Lahan berukuran hampir sebesar lapangan bola itu jadi terasa dua kali lebih luas, karena hanya sepuluh orang yang berada di sana. Sebagian duduk bersantai menikmati sore, sebagian lainnya sibuk membenahi pelbagai perkakas yang menumpuk di atas tanah. Andai pandemi Covid-19 tak menghajar Jakarta, dan tentu saja Indonesia, pemandangannya jauh berbeda. Menjelang malam, ratusan orang bakal berkerumun di lahan tersebut meluapkan kegembiraan, sekaligus melepas penat dengan menaiki bermacam rupa wahana permainan; dari komidi putar, arena mandi bola, hingga bianglala.
Di kalangan masyarakat Jakarta Timur, pamor tempat itu telah meluas dan seringkali disebut sebagai Pasar Malam BKT (Banjir Kanal Timur). Pasar malam ini menjadi rujukan utama bagi orang-orang di kawasan pinggiran kota yang butuh hiburan dengan budget terjangkau.
Videos by VICE
Pandemi mengubah peruntungan Pasar Malam BKT, sebagaimana dia berdampak terhadap lini usaha lain yang mengandalkan keramaian massa. Tiga bulan lamanya, bersamaan dengan anjuran agar warga tetap di rumah dan pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi memutus rantai penyebaran virus, Pasar Malam BKT kolaps. Pengunjung berguguran, begitu pula pemasukan.
Meski demikian, usai hampir tiga bulan berdiam diri, harapan mulai diapungkan kembali. Pengelolanya perlahan menata optimisme; meyakini usaha yang mereka bangun dari nol akan bangkit seperti sedia kala. Orang-orang bakal berdatangan, mencari kebahagiaan, dan pulang dengan senyum yang lebar sembari bertekad mengunjungi lagi pasar malam.
Di usia senja, tampilan Adi Mudjiono tetap bugar. Otot lengannya kencang, tatapan matanya tajam, dan napasnya terjaga dengan baik sekalipun dia tak berhenti merokok. Oleh orang-orang sekitar, sosok Mudjiono kerap dipanggil ‘pakde’ atau ‘babe’. Dia begitu dihormati. Mudjiono adalah aktor penting berdirinya Pasar Malam BKT. Tanpanya, rasanya mustahil pasar malam ini bisa eksis sampai sekarang.
Riwayat hidup seorang Mudjiono, sebelumnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia hiburan. Lelaki berusia 76 tahun ini menghabiskan lebih dari separuh hidupnya mengabdi kepada negara, tepatnya menjadi serdadu. Dia turut serta dalam penangkapan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Perang Seroja di Timor Leste, hingga operasi militer melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Pada 1990-an, saya kemudian pensiun, dengan tugas terakhir adalah sebagai instruktur fisik untuk para anggota polisi muda di Watukosek [Pusdiklat Brimob di Jawa Timur],” terangnya kepada VICE.
Kendati telah pensiun dari tugas kedinasan, Mudjiono ogah menghabiskan masa tuanya tanpa aktivitas berguna. Terlebih uang pensiun yang dia terima juga tak seberapa, dan oleh sebab itu dia termotivasi terus bekerja.
Berbagai lahan pekerjaan dia geluti usai pensiun, dari jasa keamanan sampai pelatih fisik di kepolisian. Tidak ada yang benar-benar bikin dia puas, sampai akhirnya dia menemukan peluang yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benaknya: bisnis pasar malam.
“Sebelum [bikin] di Jakarta, saya lebih dulu [bikin] di Semarang dan Surabaya. Saya diajak teman ngisi acara-acara di waktu tertentu seperti Sekaten [acara budaya yang diadakan Kraton Kasunanan Surakarta],” ungkapnya. “Setelah itu, pelan-pelan, saya kemudian memberanikan diri untuk usaha di Jakarta.”
Sekitar warsa 2015, upaya tersebut dia realisasikan. Mudjiono menggandeng pengusaha muda yang juga kawan karibnya, bernama Cogay. Di dunia bisnis pasar malam, Cogay tergolong pemain senior. Sepak terjangnya terbentang lebih dari dua dekade. Dia terlibat dalam acara di Pekan Raya Jakarta (PRJ) sampai Lebaran Betawi yang biasanya diselenggarakan di daerah Monumen Nasional (Monas) setiap tahunnya.
