Game Baru Ini Menawarkan Sensasi Menggampar Prajurit Nazi Pakai Tas Jinjing

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Dalam kompetisi Global Game Jam 2017 (GGJ), pengembang game Jane Friedhoff dan Ramsey Nasser mengajukan sebuah game bertema sejarah alternatif.

GGJ yang dilaksanakan di seluruh dunia pada 20-22 Januari lalu merupakan rangkaian hackathon (pekan meretas—acara kolaborasi pengembangan proyek perangkat lunak) mendorong para peserta untuk memproses pengembangan sebuah video menjadi game yang bisa dimainkan dalam durasi 48 jam saja. Para pengembang juga didorong berkreasi dan mengeksplorasi narasi video game sekaligus ekspresi artistik mereka. Setelah berkolaborasi mengikuti semua panduan penyelenggara, Friedhoff dan Nasser menghasilkan Handväska (istilah bahasa Swedia untuk “tas jinjing”). Karya mereka ini adalah game 3D dengan konsep mengajak pemain melempar tas ke arah personel Nazi.

Videos by VICE

“Kami berusaha membuat sebuah game bertema perlawanan,” kata Friedhoff, pencipta game Slam City Oracles saat dihubungi Motherboard. “Ide awalnya berasal dari foto Ramsey yang menunjukkan seorang remaja di Libanon melakukan trik skateboard ollie di atas ban-ban mobil yang dibakar dalam sebuah aksi protes 2012 lalu.”

Dari foto unik di Libanon, perhatian dua pembuat game itu lantas teralih pada foto luar biasa karya Hans Runesson pada 1985. Foto tersebut menunjukkan seorang perempuan Swedia bernama Danuta Danielsson sedang menampar anggota kelompok Neo-Nazi menggunakan tas jinjingnya.

“Selama tumbuh besar di Libanon, saya sering memainkan first person shooter game, termasuk game kompetitif dengan tingkat kesulitan tinggi seperti Counter Strike di warnet-warnet terdekat,” kata Nasser yang baru-baru ini merilis Dialogue 3-D, game yang mengeksplorasi dampak seseorang saat melakukan simulasi menonjok personel Nazi. “Berkat foto Runesson, kami memiliki ide dasar mengembangkan game ‘first purse-on’ shooter versi kami sendiri.”

“Saat masih mengembangkan ide dasar game ini, kami berdua saling berkirim gambar meme menampilkan pemimpin neo-Nazi Amerika Serikat, Richard Spencer, dijotos seorang aktivis di jalanan,” imbuh Friedhoff. “Sebagai seorang komunitas LGBTQ, saya sadar betapa pentingnya bagi kelompok-kelompok marjinal yang kerap tidak terwakili kepentingan mayoritas, agar berani melawan balik dan menunjukkan taring mereka. Nah, sebetulnya game Slam City Oracles juga membahas hal yang sama, tentang kemauan bangkit kembali dan melawan. Handväska kami buat berdasarkan prinsip dan semangat serupa.”

Signifikansi politik dari game ini menjadi semakin kuat mengingat Friedhoff terlibat dalam aksi protes menentang pemerintahan Presiden Donald Trump, persis ketika GGJ tengah berlangsung. “Biarpun Jane sibuk terlibat aksi demonstrasi, dia sudah menyelesaikan semua desain level dan logika fisika game Handväska,” kata Nasser. “Saya sudah membuat alat pengembangan video game bernama Arcadia, dan saya gunakan itu untuk menyelesaikan jatah tugas saya—recording dan playback. Ini bagian paling seru karena kita menyaksikan para personel Nazi berterbangan setelah digampar.”

Bagi Friedhoff, Handväska merupakan perwujudan dari wacana yang dia tulis sejak lama lewat esainya “Playing With Resistance.” Pada tulisan tersebut, dia mengajak para pembaca untuk “merebut kembali kekuasaan dalam dunia fantasi.” Anggota kelompok-kelompok marjinal “harus melihat kekuasaan dunia fantasi sebagai cara bagi kita untuk merebut kembali, merasakan, mengkomunikasikan dan mempraktikkan kekuasaan kita yang hilang—atau yang tidak pernah kita punyai.”

Baik Friedhoff ataupun Nasser, penting agar gamer menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh game-game dari perusahaan besar yang mendukung nilai-nilai hegemonik, monolitis, dan cenderung diskriminatif. “Banyak gamer selalu bilang mereka tidak tertarik memainkan game yang berbau politik. Faktanya, sebagai seorang Muslim Arab, saya selalu memainkan game shooter yang banyak menampilkan warga Arab sebagai karakter penjahat di game-game itu,” kata Nasser. “Memang saya memainkan game-game yang rasis tadi. Tapi jujur saja nih: game-game seperti itu melenggangkan pandangan dunia yang problematis. Jelas game-game itu juga berbau politis.”

“Handväska diliris 27 Januari—bertepatan dengan Hari Peringatan Tragedi Holocaust dan hari saat Trump menandatangani perintah eksekutif membatasi imigran dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke AS,” kata Friedhoff. (Keputusan Presiden Trump itu membuat program penampungan pengungsi di AS berhenti sepenuhnya. Akhir pekan lalu, hakim federal menganulir sepenuhnya aturan itu karena dianggap melanggar konstitusi dan HAM. Trump dan kabinetnya kabarnya akan melawan balik.)

“Untuk orang seperti saya atau Ramsey, dan pasti banyak lagi lainnya, pemerintahan Trump adalah masa-masa yang berat. Jadi, saya senang melihat kalau ada pengembang video game berani menciptakan karya mencerminkan pandangan dunia mereka. Saya ingin melihat anggota komunitas saya, atau orang-orang dalam situasi serupa, bisa merasa kuat dan tangguh.”

Nasser, seorang imigran, menghabiskan masa mudanya di tengah periode politik Libanon yang tidak stabil. Dia melihat video game karyanya sebagai bentuk perlawanan. “Ketika saya menghabiskan masa kecil di Lebanon era 90-an, saya tidak berdaya menghadapi peristiwa-peristiwa besar yang akhirnya mempengaruhi hidup saya,” ungkapnya.

“Sekarang, melihat sikap Trump yang anti-imigran, ini kesempatan saya untuk menunjukkan bahwa saya tidak takut. Saya adalah seorang imigran Muslim Arab yang tinggal di AS dan telah beberapa kali menciptakan desain game yang luar biasa. Saya tidak akan membiarkan pekerjaan saya terganggu oleh sosok Trump. Saya sadar apa yang sedang terjadi, saya akan terus melawan, dan saya juga tidak mau berhenti menjalani hidup.”


*Handväska bisa diunduh dengan mekanisme “bayar-sesuai-kemauan”. Walaupun bisa saja gratis, anda diimbau membayar setidaknya US$ 3 (setara Rp40 ribu). Seluruh pendapatan dari game ini akan didonasikan ke Yayasan Southern Poverty law Center dan CUNY CLEAR untuk advokasi para imigran yang terancam dideportasi dari AS akibat kebijakan pemerintahan Trump.