dibutuhkan untuk menegaskan kembali aturan yang telah ada. Sehingga, penerbitan pedoman dalam merespons polemik UU ITE justru merupakan langkah yang keliru,” tulis koalisi dalam rilis pers yang diterima VICE, pada Senin (24/5).

Iklan

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri atas 23 organisasi sipil, beberapa di antaranya Amnesty International Indonesia (AII), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), KontraS, Paguyuban Korban UU ITE, Remotivi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Selain menyatakan pembuatan pedoman bukan jawaban problematika UU ITE, koalisi juga mempertanyakan langkah tim kajian revisi UU ITE yang bermaksud menambah pasal pidana baru dalam UU ITE. Tambahan ini dinamai Pasal 45C, berisi ancaman pidana untuk “kabar bohong yang menimbulkan keonaran”. Pasal ini dikritik karena definisi “kabar bohong” dan “menimbulkan keonaran” dianggap tidak cukup ketat. Jadi alih-alih memangkas pasal karet yang sudah, kerja tiga bulan tim ini menghasilkan pasal karet baru.

Secara keseluruhan, koalisi ini mendesak empat hal. Pertama, menunda rencana penandatanganan SKB. Kedua, membuka akses dokumen SKB kepada publik untuk mengundang masukan masyarakat. Ketiga, melibatkan Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kemenkumham untuk mengevaluasi implementasi UU ITE selama ini. Keempat, memperhatikan aspirasi masyarakat terhadap UU ITE.

Sebelumnya pada 9 Maret, beberapa anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE telah diundang Kemenko Polhukam untuk memberi masukan. Saat pertemuan, Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menceritakan fakta di lapangan dan menilai pemerintah tidak hanya perlu interpretasi UU ITE, melainkan juga harus merevisi pasal bermasalah.

Iklan

“Kami baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong, Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan ketua KAN [Kerapatan Adat Nagari] yang telah merampas hak-hak warga. UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian,” ujar Damar dalam rilis pers yang diterima VICE, Maret lalu.

Pasal karet UU ITE yang penting direvisi menurut catatan SAFEnet adalah Pasal 26 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a, Pasal 40 ayat 2b, dan Pasal 45 ayat 3.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan pedoman tafsir UU ITE tidak akan mengikat kuat dalam penerapannya. Pasalnya, kekuasaan kehakiman bersifat bebas dari intervensi apa pun. “Secara yuridis tidak mengikat kekuasaan menyidik dan menuntut, sekalipun dua-duanya di bawah eksekutif/Presiden. Pedoman bersifat tidak mengikat dan boleh digunakan, boleh juga tidak,” kata Abdul kepada Lokadata

Pada 2020, AII mencatat setidaknya ada 119 kasus dugaan pelanggaran hak kebebasan berekspresi yang menimpa 141 korban sebagai tersangka UU ITE, di antaranya 18 aktivis dan 4 jurnalis.