Tantangan terbesar penulisan lagu rock instrumental adalah memastikan pendengar tak bosan setelah lewat menit kedua. Tak cuma aransemen dan kualitas produksi mumpuni, apabila memungkinkan, band wajib menyajikan narasi visual ciamik melalui format video klip sehingga atmosfer yang diinginkan bisa terbangun secara lengkap. Ambisi inilah yang berhasil dicapai Gaung melalui single terbaru mereka ‘Summa Injuria’. Karya anyar trio asal Bandung ini membawa pendengar bertualang dalam alam instrumental hard rock, dibumbui aksen progresif, yang berulang kali alih rupa. Begitu kaya sound yang tersaji dalam single ini pendengar pasti merasa sedang disuguhi suatu cerita. Semacam raungan dari hasrat terdalam manusia yang menolak dikuburkan.
Narasi ‘Summa Injuria’ semakin kaya berkat video klip hitam putih mereka yang digarap dengan estetika menarik, arahan sutradara Nitya Putrini. Dalam video itu, ditampilkan seorang lelaki yang pelan-pelan tenggelam dalam kegilaan di sebuah rumah kuno angker, bertemu beberapa sosok bertopeng, lalu menemui akhir yang mengenaskan. Oke, ceritanya memang absurd. Dan plot yang saya dedah sebelumnya belum tentu benar. Kalian boleh-boleh saja punya tafsir tersendiri mengenai cerita dari MV ‘Summa Injuria’. Setidaknya kita bisa bersepakat bahwa video ini sangat dipengaruhi estetika noir dan film-film horor klasik, menambah aksen enigmatik dari single Gaung tersebut.
Videos by VICE
‘Summa Injuria’ adalah debut single untuk album penuh perdana mereka, Opus Contra Naturam yang dirilis Orange Cliff Records pertengahan Juni lalu (saya kurang tahu juga kenapa Ramaputratantra dan Rendy Pandita sebagai otak dari proyek instrumental ini tergila-gila pada beragam istilah Bahasa Latin). Setidaknya, dari keterangan yang saya peroleh, personel Gaung menggemari syair-syair gubahan Dante Alighieri, terutama yang termuat di buku sastra klasik Inferno. Melalui single ini, menurut saya Gaung mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh band sludge metal eksperimental Ghaust. Tahun lalu, Ghaust terpaksa membubarkan diri, setelah drummer Edward “Edo” Predico tewas akibat tabrakan sepeda motor yang tragis.
Ghaust dan Gaung tentu saja tidak beroperasi di medan genre yang sama. Setidaknya, karya-karya Gaung selama ini menunjukkan nyali dan keberanian layaknya Ghaust; menawarkan pada penikmat musik tanah air kombinasi dari alunan progressive, spacey forward-thinking metal. Gaung seakan-akan mencelat dari katalog roster Hydra Head Records lalu memilih berkarir di Indonesia saja.