Barangkali tidak banyak es krim mencapai status ‘cult’ seperti Viennetta yang diproduksi Wall’s. Ada petisi publik menuntut es krim ini diproduksi kembali untuk pasar Indonesia, sampai kemudian muncul “investigasi” yang menjawab mengapa, sejak dua minggu resmi dipasarkan ulang, Viennetta tetap sulit ditemukan di pasaran.
Berbagai kehebohan mengenai Viennetta ini bermula dari petisi yang dibuat oleh Pramirtha Sudirman di platform Change.org September dua tahun lalu. Dari bentuknya, es krim berwujud cake itu memiliki tekstur rumit. Terkesan mewah. Harganya juga di atas es krim lain. Viennetta diciptakan Wall’s pada 1982 mereplikasi es krim vanilla ala Italia yang disemprot coklat berlapis.
Videos by VICE
Dia menuntut Wall’s merilis ulang es krim “mahal” tersebut ke pasaran Indonesia. Alasannya adalah nostalgia. Ketika Viennetta masih dijual, banyak anak generasi 90’an tidak mampu membelinya. Es krim inipunya citra jajanan kelas menengah ke atas. “Bokap nyokap lebih milih untuk nabungin uang yang bisa dibeli es krim Viennetta buat bayar bimbel,” tulis Pramirtha.
Masalahnya, ketika generasi 90’an kini sudah bekerja dan punya uang membelinya, Viennetta tak lagi tersedia di pasaran. Siapa sangka, kegundahan Pramirtha dirasakan banyak orang. Petisi itu didukung oleh 75 ribu orang.
Ketika akhirnya pada 1 April 2020 akun media sosial Wall’s Indonesia mengumumkan bila Viennetta resmi dijual kembali, netizen pun menggila (meski ada juga yang gedeg).
Sayangnya, seperti lazimnya efek budaya konsumerisme seperti ini, permintaan pasar yang tinggi memicu berbagai kegaduhan.
Banyak orang yang mengunggah konten perjuangan mereka mencari Viennetta. Tak sedikit yang mengeluh karena es krim itu, yang dijanjikan Wall’s tersedia di supermarket dan minimarket mulai 2 April, ternyata sangat sulit dicari. Satu netizen mengklaim Viennetta lebih mudah ditemukan di grup-grup WhatsApp dengan harga lebih mahal dari banderol resminya Rp50 ribu. Intinya, lebih banyak yang gagal mendapat Viennetta dibanding yang berhasil.
Satu akun di Instagram lantas menggelar “investigasi” untuk memahami kenapa es krim tersebut terkesan langka di pasaran. Dia lantas menuding, ada praktik curang menyimpan stok Viennetta di freezer, di bawah es krim lain, yang dilakukan karyawan minimarket. Dalihnya, sudah ada pembeli lain di Internet yang memesannya.
Netizen kembali sewot. Beberapa mengklaim jadi saksi penimbunan sejenis. Indomaret dan Alfamart, sebagai pihak tertuduh berusaha membela diri. Saat dikonfirmasi Kompas.com, jubir kedua perusahaan meyakinkan publik bahwa tidak mungkin mereka sengaja menimbun es krim yang terus dicari orang sekalipun sedang situasi pandemi corona.
Dari versi Direktur Marketing Indomaret Wiwiek Yusuf, kalau memang ada pemesan online, barang itu harus segera diambil. Viennetta tidak bisa dititipkan dulu di bawah freezer kepada karyawan seperti temuan di video IG yang viral.
“Barang yang dibeli atau di-struk wajib diambil oleh pembeli. Prinsipnya tidak dapat dititipkan,” kata Wiwiek.
Humas Alfamart, Nur Rachman, turut menjamin karyawannya tidak diarahkan buat menimbun. “Tidak ada anjuran dari kami untuk ‘menyembunyikan’ atau memisahkan produk di rak pajang. Meskipun produk tersebut sedang menjadi euforia masyarakat,” tandasnya.
Baik Indomaret dan Alfamart menjamin akan memberi sanksi tegas, bila dari penyelidikan internal terbukti ada karyawan yang sengaja menimbun Viennetta demi meraup keuntungan di tengah euforia masyarakat terhadap es krim tersebut.
Bagi kaum anti-hype yang tercerahkan, perburuan dan dugaan penimbunan es krim mahal macam ini terkesan menyedihkan. Sebab, satu-satunya yang untung tetap produsen es krimnya. Tapi, suka tak suka, Viennetta memang produk yang sukses mempertahankan citra sebagai produk ‘cult’ yang mengksploitasi nostalgia pembeli. Kasus seperti Indonesia juga terjadi di Australia.
Di Australia, Viennetta klasik berbentuk cake juga dianggap es krim yang hanya dimakan untuk momen-momen khusus, misalnya pesta ulang tahun. Ketika Wall’s pada 2016 kepergok menjual Viennetta versi stik dengan bentuk lebih mini hanya di London dan Beijing dengan harga lebih murah, netizen di Negeri Kanguru murka. Mereka mendesak es krim serupa dijual di pasaran. Tahun lalu, keinginan mereka terpenuhi, dan antusiasme netizen Australia menyerupai yang terjadi di Tanah Air. Sementara di Islandia, sampai muncul varian rasa viennetta mini ‘palsu’ di toko-toko, saking besarnya permintaan pasar.
Bagaimanapun, nostalgia selalu menjadi komoditas seksi untuk dieksploitasi. Kendati demikian, kita tak bisa menafikan bahwa es krim ini adalah kebahagiaan kecil yang bisa didapatkan orang di tengah pandemi. Mereka teringat pada masa-masa yang indah di masa lalu. Ketika perkara mencicipi es krim merupakan urusan penting, sebelum kita semua dijerat KPR, beban kerja, dan tekanan masyarakat untuk menikah muda.
Itulah kenapa, kelangkaan es krim ini merampas nostalgia tersebut sekalipun ketika akhirnya didapat, sebetulnya rasa Viennetta B aja.