Keduanya lalu memilih lokasi di Banjir Kanal Timur yang saat itu, mengutip pernyataan Cogay, “masih berupa perkebunan liar dan daerah rawan begal.” Sejak awal, BKT memang bukan kawasan strategis yang diperuntukkan untuk usaha—apalagi hiburan. Cikal bakal keberadaan BKT dapat ditarik pada 2003, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri hendak membuat kanal pencegah banjir di Jakarta. Proyek BKT merentang sepanjang 24 kilometer, dari Jakarta Timur sampai Jakarta Utara, memakan dana sebesar Rp2,1 triliun. Penyelesaian proyek diprediksi selesai dalam kurun paling lambat 10 tahun, walaupun kenyataannya BKT sudah beroperasi pada 2010.
Baik Cogay maupun Mudjiono bukannya tidak sadar, membuka bisnis hiburan di lahan yang semacam itu adalah keputusan penuh risiko. Tapi mereka tetap memacu pedal sembari berharap semua rencana bakal berakhir dengan hasil bahagia.
“Sebetulnya, waktu menggarap BKT, kami tanpa ekspektasi yang tinggi. Kami sadar dengan risiko yang ada. Maka dari itu, dulu, kami berpikir andaikata [BKT] ini gagal, kami enggak terlalu kecewa,” ucap Cogay kepada VICE. “Kami menjalankannya dengan santai saja.”
Tugas dibagi di antara keduanya. Mudjiono mengurus kesiapan administratif; mulai dari sewa lahan, pengadaan listrik, hingga perizinan di tingkat RT maupun polsek. Sedangkan Cogay menyediakan segala wahana permainan yang nantinya hendak dioperasikan.
Ongkos yang dibutuhkan sebagai modal bisnis pasar malam mereka, ternyata, tidak sedikit. Untuk urusan wahana permainan saja, misalnya, Cogay mengaku perlu mengeluarkan uang kurang lebih sampai Rp200 juta. Sempat terpikir meminjam ke bank, Cogay ganti haluan karena ngeri bila bisnis mereka gagal mengembalikan pokok pinjaman disertai bunga.
Alhasil, modal yang dipakai berasal dari simpanannya sendiri, yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Agar dana yang dikeluarkan tidak lebih dari rancangan anggaran, Cogay punya siasat: memanfaatkan jaringan pengepul sampai pemasok wahana pasar malam langganannya supaya mendapatkan harga yang sesuai.
Setelah berbulan lamanya berproses, akhirnya pasar malam itu siap beroperasi. Mulanya, Mudjiono berkata, pengunjung tidak terlampau ramai. Tidak banyak orang tahu bahwa di daerah tersebut terdapat pasar malam. Mudjiono tak mengeluh. Dia percaya, cepat atau lambat, bisnisnya akan didatangi orang-orang.
Intuisi Mudjiono tepat. Seiring waktu, masyarakat mulai berbondong-bondong singgah ke pasar malam bikinannya. Tua, dewasa, muda, anak-anak semua larut dalam euforia pasar malam. Berbeda dari bisnis serupa pada umumnya, yang mayoritas muncul pada momen-momen tertentu saja seperti Sekaten di Solo, Pasar Malam BKT hadir setiap hari. Ramainya pengunjung sudah pasti berimbas kepada pendapatan yang ada. Omzetnya, seturut penjelasan Cogay, bisa menyentuh puluhan juta Rupiah per malam.
Kondisi tersebut, disadari atau tidak, turut berdampak pada keseluruhan kawasan BKT. Pasar malam kemudian seperti menjadi penggerak lini bisnis lainnya. Satu per satu warung makan buka. Disusul setelahnya para pedagang kaki lima (PKL) yang menganggap daerah BKT mampu menjadi destinasi cari untung.
Alhasil, BKT beralih rupa: dari yang semula daerah tak terurus dan sarang begal menjadi pusat dagang sekaligus hiburan masyarakat pinggiran kota. Denyut nadi itu masih terasa—bahkan bertambah meriah—sampai sekarang. Pemandangan orang-orang yang menikmati sore atau malam di pinggir sungai sembari merayakan jajanan maupun aneka ragam sajian kuliner dengan harga terjangkau, bakal terpampang secara jelas tatkala kamu menginjakkan kaki di BKT.
“Yang membuat saya senang dari bisnis pasar malam ini adalah kami bisa membantu menyediakan hiburan yang murah dan membuka lapangan pekerjaan baru dengan berjualan di sekitar BKT,” terang Cogay. “Sepanjang jalan BKT itu enggak pernah sepi. Cuma wabah dan hujan aja yang jadi musuh.”
