UU tentang Provinsi Sumatera Barat tersebut disahkan DPR RI pada 30 Juni 2022. Beleid ini belum bernomor karena masih dalam proses diundangkan, drafnya bisa dibaca di sini. Bersama dengan UU Sumbar, di hari yang sama DPR RI juga mengesahkan 4 UU lain, masing-masing tentang Provinsi Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Total 5 UU ini adalah pengganti UU 6/1958 mengenai penetapan sejumlah provinsi.
Meski tidak disahkan sendirian, UU Sumbar paling disorot karena keberadaan satu pasal yang diduga membolehkan provinsi ini berlandaskan syariat Islam, seperti Aceh. hal itu termaktub dalam Pasal 5 ayat c.
Videos by VICE
Pasal 5 menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Barat memiliki 3 karakteristik, salah satunya (Pasal 5 ayat c): “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Pasal tersebut memicu tafsir bahwa ciri Sumatera Barat adalah adat Minangkabaunya, persisnya lagi pada filosofi “adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Al-Qur’an”. Diskusi publik terjadi. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang mengapresiasi pasal ini karena mengakui filsafat hidup Suku Minangkabau. Di pihak lain, ada kekhawatiran pasal ini membolehkan pemda di Sumbar merilis perda syariat Islam, yang bisa saja diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.
Kekhawatiran ini ada presedennya. Pada 2021 silam, SMKN 2 Padang menjadi sorotan karena mewajibkan siswi beragama Kristen Protestan memakai jilbab. Kasus ini sampai menuai teguran Mendikbud Nadiem Makarim. Usut punya usut, aturan tersebut cuma melanjutkan Instruksi Wali Kota Padang pada 2005.
Meski Sumbar didominasi penduduk muslim (5,4 juta), masih dihuni pemeluk agama lain. Rinciannya, Kristen Protestan (80 ribu), Katolik (46 ribu), Hindu (93), Buddha (3 ribu), Konghucu (8), dan kepercayaan lainnya (265). Selain itu tak semua dari 19 kabupaten/kota di Sumbar didominasi penduduk muslim. Satu kabupaten, yakni Kepulauan Mentawai, dihuni penduduk yang mayoritas memeluk Kristen Protestan, kemudian Katolik, baru Islam.
Guspardi Gaus, anggota DPR RI asal Sumbar yang turut mengesahkan UU ini, menampik bahwa UU ini menjadikan Sumbar menjadi daerah istimewa seperti Aceh. Ia mengingatkan bahwa di bagian penjelasan UU sudah disebut bahwa pelaksanaan filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” tetap berlandaskan nilai Pancasila dan dalam kerangka NKRI.
“Kita negara hukum, segala sesuatu berkaitan hukum yang sudah ditetapkan DPR bersama pemerintah. Koridornya di sana. Dia bagian NKRI, tidak boleh berdiri di luar daripada filosofi ideologi Pancasila dan UUD 1945,” ujar Guspardi, dilansir CNN Indonesia.
Feri Amsari, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, juga meyakini UU Sumbar tidak otomatis memunculkan perda syariat Islam. “Sepanjang yang aku baca, cuma dalam rangka menjelaskan karakter masyarakatnya. Dalam UU itu disebut, ABS-SBK [adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah] itu dengan landasan Pancasila. Tidak bisa seperti Aceh yang pasti,” kata Feri kepada CNN Indonesia.
Masih kepada CNN Indonesia, pakar hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Wiwik Budi Wasito, meyakini sebaliknya. Menurutnya UU ini membolehkan pemda-pemda di Sumbar mengeluarkan aturan berlandaskan syariah, selama masih sesuai Pancasila. Namun, Wiwik tidak menilai perda syariah sebagai hal buruk.
Aktivis HAM Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengingatkan bahwa eksekutif dan legislator di Sumbar harus menjaga agar UU Sumbar tidak digunakan untuk membuat peraturan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap minoritas agama dan kepercayaan, perempuan, serta individu LGBT. Ia juga mendorong kebijakan lama yang kadung diskriminatif, agar segera dikoreksi.
“Di Sumatera Barat, sudah ada peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas agama, gender, maupun seksualitas, termasuk aturan wajib jilbab oleh Gubernur Sumbar Zainal Bakar sejak 2002. Ia diskriminatif terhadap anak dan perempuan karena mereka yang dianggap tidak taat pada aturan wajib jilbab punya risiko dikeluarkan dari sekolah negeri maupun pekerjaan sektor negara,” ujar Andreas saat dihubungi VICE.
“Aturan-aturan ini seharusnya ditinjau ulang dan dicabut bila terbukti diskriminatif terhadap minoritas agama, gender, dan seksualitas,” tambah Andreas.
Bagaimanapun, tak perlu menjadi provinsi khusus atau punya UU tertentu agar bisa merilis perda syariah. Pada 2019 lalu, peneliti politik University of London’s School of Oriental and African Studies Michael Buehler mengatakan kepada DW bahwa ada 700 perda syariah yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal kita hanya mengenal satu “provinsi syariah” di Indonesia.
Contoh perda syariah di provinsi non-syariah bisa dijumpai di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tahun lalu Warta Parahyangan melaporkan bahwa pemda Cianjur mengharuskan siswa-siswi muslim yang akan melanjutkan ke jenjang SMP untuk memiliki ijazah lulus madrasah diniyah, pendidikan agama Islam di luar jam sekolah. Perda ini mengindikasikan pemerintah daerah leluasa mengintervensi proses berkeyakinan seseorang. Waktu diminta penjelasan, kepada BBC Indonesia Plt. Bupati Cianjur Herman Suherman berdalih aturan itu berasal dari “nilai kultural masyarakat” yang diperlukan di tatanan pemerintahan.