Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.
Donald Trump berhasil memenangkan pemilu AS antara lain karena janjinya untuk memperbaiki ekonomi negara Paman Sam tersebut. Namun sekarang para pendukung Trump punya alasan untuk khawatir apakah presiden pilihan mereka tersebut akan menetapi janjinya.
Videos by VICE
Mulai dari ‘kesepakatan di bawah tangan’ dengan perusahaan-perusahaan tertentu, perubahan hukum anti-nepotisme, hingga menempatkan orang-orang super kaya tanpa pengalaman dunia politik di jajaran Kabinetnya, transisi ke pemerintahan Trump mengkhianati aturan dan norma yang lebih dari setengah abad telah membentuk perekonomian AS—dan budaya AS itu sendiri. Pemerintahan baru ini sepertinya memunculkan paham baru: sistem berdasarkan pertemanan atau kronisme.
“Secara sadar atau tidak, Trump tengah menciptakan kondisi di mana kapitalisme berdasarkan pertemanan atau korupsi terang-terangan bisa berkembang,” kata Simon Johnson, seorang profesor ekonomi di MIT yang juga mantan ketua ahli ekonomi di International Monetary Fund (IMF).
Para ahli ekonomi mengatakan bahwa sistem Trump ini berbahaya bukan hanya karena resiko terjadinya korupsi, tapi juga dapat merusak mekanisme dasar perekonomian AS dan menciptakan insentif yang lebih kuat bagi perusahaan untuk ‘mencari muka’ di depan pemerintahan daripada memenangkan konsumen lewat efisiensi dan inovasi.
Perilaku seperti ini disebut ahli ekonomi sebagai “rent-seeking.” (Dalam teori ekonomi klasik, ‘rent’ didefinisikan sebagai keuntungan finansial lebih tinggi yang bisa didapat dibandingkan dari bersaing di pasar yang kompetitif.) Memang elemen rent-seeking selalu ada dalam perekonomian—di AS, biasa disebut aksi ‘melobi’. Namun apabila tidak diawasi, rent-seeking bisa berkembang dan mengubah perekonomian yang sehat menjadi sistem kapitalisme yang sekedar berdasarkan pertemanan.
Para pengkritik hubungan dekat—dan kadang melibatkan korupsi—antara pemerintah AS dan perusahaan-perusahaan biasanya menyebut hubungan ini sebagai “kapitalisme kroni.” Memang tidak ada satu istilah yang digunakan secara universal.
Namun bagi mereka yang mempelajari kronisme secara mendetail—biasanya kronisme macam ini muncul di perekonomian negara yang taat hukumnya masih lemah—ada beberapa faktor penanda sistem penuh kronisme.
Perekonomian kronisme melibatkan sebagian kecil pihak yang diuntungkan karena adanya hubungan pribadi “yang didasarkan akan kepercayaan, loyalitas, hubungan keluarga, dan jaringan sosial yang erat,” ungkap seorang ahli akademis ketika mengkaji topik ini. Dalam sebuah makalah yang dipublikasikan 2014, penulis Paul Dragos Aligica dan Vlad Tarko menjelaskan bahwa “elemen kunci kapitalisme berbasis kroni adalah struktur pencarian rente yang dominan dan dilegitimasi oleh alat-alat ideologi populisme.”
Tidak sulit untuk melihat bahwa tanda-tanda kapitalisme kroni jelas ada dalam tim administrasi Trump yang baru akan lahir.
Dalam kasus-kasus ekstrem, perekonomian berbasis kroni biasanya dikendalikan oleh kaum elit politik. Contohnya Rusia: teman-teman dekat Presiden Rusia Vladimir Putin adalah bos-bos perusahaan minyak dan gas negara yang mengendalikan perekonomian negara tersebut. Atau di negara kita sendiri, Indonesia. Masih ingat ketika anggota keluarga Cendana mengendalikan hampir semua sektor perekonomian negara di masa kepemimpinan Soeharto yang berakhir di tahun 1998?
Memang “Trump-isme” tidak akan segitu parahnya mengingat AS mempunyai barisan institusi yang solid dan tidak punya sejarah mengadopsi kepemimpinan ala diktator. Namun tetap saja transisi pemerintahan Trump terlihat jauh berbeda dibanding pemerintahan-pemerintahan AS sebelumnya. Seakan sedang menguji hukum anti-nepotisme negara adidaya tersebut, Trump berencana membawa anggota keluarga—anak perempuannya Ivanka dan suaminya Jared Kushner dan asosiasi-asosiasi bisnis mereka yang rumit—untuk tinggal di Gedung Putih. Selain pembentukan kabinet yang mencurigakan, Trump juga sempat mengumumkan bahwa akan ada ‘posisi-posisi spesial’ bagi partner bisnisnya dan pendukungnya yang kaya, bahwa mereka akan berpengaruh terhadap kebijakan negara—yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan komersil.
