Satu Dekade Grimloc: Merayakan Kesenangan Bermusik Secara Paripurna

Grimloc Records Label Musik Independen Berpengaruh Bandung Homicide Eyefeelsix

Rumah tua bergaya klasik khas peninggalan kolonial di Jalan Kartini Kota Bandung itu terasa wingit dan sepi. Beberapa motor terparkir di halaman; pintu rumah setengah ditutup. Tentu bukan bangunannya yang penting, melainkan para penghuninya: kolektif yang cukup berpengaruh dalam kancah musik Bandung di bawah panji Grimloc Records.

Di dalam rumah, beragam aktivitas rupanya terus berdenyut. Ada yang membungkus piringan hitam, menyiapkan kardus, hingga merapikan baju, kaset, sampai pernak-pernik lainnya. Akibat pandemi corona, semua terasa berjalan cepat, berkejaran dengan waktu, dan seolah terdapat tenggat yang mesti dipenuhi.

Videos by VICE

“Enggak tahu sampai kapan kalau kondisinya kayak gini. Tapi, yang online tetep jalan,” kata Iwan pada VICE, panggilan Ridwan Gunawan, salah satu pengurus Grimloc sekaligus pentolan Eyefeelsix yang populer dengan moniker Evil Cutz.

Wabah mengubah rencana yang sudah disusun banyak orang, tak terkecuali bagi Grimloc. Menutup toko hanyalah satu dari sekian konsekuensi yang harus diterima. Yang paling buruk, Grimloc terpaksa menunda perayaan satu dekade mereka eksis.

1588159566172-_MG_5851
Aktivitas di rumah Grimloc. Foto oleh penulis.

Maret 2020, Grimloc berusia 10 tahun, usia yang cukup panjang untuk label yang bergerak dengan semangat komunalisme, etos Do-It-Yourself, serta kebanggaan menjadi bagian dari kancah musik arus pinggir. Satu dekade Grimloc menjadi bukti bahwa bagi orang-orang di dalamnya, musik adalah cara sempurna untuk bersenang-senang.

“Kalau ada penyesalan [selama 10 tahun terakhir] kenapa enggak [membangun Grimloc] lebih awal? Karena pada awal 2000-an itu scene Bandung lagi naik.”

Kalimat di atas meluncur dari mulut Herry ‘Ucok’ Sutresna, yang lebih dikenal dengan julukan “Morgue Vanguard”. Grimloc lahir dari ketidaksengajaan. Berdirinya Grimloc berbanding lurus dengan keriuhan scene. Grimloc akan hidup bila ada rilisan.

“Artinya, Grimloc bakal selalu ada bila kami-kami masih bermusik dan menghasilkan karya,” tegas Ucok.

Tujuan Grimloc, pendeknya, hanya satu: ruang suka cita, bentuk perayaan terhadap yang mereka cintai, yaitu musik.

Awal mula kiprah Grimloc bisa ditarik dari era Harder Records, di mana Ucok juga menjadi bagian di dalamnya. Harder Records merupakan label musik independen yang sempat eksis akhir 1990-an dengan rilisan macam Balcony, Decay, Full of Hate, sampai Undercontrol. Napas Harder tak berlangsung lama. Memasuki milenium baru, mereka bubar.

Kekosongan ini lantas mendorong Ucok bersikap. Homicide, grup hip hop yang membesarkan namanya, pisah jalan usai melepas Illsurrekhsun (2008). Niat bikin label makin menguat, setelah Ucok melihat kondisi scene independen Bandung pada masa itu tengah menggeliat panas, pasca-tragedi di Gedung AACC (Asian Africa Cultural Center) yang menewaskan belasan orang. Insiden tersebut terjadi dalam acara peluncuran album dari band Beside.

“Ide awalnya adalah kami ingin menjadi ruang emansipasi bagi anak-anak [komunitas musik independen Bandung] yang ingin berkarya. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya.

Akhirnya, bersama Gayanugrah, kolega dekat sekaligus personel D’Army dan Eyefeelsix, rencana itu dia realisasikan pada 2011. Rilisan pertama Grimloc ialah album Pain Per Hate milik Eyefeelsix. “Album itu sangat monumental banget buat Grimloc. Tanpa album itu, Grimloc enggak mungkin ada,” papar Ucok.

Setelah itu, Ucok dan kawan-kawannya di Grimloc tertarik mengelola label secara serius. Setelah Phenomenon-nya SSSLOTHHH (2013) dilepas, Grimloc memantapkan fokusnya pada satu aspek: merilis karya band-band di sekeliling Bandung. Inspirasinya berasal dari Dischord Records, label bikinan Ian MacKaye, frontman Fugazi, yang pada masanya cuma memproduksi album-album dari kancah Washington D.C., khususnya yang memainkan musik punk dan hardcore.