Meroketnya popularitas Pasar Malam BKT tetap diikuti lahirnya beberapa masalah. Yang paling kentara dan seringkali muncul ialah soal “uang jatah” diminta aparat keamanan sampai organisasi masyarakat macam Forum Betawi Rempung (FBR) atau Pemuda Pancasila (PP). Jika sudah begitu, Mudjiono akan turun langsung menyelesaikan permintaan mereka.
“Awalnya wajar karena kami baru buka. Tapi, lama kelamaan, mereka banyak minta dan akhirnya kami kesel juga,” katanya. “Kalau begini caranya, saya bilang ke mereka bahwa saya mantan tentara yang ikut perang. Saya juga punya pistol. Sampai macem-macem, awas aja. Takut, deh, mereka.”
Di Indonesia, pasar malam memiliki riwayat sejarah yang begitu panjang. Akarnya dapat ditelusuri sebelum masa kemerdekaan, tepatnya awal abad 20. Lahirnya pasar malam, menurut penjelasan Heri Priyatmiko, dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, didorong penggunaan listrik di kalangan masyarakat. Adanya listrik kemudian menciptakan titik-titik hiburan di pusat perkotaan yang menarik keramaian massa, terutama di malam hari.
“Perlahan, pasar malam jadi budaya orang kota. Tapi, dampaknya enggak ke mereka saja. Oleh orang-orang pinggiran kota, pasar malam lalu jadi peluang untuk meningkatkan taraf perekonomian. Mereka datang untuk berjualan barang sampai makanan ringan,” kata Heri saat dihubungi VICE.
Datangnya orang-orang pinggiran ke kota untuk berdagang di pasar malam disebut Heri sebagai bentuk urbanisasi informal. Kehadiran pasar malam, di awal kemunculannya, bersifat temporer atau sementara. Artinya, pasar malam lahir pada momen-momen tertentu saja. Meski tidak rutin, perputaran uang yang dihasilkan pasar malam cukuplah besar sehingga mampu menopang keberlangsungan sektor ekonomi informal.
Salah satu pusat pasar malam pada masa pra-kemerdekaan ialah Solo. Ada tiga faktor penunjang yang membikin Solo berdiri sebagai sentra pasar malam. Pertama, Solo merupakan kota kerajaan yang wajahnya dapat dilihat melalui kedudukan Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Kedua, kondisi geografis Solo yang dikepung banyak kabupaten. Ketiga, Solo memiliki jalur transportasi kereta api yang strategis.
“Stasiun Balapan itu sering disebut sebagai “Jantung Jawa” sebab pada masa lampau, stasiun ini jadi penghubung kereta yang menuju Jakarta atau Surabaya. Nah, orang-orang yang transit ini kemudian mengisi waktu tunggu keberangkatannya dengan pergi ke pasar malam,” papar Heri. “Peluang itu lantas ditangkap pemerintah dengan menjadikan pasar malam sebagai agenda pariwisata.”
Heru menjelaskan keunikan dari pasar malam para era lampau adalah karakternya yang bisa meruntuhkan sekat sosial. Artinya, siapa pun dapat datang ke pasar malam, entah itu golongan ningrat, priyayi, sampai wong cilik. Dengan demikian, pasar malam seolah menjadi titik kumpul semua orang yang punya satu tujuan: bersuka cita.
Tapi, citra pasar malam tak selamanya berkorelasi dengan ruang hiburan masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, pasar malam dipakai juga menjadi alat politik, seperti yang dilakukan Lekra—organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia—dan Sarekat Islam.
“Lekra, misalnya, memanfaatkan pasar malam di Taman Sriwedari untuk pamer kekuatan sekaligus menjaring massa dari golongan wong cilik. Sementara Sarekat Islam, menggunakan pasar malam untuk ajang pelepas penat usai penyelenggaraan vergadering [rapat akbar],” ujarnya.
Masa pasca-kemerdekaan Indonesia menandai perubahan pada pasar malam. Dari segi hiburan yang ditawarkan, ambil contoh, pasar malam semakin variatif. Muncul permainan tong setan sampai sirkus—yang kelak jadi inspirasi novel Arswendo Atmowiloto yang rilis pada 1977. Kendati begitu, dari segi demografi pengunjung, pasar malam tak lagi semarak seperti dulu. Orang-orang dari kelompok menengah ke atas lambat laun tak tertarik untuk datang ke pasar malam sebab tak mau berjubel dalam keramaian. Inilah yang akhirnya membikin pasar malam identik dengan stereotip “tempat hiburan orang-orang miskin.”
