Saya tergila-gila dengan alur cerita Mahō Shōjo (Magical Girl) sejak kecil. Subgenre anime dan manga Jepang yang dipelopori pada era 60-an itu mengisahkan para gadis remaja yang ditugaskan menyelamatkan dunia dengan kekuatan magisnya. Adegan perempuan bertarung melawan kejahatan dalam balutan kostum berenda yang cute tak pernah gagal membuat saya terpesona. Misi berjalan mulus hampir tanpa hambatan.
Ada banyak ragam pilihan yang dapat kita nikmati dari subgenre ini — Sailor Moon, Cardcaptor Sakura, Shugo Chara hanyalah beberapa contohnya. Mahō Shōjo menawarkan konsep girl power namun dikemas secara klise. Meski suka, saya meramalkan pamor gadis berkekuatan super yang gemilang sepanjang dekade 90-an akan meredup seiring berjalannya waktu.
Videos by VICE
Tapi ternyata saya salah. Sailor Moon dan sejenisnya masih sangat diminati oleh pencinta animasi Jepang sampai sekarang, lebih dari 30 tahun sejak penayangan perdananya. Tidak ada kata basi untuk Mahō Shōjo. Terbitan ulang manga-nya tetap laris manis walau ceritanya sudah jadul. Kita bahkan tidak pernah bosan menonton Sailor Moon, padahal anime itu sudah ditayangkan jutaan kali di layar televisi.
“Gadis berkekuatan super telah menjadi bagian penting dalam perkembangan budaya pop, bukan sekadar fenomena generasi biasa,” terang Aurélie Petit, mahasiswa program PhD yang mendalami industri animasi Jepang di Universitas Concordia, Montreal, Kanada. Trope yang diusung pun semakin bervariasi — dari alur cerita berat seperti Marvelous Melmo (1971), kisah calon penyihir imut Magical Doremi (1999-2004), hingga genre dark fantasy seperti Puella Magi Madoka Magica (2011). Namun, ada satu kesamaan dari variasi tersebut: tokoh pahlawan perempuan rendah hati yang berpenampilan feminin, punya hewan peliharaan dan memiliki benda sakral untuk membangkitkan kekuatannya.
Menurut Petit, Himitsu-no Akko-chan adalah manga pertama yang mengangkat tema gadis berkekuatan super. Manga ciptaan Fujio Akatsuka ini mulai diterbitkan pada 1962 hingga 1965. Ciri khas manga Mahō Shōjo sangat kentara di dalam karya itu: gadis remaja mempunyai cermin kecil untuk bertransformasi sebelum ia menjalankan misi. Dunia perfilman Barat tidak mau ketinggalan trennya. Sitkom Amerika Bewitched tayang pada era 70-an, yang lantas membawa genre ini menuju arus utama.
Sejak saat itu, muncullah gadis-gadis berkekuatan super lainnya yang menampilkan keunikannya masing-masing. Mahoutsukai Chappy (1972) memperkenalkan penggunaan tongkat ajaib. Sekelompok pahlawan perempuan pertama kali muncul dalam Majokko Club (1987). Mangaka Naoko Takeuchi kemudian memadukan berbagai aspek tersebut menjadi kisah perempuan super paling ikonik sepanjang masa, Sailor Moon (1995-2000). Sailor Moon mengikuti aksi sekelompok gadis SMP membela cinta dan keadilan dengan kekuatan super mereka yang berasal dari elemen-elemen alam.
“Saya mengerti kalau orang bilang kisah-kisah ini sudah ketinggalan zaman. Tapi karena genrenya sangat ikonik dan berdampak besar pada budaya populer, jadi mustahil bagi kita untuk mengabaikannya,” kata Mehdi Benrabah, direktur editorial penerbit Prancis Pika. Benrabah sendiri penggemar berat Sailor Jupiter sejak ia kecil.
Sailor Moon menyajikan tema yang acap kali kontras. Gadis berkekuatan super melambangkan sosok feminis yang menjadikan kefemininan mereka sebagai senjata. Tapi pada saat yang sama, tak jarang tokoh pahlawan perempuan diselamatkan tokoh laki-laki tampan nan hebat. Unsur-unsur yang bertentangan ini lazim ditemukan dalam Mahō Shōjo. Tokoh utamanya adalah perempuan tangguh, tapi juga ditampilkan sebagai objek seksual. Kepribadian mereka pun kerap dipangkas menjadi sifat yang melekat pada perempuan.
Terlepas dari kekurangannya, serial anime dan manga gadis berkekuatan super amat dipuja-puja. Manga Sailor Moon saja telah terjual lebih dari 35 juta kopi di seluruh dunia. Studio animasi Eropa dan Amerika bahkan terdorong mengikuti jejak kesuksesannya, yang kemudian menelurkan film-film kartun klasik seperti The Powerpuff Girls (1998) dan Totally Spies! (2001).
“Penonton bisa memahami permasalahan yang dialami tokoh dalam cerita. Contohnya masalah di sekolah atau pertemanan. Makanya genre ini terlihat sangat menarik,” jelas Ambrielle Army, direktur produksi senior perusahaan video game Singularity 6. Walau begitu, tema yang diangkat tidak dangkal, sehingga menambah daya tariknya.
“Meskipun ceritanya bergerak ke arah yang lebih menakutkan, banyak orang bisa merasakan perjuangan tokoh utamanya,” Army melanjutkan. “Gadis berkekuatan super menunjukkan dualitas, dan kisahnya lebih kompleks daripada yang ditampilkan.”
Sementara itu, Petit percaya formulanya yang mudah dicerna menjadi alasan kenapa Mahō Shōjo juga digilai penonton laki-laki. “Salah satu aset utamanya tentu saja karena genre ini laku di pasaran. Gadis berkekuatan super bukanlah tokoh revolusioner,” ujarnya. “Kamu cukup pakai embel-embel [magical girl] kalau kamu ingin barang dagangan laku. Entah itu pernak-pernik, baju ataupun boneka.”
Mulai tahun 80-an, banyak serial manga dan anime berkolaborasi dengan merek mainan untuk meraup keuntungan lewat penjualan merchandise. Mengoleksi barang limited edition dari waralaba yang kita sukai kini sudah menjadi semacam hobi dalam dunia fandom. Penggemar Cardcaptor Sakura pasti ngebet punya koleksi kartu Sakura. Versi bajakan pun diembat kalau perlu.
Akan tetapi, penjualan merch tak selamanya menguntungkan. Magical Princess Minky Momo, misalnya, kehilangan sponsor karena merch yang dijual kurang laku. Tokoh utamanya dibikin mati, lalu bereinkarnasi menjadi anak bayi. Serialnya melejit lagi, dan disebut-sebut memelopori kisah gadis berkekuatan super yang lebih suram.
Judul-judul terbaru yang mengusung genre ini sayangnya tak mampu bersaing dengan serial Mahō Shōjo klasik seperti Sailor Moon. Belum ada yang bisa mengalahkan popularitas Usagi Tsukino maupun Sakura Kinomoto. Namun, kini sudah ada yang berusaha menyuntikkan kehidupan baru ke dalam genre tersebut.
Developer Riot Games, misalnya, mencoba sebuah gebrakan dengan menggarap spin-off yang terinspirasi dari game League of Legends. Pada 2021, perusahaan yang berbasis di AS itu memproduksi serial Netflix Arcane, yang menampilkan kakak-beradik Vi dan Jinx dalam upaya mereka bertemu kembali setelah lama terpisah akibat adanya konflik sosial. Serial ini menyuguhkan sedikit saja unsur cerita magical girl yang khas.
Bahkan dua tahun sebelumnya, Riot Games meluncurkan Star Guardian, cerita paralel dari League of Legends. Kisahnya mengikuti petualangan siswi sekolah mengalahkan musuh alam semesta. Karakter-karakternya diambil dari skin yang bisa dibeli pemain untuk mendandani avatar mereka.
“Banyak yang mengapresiasi skin itu saat pertama kali dirilis,” kata Army, yang pernah bekerja untuk Riot Games. “Berkat itulah kami terpikir mengembangkannya menjadi cerita yang lebih modern dan gelap.”
Dewasa ini, sebagian besar serial baru berupaya menumbangkan simbol-simbol yang identik dengan Mahō Shōjo. “Tujuannya supaya menciptakan sesuatu yang baru dari genre ini, agar penonton tidak bosan menyaksikannya — baik itu mereka yang masih muda maupun penikmat serial lama,” pungkas Benrabah.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.