Dean Sewell adalah jurnalis foto asal Kota Sydney, Australia. Dia turut mendirikan kolektif fotografi bernama Oculi. Selama 20 tahun terakhir, Sewell berkeliling dunia, mereka berbagai peristiwa memilukan lewat jepretan kameranya. Mulai dari perang di Cechnya, hingga situasi mengerikan sesudah rakyat Timor Leste mengumumkan hasil referendum yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Intinya, dia sudah biasa melihat kedegilan dan kebiadaban. Di usia yang menginjak senja, Sewell mengubah prioritas foto. Kini dia berganti memotret situasi lingkungan. Namun potretnya masih menunjukkan benang merah serupa: manusia selalu menghasilkan kepiluan akibat tindakan-tindakan egois dan bodohnya.
Videos by VICE
Mata kamera Sewell, seperti terekam dari proyek foto “El Niño” yang masih terus berjalan, menggambarkan betapa alam ini sangat indah namun senantiasa dirusak umat manusia.
VICE ngobrol bareng Sewell membahas perubahan konsep fotografinya, pengalaman yang dia dapatkan setelah kini rajin memotret situasi lingkungan, serta harapan agar karya-karyanya dapat menggerakkan publik untuk melahirkan solusi riil.
VICE: Halo Dean. Dulu kamu dikenal sebagai jurnalis foto untuk isu sosial. Apa alasanmu beralih ke topik lingkungan beberapa tahun terakhir?
Dean Sewell: Menurutku peralihan topik ini wajar sekali, dan sudah seharusnya. Isu sosial dan lingkungan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keterkaitan ini selalu ada, dengan atau tanpa kau memotretnya.
Kamu sekarang menggarap proyek kumpulan foto yang diberi judul “El Niño”. Katanya kamu sampai menempuh perjalanan 3.000 km ya. Apa saja tantangannya?
Memang untuk menggarap “El Niño” butuh banyak kerja keras. Saya keliling ke hampir semua negara bagian Australia. Ketika kamu bekerja dalam durasi sepanjang itu, fokus memang bisa gampang teralihkan. Contohnya ketika aku mengunjungi tanah yang merekah di Basin Murray-Darling yang airnya sudah memiliki kadar asam tinggi. Tingginya kandungan asam tadi akibat aktivitas manusia dan perusahaan sekitar Murray-Darling. Nah, karena sebelumnya sudah menempuh perjalanan panjang, aku tidak waspada lalu malah nyemplung begitu saja ke dalam perairan basin tersebut. Air kalau asamnya tinggi malah tampak sangat bening, seperti tidak berbahaya. Aku masuk sambil membawa kamera, terlena, lalu setelah sadar aku panik sendiri. “Anjing. Ini air asam, aku bisa mati. Apakah nasibku berakhir begini saja, mati di perairan asam antah berantah sendirian tanpa ada yang menolong?”
Untung, aku segera bisa menguasai diri, lalu keluar dari air sesegera mungkin. Aku pastikan pula kameraku aman. Seperti itulah rata-rata pengalamanku di lapangan selama memotret alam. Kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia sudah sedemikian hebatnya. Nyemplung air saja bisa nyaris membahayakan nyawamu.
Komposisi, angle dan subyek fotomu sangat menarik perhatian. Apakah kamu memandang foto sebagai karya seni?
Tentu saja. Tapi aku memilih komposisi macam itu karena sedang ingin menjangkau audiens yang berbeda dari segmen pembaca berita yang dulu kulayani. Aku ingin foto-foto soal bentang alam rusak ini bisa menjangkau pemirsa yang lebih luas. Orang harus menyadari ancaman perubahan iklim, caranya adalah menyajikan buat mereka gambar-gambar yang indah secara estetis. Fotografi dengan perspektif seni adalah pilihan strategis yang masuk akal.
Apakah sejak lama kamu peduli dengan isu lingkungan?
Kalau kita bicara sejak lama, sebenarnya tidak. Tapi masa kecilku cukup akrab dengan isu kerusakan lingkungan hidup. Dulu aku tinggal di kawasan Botany, di pinggiran Kota Sydney. Pada dekade 70’an, Botany adalah kawasan industri yang sangat kotor. Banyak polusi dibuang begitu saja oleh pabrik-pabrik secara serampangan. Hasilnya, aku menyaksikan sendiri saat tumbuh dewasa betapa kawasan pesisir Botany hancur biota lautnya akibat polusi.
Apa pesan yang ingin kamu sampaikan dari karya-karya ini?
Tentunya, aku berharap foto-fotoku bisa membuat orang yang melihatnya berpaling sejenak kemudian merenung. Minimal seperti itu. Perubahan iklim adalah isu yang global, tapi sulit mengajak orang peduli jika kita fokus pada satu negara saja. Jadi, saya ingin foto-foto ini bisa memiliki daya tarik universal.
Kita semua bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang sekarang dialami Planet Bumi. Baik itu di Australia, sebagaimana obyek foto-foto saya sekarang, ataupun di negara lain. Kita tidak boleh lagi egois. Umat manusia sudah terlalu lama egois. Lingkungan bukan cuma urusan orang yang berebut sumber daya alam. Makanya, kalau foto ini bisa mengajak orang berdiskusi lebih lanjut, sebagian agenda saya sudah tercapai.
Seri fotomu “El Niño” masih belum selesai. Kapan kira-kira proyek ini bakal kau akhiri?
Aku tidak pernah menyiapkan “El Niño” untuk selesai. Isu lingkungan terus berkembang. Ini hanya satu ikhtiar mendokumentasikan dampak buruk aktivitas manusia. Saya ingin seri foto ini menyumbangkan dialog bersama soal pentingnya melindungi lingkungan. Mengakhiri proyek ini sama saja dengan saya memilih minggir dan tak lagi berusaha menciptakan dialog.
We will always encounter the pressures the weather puts on the environment, and how we manage that is a question about how we go forward as a people. I want to be part of the dialogue, instead of sitting on the sidelines.
Untuk melihat foto-foto lain dari Dean Sewell kalian klik saja tautan berikut. Jangan lupa follow Sam Nichols selaku penulis artikel ini di Twitter
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia