Kementerian Hukum dan HAM mengumumkan rencana yang sekilas terkesan progresif: membangun lembaga pemasyarakatan terbuka (open prison). Lapas terbuka tersebut akan didirikan di desa Ciangir, Tangerang, Banten, di atas lahan seluas 30 hektar. Lapas ini sanggup menampung 5.000 narapidana. Rencananya pembangunan lapas tersebut selesai dalam dua tahun.
Konsep open prison ini seperti gabungan penjara pada umumnya, tapi lebih longgar. Para napi disediakan penampungan lengkap dengan taman, aula, dan perkebunan. Lapas terbuka tersebut dibangun untuk mengurangi beban kapasitas di beberapa lapas Pulau Jawa. Nantinya para napi di lapas terbuka tersebut dituntut untuk lebih produktif dengan metode bertani atau membuat kerajinan.
Videos by VICE
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan untuk sistem pengamanan, lapas terbuka tersebut tidak bakal seketat penjara pada umumnya. Namun tidak semua narapidana bisa masuk ke lapas terbuka tersebut. Hanya napi yang mendekati masa bebas dan ‘minim risiko’ bisa menghuni lapas Ciangir.
Rencananya bakal ada 500 sipir yang menjaga lapas terbuka tersebut. Itu berarti satu orang sipir bertanggung jawab menjaga 10 narapidana.
“Nanti ada assessment untuk para napi,” kata Yasonna saat jumpa pers. “Kalau misalkan kasusnya pencurian tapi belum bisa (memenuhi penilaian), ya tidak ditempatkan di sini. Kami ingin mengubah paradigma masyarakat terhadap narapidana.”
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan konsep open prison memiliki sistem community-based correction agar terjadi asimilasi antara napi dengan masyarakat. Sistem tersebut sudah diadopsi di beberapa negara seperti Inggris dan Jerman. Namun karut marut sistem hukum dan pemenjaraan membuat efektivitas lapas terbuka dipertanyakan.
“Keefektifannya belum bisa diukur,” ujar Erasmus kepada VICE Indonesia. “Perkaranya bukan pada sistem lapas terbuka, tapi kebijakan pemenjaraan yang tidak memadai. Pemerintah Indonesia itu suka sekali memenjarakan orang, bahkan untuk kejahatan yang sebenarnya tidak terlalu signifikan. Enggak heran kalau beban lapas selalu over-capacity.”
Menurut Erasmus, lapas terbuka bukanlah solusi untuk memecahkan masalah kelebihan beban di lapas. Ketika kebijakan pidana dan pemenjaraan tidak direformasi, berapa pun penjara yang akan dibangun tak akan cukup menampung narapidana, lanjut Erasmus.
“Pemerintah harus memikirkan alternatif. Jadi enggak melulu penjara. Kalau sistem pidananya masih melulu soal penjara, ya bakal sama masalahnya. Misalnya kerja sosial atau pidana bersyarat. Untuk pidana ringan yang tidak ada unsur kekerasan seperti penghinaan, tak harus berujung di penjara,” ucap Erasmus.
Soal kelebihan kapasitas memang jadi masalah klasik dalam sistem pemenjaraan Indonesia. Imbas dari penghuni lapas yang terlampau padat berdampak pada tingginya angka bentrokan antar narapidana. Belum lagi soal pemberian fasilitas yang menjamin hak asasi penghuni lapas. Sepanjang 2016 terjadi delapan bentrokan di lapas Jawa, Bali, dan Sumatera; rata-rata dipicu kondisi panas akibat terlalu penuhnya penjara.
Dari data ICJR per Juni 2017 Indonesia memiliki jumlah narapidana sebanyak 153.312 orang. Sementara kapasitas total penjara hanya mampu menampung 122.144 orang. Hal tersebut ditambah kurangnya sipir penjara. Dari data Kemenkumham, total sipir penjara saat ini ‘cuma’ 30.000 personel dari total kebutuhan sekira 61.000 sipir.
Tidak heran bila angka narapidana yang tertarik melarikan diri cukup tinggi. Mei lalu, sebanyak 448 narapidana melarikan diri dalam ‘operasi prison break’ terbesar dari lapas Pekanbaru, Riau. Mereka kabur dengan cara mendobrak pintu gerbang utama. Sebanyak 155 napi dikabarkan belum tertangkap lagi. Lapas tersebut ternyata kelebihan beban mencapai 500 persen. Lapas Riau yang berkapasitas 300 orang, terpaksa dihuni 1.800 napi.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Riau, Erdianto Effendi, mengatakan hampir semua undang-undang di Indonesia memiliki konsekuensi pidana penjara. Maka reformasi tak cuma soal sistem pemenjaraan tapi juga reformasi peradilan dan undang-undang.
“Tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan penerapan pidana,” ujar Erdianto. “Lapas itu tempat pembinaan, bukan tempat pembuangan.”