Contohnya, mantan kandidat presiden AS Rudolph Guiliani, yang memang merupakan pendukung Trump, diberikan posisi sebagai penasihat keamanan dunia cyber. Perlu diingat bahwa Guiliani mempunyai perusahaan bisnis konsultasi keamanan dunia cybernya sendiri. Carl Icahn, seorang investor Wall Street dan asosiasi bisnis Trump diberikan titel “penasihat spesial” dalam bidang perombakan regulasi biarpun sebetulnya banyak investasi pribadi milik Icahn akan naik nilainya apabila regulasi dikurangi.
Awal minggu ini, Wall Street Journal melaporkan bahwa petinggi real estate New York yang tajir, Richard LeFrak dan Steven Roth akan diberikan wewenang untuk mengurusi dana yang digunakan untuk pengembangan infrastruktur di bawah pemerintahan Trump. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka yang dipilih.
Jangan lupakan juga tweet-tweet pribadi Donald Trump yang kerap mempengaruhi perekonomian dunia. Dia kerap melontarkan pujian dan ancaman ke figur-figur publik dan perusahaan besar lewat aplikasi yang membatasi postingan sebanyak 140 karakter tersebut.
Keputusan besar pertama yang diambil Trump pasca memenangkan pemilu adalah bertransaksi dengan perusahaan AC Carrier agar mereka tidak memindahkan pabrik mereka dari Indiana ke Meksiko. Tentunya tidak ada yang menentang keputusannya untuk menyelamatkan mata pencaharian penduduk AS, tapi ahli ekonomi kebingungan dengan cara Trump melakukan perjanjian ad hoc dengan sebuah perusahaan untuk mencapai tujuannya. Hukum hanya akan berjalan apabila diberlakukan ke semua orang dan perusahaan secara adil, tanpa kecuali.
“Cara Trump menerapkan hukum selama ini tidak mempromosikan kebijakan baru ke semua orang, tapi justru secara spesifik menawarkan insentif atau mengancam pihak-pihak tertentu—karena takut mereka akan membelot—adalah bentuk sistem kapitalisme berbasis kroni,” jelas Luigi Zingales, profesor ekonomi University of Chicago saat diwawancarai Bloomberg News ketika berita seputar perjanjian Carrier tersebut terungkap.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kapitalisme kroni ini sebetulnya bisa membantu perekonomian sebuah negara dengan definisi hak milik yang belum jelas; membagi profit perusahaan ke figur yang kuat dapat mencegah adanya perampasan sewenang-wenang oleh pihak negara. Biarpun begitu, ada alasan mengapa ahli ekonomi tidak menyarankan kapitalisme kroni secara umum: seiring waktu berjalan, sistem ini akan menghancurkan perekonomian karena pengusaha dikecilkan, inovasi tidak didukung, sehingga level produktifitas ekonomi berkurang.
Lalu apa yang akan terjadi di AS apabila kronisme berkuasa? Gak ada yang tahu, karena belum banyak contoh negara kaya raya seperti AS yang berpaling dari demokrasi dan kapitalisme terbuka dan kemudian menganut sistem kronisme dan dipimpin oleh figur yang mendominasi.
Ahli ekonomi mengatakan bahwa negara yang sempat mengalami situasi yang mirip paling hanya Argentina. Satu abad yang lalu, Argentina merupakan salah satu dari 10 negara terkaya di dunia, dengan pendapatan rata-rata di atas Perancis, Jerman dan Italia. Namun ketika Depresi Besar terjadi, Argentina mengubah sistem pemerintahannya. Selama tujuh dekade, negara tersebut mengadopsi demokrasi konstitusional dan dipimpin seorang warga sipil.
Negara tersebut diambil alih oleh Junta militer yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dengan cara mengutamakan produksi domestik di atas barang impor dan memperketat peraturan imigrasi. Mundurnya Argentina dari perdagangan internasional dan sistem demokrasi menyebabkan negara ini menderita dari kapitalisme kroni, perekonomian yang lemah, krisis finansial periodik dan perebutan kekuasaan selama beberapa dekade. Amerika Serikat harusnya belajar dari kasus Argentina ini.
“Kebijakan semacam ini tidak pernah berakhir baik dalam sejarah,” jelas Raymond Fisman, seorang profesor ekonomi dari Boston University yang mendalami korupsi.