Kecelakaan Alutsista

Kecelakaan Alutsista Berulang Kali Terjadi, Kebijakan Kemenhan Jadi Sorotan

Kata pengamat, strategi membeli lalu "meremajakan" tank, jet, hingga kapal selam tua tak layak dipertahankan. Tragedi KRI Nanggala-402 harus jadi momen pemerintah berbenah.
Kecelakaan Alutsista Berulang Kali Terjadi, Kebijakan pembelian alutsista bekas Kemenhan Jadi Sorotan
Prajurit TNI AL di Semarang menggelar penghormatan tabur bunga atas insiden tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Foto oleh DAFFA RAMYA KANZUDDIN/AFP

Sorotan terhadap rencana modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia kembali mencuat, menyusul tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Sebanyak 53 anggota TNI Angkatan Laut dinyatakan gugur di perairan Bali beberapa saat menjelang latihan penembakan torpedo pada Rabu (22/4) pekan lalu.

Kapal selam nahas tersebut buatan Jerman Barat, telah berusia 42 tahun. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono memastikan kapal tenggelam di kedalaman 838 meter pada Sabtu (25/4) lalu, dan proses penyelamatan terus dilanjutkan dengan melibatkan bantuan dari sejumlah negara lain, seperti Singapura dan Malaysia. TNI belum merinci penyebab detail yang membuat KRI Nanggala karam dan akhirnya terbelah menjadi tiga bagian, karena prioritas masih pada evakuasi.

Iklan

Dalam konferensi pers terpisah akhir pekan lalu di Base Ops Lanud Ngurah Rai, Bali, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat ditanya mengenai usia KRI Nanggala yang sudah uzur, menyinggung modernisasi alutsista tiga matra yaitu di Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tapi dia menyorot bahwa alutsista memiliki risiko rusak atau terganggu teknisnya, sekalipun masih baru.

“Latihan perang, latihan biasa atau patroli biasa saja sudah mengandung bahaya. Ada kapal kita yang kena ombak yang sangat keras, yang pecah di tengah laut. Jadi, bukan hanya latihan saja. Matranya semua ini mengandung bahaya,” kata Prabowo yang saat itu juga didampingi oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Selama beberapa tahun terakhir, ada serangkaian kecelakaan alutsista yang dialami oleh Indonesia sampai menjadi sorotan publik. Sepanjang 2020 saja ada tiga insiden yang terjadi terkait alutsista yang berusia lebih dari dua dekade. Imbasnya, beberapa personel TNI gugur akibat kendala alutsista.

Salah satu insiden itu misalnya pesawat Hawk 209 milik TNI Angkatan Darat yang jatuh di kawasan pemukiman penduduk di Riau. Tak ada korban jiwa dalam insiden ini. Tapi lain halnya dengan kecelakaan helikopter TNI Angkatan Darat di Kendal, Jawa Tengah, pada Juni 2020 menyebabkan lima personel yang meninggal dunia. Sebulan kemudian, KRI Teluk Jakarta 541 tenggelam di perairan Masalembo, Jawa Timur. Beruntung 54 awak yang ada di kapal tersebut berhasil diselamatkan.

Iklan

Setahun sebelumnya, helikopter M1-17 milik TNI jatuh di kawasan Oksibil, Papua. Pada November 2016, Helikopter jenis Bell 412 EP yang membawa logistik dari Tarakan, Kalimantan Utara, jatuh di Pegunungan Malinau dan menewaskan tiga anggota TNI AD

Di sisi lain, anggaran pembelian alutsista anyar belum tersedia. Pemerintah memang memangkas anggaran pertahanan dalam negeri dan mengalihkannya untuk respons pandemi Covid-19. Perpres Nomor 54/2020 yang diterbitkan April 2020 menyebut total anggaran pendapatan negara diprediksi sebanyak Rp1.760 triliun.  Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan potensi pengeluaran selama pandemi yaitu hingga Rp2.613 triliun.

Alhasil, pengurangan anggaran di beberapa kementerian dianggap perlu dilakukan, termasuk pos belanja Kementerian Pertahanan. Awalnya Kementerian Pertahanan mendapatkan anggaran sebesar Rp131 triliun, kemudian menyusut jadi Rp121 triliun.

Ketua DPR Puan Maharani di kesempatan terpisah, mendukung modernisasi alutsista karena ini merupakan “kebutuhan yang mendesak” apalagi mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. “Agar mencapai kesiapan yang tinggi, TNI AL harus senantiasa melakukan modernisasi alutsista seiring dengan tuntutan tugas dan perkembangan lingkungan strategi,” kata Puan lewat siaran pers kepada wartawan.

Hanya saja, dalam konferensi di Bali, Prabowo sendiri mengungkapkan dilema yang dihadapinya dalam pengelolaan anggaran. Ia mengakui kebutuhan modernisasi alutsista tidak bisa dielakkan lagi, tetapi masalah kesejahteraan anggota militer di tiga matra TNI, yang selama ini dianggap terbengkalai, juga bukan masalah yang bisa dikesampingkan begitu saja oleh kementeriannya.

