FYI.

This story is over 5 years old.

Takhayul Populer

Kenapa Kita Dianjurkan Tidak Membicarakan Hantu di Tempat Angker?

Ini budaya di Indonesia yang aneh banget setiap ada uji nyali atau datang ke tempat yang seram: kita malah diminta tidak membahas hal-hal gaib yang dialami.
Foto ilustrasi 'tangan hantu' via akun flickr Soffie Hicks

"Takhayul Populer" adalah seri artikel VICE mengungkap akar mitos-mitos populer dari Indonesia yang masih dipercayai sampai sekarang. Klik di sini untuk membaca artikel serupa.

Saya pernah mengikuti tur horor di Lawang Sewu di pusat kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa tahun lalu. Gedung bekas perusahaan kereta api di masa kolonial Belanda yang didirikan pada 1907 tersebut menyimpan banyak misteri. Konon banyak hal yang tak bisa dijelaskan akal sehat terjadi di seantero bangunan. Intinya sudah jadi rahasia umum bahwa tempat dengan jumlah jendela mencapai 600 itu berhantu. Jadi nyaris saban malam selalu saja ada gerombolan anak muda yang main ke sana, ingin mengalami hal-hal supranatural mendebarkan. Sayang, ada satu aturan 'aneh' yang harus kita taati saat mendatangi lokasi tersebut. Jangan pernah membicarakan pengalaman supranatural atau hal-hal di luar kewajaran yang kalian lihat di Lawang Sewu. Aneh bukan. Padahal kita datang ke tempat berhantu, tapi malah dilarang membahas elemen terpenting: si hantunya itu sendiri.

Iklan

Berbekal rasa penasaran, saya tetap datang bersama beberapa orang kawan memutuskan adu nyali berkeliaran dalam gedung. Setiap rombongan ditemani seorang pemandu, yang sebelum memulai tur, menjelaskan beberapa peraturan selama kami keliling gedung. Tur tersebut terbagi menjadi dua: menjelajahi lantai dasar hingga ke lantai teratas atau mengeksplorasi ruang bawah tanah yang konon sangat luas, hingga mencapai bundaran Tugu Muda.

"Jangan bawa anak kecil atau ngobrolin soal hantu kalau lagi di sini, nanti elo bakal diikutin hantu," kata si pemandu, mengingatkan lagi soal aturan aneh yang saya jelaskan sebelumnya. Karena tak mau mencari masalah, sepanjang tur yang memakan waktu sekira satu jam tersebut kami habiskan dengan mulut terkunci. Bukannya takut, uji nyali saat itu jadi satu jam yang terasa kikuk sekali karena kita harus diam.

Bagi orang Indonesia seperti saya, sulit untuk tidak memercayai adanya hal-hal gaib. Saya percaya hantu ada meski belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri. Setidaknya berdasarkan cerita dari kawan-kawan atau anggota keluarga. Saya percaya ada dunia lain yang tak bisa dijelaskan selain yang kita tinggali ini. Tapi saya sampai sekarang masih tidak paham, apa alasannya orang Indonesia percaya membahas hantu (di tempat seram) bisa mendatangkan masalah.

Pertanyaan ini terus mengendap di benak saya. Jika hantu memang ada di dunia lain, bagaimana mereka bisa 'mampir' di dunia ini dan berinteraksi dengan manusia sehingga kita tidak boleh membicarakan 'mereka'?

Iklan

Karenanya saya membahas persoalan ini bersama Risa Permanadeli selaku Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial , lembaga penelitian di Jakarta yang fokus meneliti kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap mahluk gaib.

Hantu, menurut Risa, di negara ini dimaknakai sebagai bagian dari tatanan sikap dan kepercayaan yang mempengaruhi cara kita berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Bermacam budaya lokal di Tanah Air menempatkan mahluk gaib sebagai bagian dari kosmos yang harus ikut dipertimbangkan oleh tindak-tanduk manusia. Karena itu, keberadaan mahluk halus di negara ini tak pernah dianggap sebagai hal yang jelek atau mengganggu.

"The unseen itu selalu ada [di setiap kebudayaan]," kata Risa. "Bermacam-macam dan tempatnya berbeda-beda. Hal tersebut tidak seharusnya dilihat sebagai hal negatif."

Menurut Risa hantu bahkan dianggap sebagian kepercayaan lokal sebagai entitas sakral dan dihormati. Dengan kata lain seseorang saat berkata-kata, diharapkan tidak secara eksplisit membicarakan apalagi melecehkan mahluk halus tersebut. Itulah sebabnya, sebaiknya penampakan tidak usah dibicarakan terbuka sekalian di lokasi tempat mahluk itu diyakini tinggal.

Risa mengatakan budaya Jawa termasuk yang menempatkan mahluk halus sebagai entitas luhur, yang sebaiknya tidak dilecehkan atau disinggung. Makanya di kebudayaan Jawa, muncul istilah sing baurekso atau mereka yang berkuasa di satu tempat. Manusia adalah tamu yang datang ke wilayah mereka. Sehingga tidak membicarakan soal si hantu, adalah upaya masyarakat Jawa berusaha hidup berdampingan dengan mereka yang tak kasat mata.

Iklan

"Seperti saat anda berkunjung ke Pantai Selatan, mungkin Anda tidak akan membicarakan soal Ratu Kidul," tutur Risa.

Selain itu, dalam budaya Jawa, menghormati sebuah lokasi yang baru pertama kalian datangi adalah kewajiban. Karenanya, menurut Risa, di tempat-tempat asing atau baru yang tidak selalu angker, seseorang harus berlaku sopan dan berhati-hati dalam bertutur kata.

Jadi apa yang akan terjadi jika kita lebih memilih tak peduli dengan sekelumit mitos tersebut? Nasib buruk (atau minimal diikuti oleh si mahluk halus) konon menjadi risiko terburuk bagi mereka yang melanggar pantangan tadi. Mengingat kepercayaan supranatural masih marak di Indonesia, akhirnya anjuran tidak membahas hantu di tempat angker terus bertahan sampai sekarang.

"Hal tersebut sudah ditransmisikan dari generasi ke generasi jadi tidak dipertanyakan lagi," ujar Risa.

Toh, mitos ini, bagi mereka yang menolak percaya sama takhayul, bisa kita maknai sebagai anjuran moral menjadi orang yang sopan. Jangan jadi manusia brengsek yang banyak lagak lah di tempat orang.