Oleh para pemilik modal, karakter pasar malam lantas dipakai untuk membikin bisnis serupa yang menyasar kelompok menengah ke atas. Apa yang disajikan Dunia Fantasi (Dufan) atau Trans Studio, misalnya, sebetulnya tak jauh berbeda ketimbang pasar malam pada umumnya. Bedanya, mungkin, terletak pada peralatannya yang lebih sophisticated.
Perjalanan panjang pasar malam tidak bisa dipungkiri melahirkan masa keemasan. Menurut Cogay, masa keemasan bisnis pasar malam terjadi dua tahun usai meletusnya Reformasi 1998. Indikatornya, kata Cogay, dapat disimak melalui jumlah pasar malam yang banyak serta mudah dijumpai di berbagai tempat, baik itu lapangan maupun mall-mall di kota besar.
“[Masa itu] meledak sekali. Pasar malam kayak jadi tujuan utama orang-orang kota. Anggapannya, kalau pengen wahana [permainan] yang murah, maka datang aja ke pasar malam,” tandasnya. “Tapi, beberapa tahun setelahnya, pasar malam pelan-pelan meredup. Munculnya internet sampai smartphone semacam jadi pintu keluar untuk pasar malam.”
Di tengah perkembangan zaman yang kian maju dan modern lewat kehadiran internet, media sosial, maupun gawai kelas kakap, juga minimnya ketersediaan lahan terbuka—atau lapangan—yang proporsional di kawasan perkotaan, seketika menimbulkan pertanyaan: masih relevankah eksistensi pasar malam?
Sebagian pihak, termasuk para pelaku di dalamnya, meyakini bahwa pasar malam bakal senantiasa hadir guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan hiburan. Pasalnya, pasar malam menawarkan daya tarik yang sulit ditolak sebagian pengunjung: harga yang terjangkau. Kamu hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp10 ribu untuk, katakanlah, menaiki bianglala atau komidi putar.
Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, tawaran tersebut adalah alternatif menarik. Pasar malam jadi opsi menarik untuk mereka ketimbang Dufan atau Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang secara harga jauh lebih mahal.
“Pasar malam akan selalu jadi ruang hiburan bagi mereka yang butuh harga terjangkau. Ini sudah jadi karakter dan keutamaan dari pasar malam itu sendiri,” kata Heri. Selain itu, Heri menambahkan bahwa faktor nostalgia juga turut berkontribusi dalam keberlangsungan pasar malam di masa-masa mendatang.
“Ibarat kata pasar malam itu tak ubahnya seperti penjaga memori orang tua. Ada hasrat bernostalgia bagi mereka ketika datang ke pasar malam. Mereka ingin merasakan kembali kenangan-kenangan yang terjadi di masa kecil mereka, yang beririsan dengan pasar malam,” tuturnya.
Meski dianggap murah, Cogay menegaskan tak akan berkompromi soal kualitas dan tingkat keamanan di setiap wahana permainan yang dia bikin. Untuknya, keselamatan adalah nomor satu, dan dia tidak sepakat bila wahana pasar malam dituduh bermutu rendah.
“Proses pembuatan bianglala sendiri, misalnya, memakan waktu sekitar tujuh bulan. Walaupun terlihat ‘seadanya,’ saya membuatnya dengan serius. Karena saya percaya, ketika orang-orang merasa aman naik bianglala atau wahana lainnya, mereka akan senang setelahnya,” ucap Cogay. “Sejauh ini, wahana permainan kami tidak pernah ada yang kecelakaan.”
Keberadaan pasar malam memperlihatkan betapa kokohnya ruang hiburan ini bertahan menggelinding dan melintasi zaman. Perang, kerusuhan, kemiskinan, rasisme, sampai pandemi menghiasi hari-hari manusia. Tapi, di balik itu semua, harapan untuk hidup bahagia serta optimisme dalam menyambut masa depan akan selalu menyelinap di antara kesedihan dan kekecewaan. Pasar malam, dengan hiruk pikuknya, menawarkan oase berbayar yang bisa dijangkau semua kalangan.
Karena, seperti kata sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer dalam noveletnya yang paling puitis, “Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.”
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram
Semua foto oleh Hafitz Maulana, karya-karyanya juga bisa dilihat di laman ini.