Iklan

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pertahanan, kebijakan utama yang diambil pada 2021 adalah “melanjutkan penanganan pandemi Covid-19” yang fokus pada peningkatan sarana prasarana dan pelayanan kesehatan di rumah sakit milik kementerian serta TNI. Prioritas kedua adalah “pembentukan program sarjana S1 Unhan (Universitas Pertahanan)” demi memperbaiki sumber daya di masa depan. Modernisasi alutsista berada dalam prioritas keempat bersama dengan pengembangan personel.

Untuk 2021, Kementerian Pertahanan menerima anggaran sebesar Rp136,99 triliun. Sebagian digunakan untuk menambah tunjangan kinerja prajurit TNI sebesar 80 persen dan pembangunan rumah dinas.

Pengamat kebijakan militer Soleman B. Ponto, mantan perwira TNI AL sekaligus Kepala Badan Intelijen Strategis, mempertanyakan alasan modernisasi alutsista priortasnya berada di bawah fasilitas pendidikan di Unhan. Dia pun mempertanyakan maksud Prabowo mengutamakan kesejahteraan tentara lebih dulu dibanding modernisasi alutsista.

“Ada yang melihat sejahtera itu kalau [prajurit TNI] punya rumah, tapi kalau saya di kapal, kapal itu enak ya sudah sejahtera untuk bertugas,” kata Soleman saat dihubungi VICE. “Keselamatan itu utama kalau bagi saya. Kenapa? Karena kita mendidik manusia itu tidak gampang. Sekarang bagaimana? Kita hitung-hitungan saja, penting mana?”

Iklan

Karena persoalan anggaran pula, Prabowo pernah berujar jika tim di Kemenhan menargetkan pembelian alutsista terbaik dengan harga miring. “Dalam pembelanjaan pembelian alutsista, alat-alat utama, alat-alat sistem pertahanan, saya ingin harga yang terbaik, harga yang paling murah, tetapi kualitas paling tinggi,” tuturnya

Definisi modernisasi dan harga miring, menurut Soleman, tidak singkron. Peta jalan Kemenhan perlu lebih detail memamparkan maksud sang menteri kepada publik. “Modernisasi itu apa? Apakah kita beli bekas banyak atau modern baru? Belum jelas maunya apa ini. Seharusnya modernisasi membuat sesuatu yang modern, jadi gres semua,” imbuhnya.

Kompleksitas sistem pertahanan ini juga yang semestinya mendorong pemerintah membuat kebijakan dengan prioritas yang tepat. “Kita membeli alutsista itu bukan kayak membeli mainan anak-anak di mal, langsung jalan. Kan harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Compatible enggak dengan ada? Orang-orang yang untuk maintenance sudah ada belum? Sistem pendukung sudah ada belum?” tandas Soleman.

September tahun lalu, media yang fokus memberitakan soal militer dan pertahanan melaporkan bila Prabowo mengajukan proposal anggaran sebesar Rp296 miliar kepada Kepala Bappenas Suharso Monoarfa untuk pembelian alutsista di ketiga matra. Proposal itu diserahkan pada pertengahan Juli. Di dalamnya, Kementerian Pertahanan mengungkap rencana pengadaan 24 jet tempur Lockheed Martin F-16 V dan dua kapal perang. Tidak dirinci, apakah jet tempur dan kapal itu merupakan barang baru dari pabrikan, atau bekas pakai.

Iklan

Kemudian, lewat siaran pers yang pernah diterima VICE Maret lalu, Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan menyebut pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat melakukan kerja sama pengalihan alat dan teknologi pertahanan. Rincian mengenai kerja sama dua negara itu belum diungkap kepada publik.

Isu modernisasi, tapi melalui pembelian alutsista bekas negara lain, sering menjadi sorotan banyak pihak, termasuk politikus DPR. Kementerian Pertahanan mengungkap niat membeli jet tempur bekas dari Austria pada 2020 lalu. Anggota DPR, seperti TB Hasanuddin yang mantan prajurit dan kini bertugas di Komisi I, melontarkan kritikan. Dia mengingatkan pemerintah soal UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang melarang pembelian alutsista bekas. 

“Artinya, pembelian [jet tempur bekas] agak sulit kalau mau ikuti aturan perundang-undangan yang dibuat,” tegasnya saat itu.

Indonesia sendiri pernah membeli pesawat Hercules bekas Angkatan Udara Australia yang kemudian mengalami kecelakaan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 2016.

Tragisnya, mendiang Letkol Laut (P) Heri Oktavian yang turut menjadi korban jiwa dalam kecelakaan KRI Nanggala-402, sudah mengutarakan kekhawatiran terhadap keamanan alutsista bekas ketika diwawancarai Kompas.

Menurutnya, TNI Angkatan Laut butuh perlengkapan yang mumpuni, tetapi yang terjadi selama ini sebaliknya, dengan kebijakan yang diambil lebih condong pada peremajaan alat perang yang sudah uzur. Heri, kala itu, mengingatkan agar para pembuat kebijakan memikirkan keselamatan prajurit TNI, alih-alih “asal bapak senang.”

Heri gugur dalam tugas bersama 52 rekannya di KRI Nanggala-402. Peringatannya sebelum gugur, adalah momentum bagi pemerintah serius membenahi keselamatan para prajurit saat bertugas. Terlebih bila terbukti akar masalahnya akibat perkara teknis dan uzurnya alat yang sangat bisa dihindari.