“Muncul pertanyaan: ‘Kenapa enggak bikin label khusus kita dan kawan-kawan sendiri di Bandung?’ Karena selama ini hal itu hanya jadi imajinasi. Waktu era Harder pun mereka juga enggak eksklusif Bandung,” tandasnya.

Prinsip tersebut terus menjadi pedoman Grimloc. Ucok bilang sekitar “99 persen rilisan Grimloc dialokasikan untuk band-band atau musisi sekitar Bandung.” Sisanya baru ditujukan kepada band-band luar Bandung. Itu pun, Ucok bilang, “tetap dibatasi hanya satu rilisan setiap tahunnya.”

Sebagian orang, tidak dapat dipungkiri, menganggap apa yang dilakukan Grimloc sebagai wujud eksklusivitas kancah Bandung. Ucok menegaskan keputusannya didasari fakta “memang ini scene yang saya tahu.”

“Kami meminjam metode Dischord yang menarik musik ke titik radikal. Radikal di sini konteksnya mengakar. Dalam hal ini adalah akar teritori atau rumah kami sendiri. Hal ini, imbasnya, akan memaksa kami memperhatikan sekeliling terlebih dahulu, memfokuskan upaya-upaya di tempat kaki dipijak,” kata Ucok.

“Saya enggak tahu [scene] Jakarta, Surabaya, Mojokerto, Semarang, atau Yogyakarta. Itu poinnya. Dan saya selalu menekankan, ‘Kenapa enggak bikin [label] sendiri di kota kalian daripada minta bantuan dirilis sama Grimloc?” Kalau begitu, Grimloc bisa bantu.”

Riandy Kurniawan masih ingat betapa bangganya ketika diberi kesempatan bekerja sama bareng Grimloc. “Anjing, gue ngerjain cover [album] Homicide, euy,” demikian kenang Riandy Karuniawan, visual artist kelahiran Aceh, ihwal perkenalannya dengan Grimloc. Sampul album yang ia maksud adalah Godzkilla Necronometry, debut Homicide yang pada 2013 silam dirilis ulang dalam format piringan hitam. Riandy kedapatan tugas menggarap artwork versi rilis ulang.

Riandy bukan seniman kemarin sore. Karya-karyanya meliputi sampul maupun ilustrasi band-band seperti Komunal, The S.I.G.I.T, sampai Efek Rumah Kaca. Nyatanya, dari bermacam proyek yang telah ia kerjakan, cover album Godzkilla Necronometry dinilai paling berpengaruh dalam membentuk proses kreatifnya hingga sekarang.

“Ngerjain [sampul album] Homicide itu dreams come true banget buat gue. Apalagi dulu gue belum kayak sekarang. Ketika diminta garap itu, gue antara enggak percaya, beban, dan di waktu bersamaan seneng banget,” ujarnya, saat ditemui di studionya yang terletak di Ligar Agung, Bandung.

Homicide bukan sembarang band, setidaknya untuk Riandy. Ada ikatan emosional cukup kuat buatnya. Bagi Riandy, Homicide mewakili suara perlawanan terhadap kezaliman rezim. Lagu-lagu Homicide, menurutnya, berhasil menyampaikan kemarahan sekaligus kekecewaannya sebagai anak muda Aceh yang hidup dalam belenggu Operasi Militer era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Ketika diminta menggarap sampul Godzkilla Necronometry, Riandy memperoleh ruang menyalurkan amarah yang sebelumnya ia simpan dan tutup rapat-rapat. Hasilnya: tiga buah tangan memegang mikrofon dengan lilitan ular dan di belakangnya terdapat kastil yang berdiri tegak di atas pucuk gunung berapi berwarna merah menyala.

Usai Godzkilla Necronometry, Riandy kembali dipercaya Grimloc menggarap sampul album milik Bars of Death━proyek Ucok bersama Sarkasz dan Evil Cutz━bertajuk Morbid Funk yang dilepas awal Maret 2020. Lulusan Arsitektur Universitas Parahyangan itu tanpa berpikir panjang menyanggupi.

Sampul Morbid Funk berhiaskan kota yang hancur, tangan-tangan serupa zombie yang menyeruak ke permukaan, serta sosok yang seolah tengah mencari jalan seraya membopong kepala garuda yang mati.

Karya-karya yang punya karakter, termasuk perkara sampul album, menjadi signature tersendiri jika kita bicara tentang Grimloc. Hal tersebut tak sebatas muncul pada segi visual, tetapi juga dari aspek musikalitas.

Barisan roster Grimloc, selalu punya ciri khas. Menurut Ucok, kuncinya terletak pada bagaimana menempatkan musik di tempat dan jatidiri yang sebenarnya: ruang berbagi kesenangan. “Grimloc berdiri bukan karena ingin menguasai pasar. Kami sama sekali enggak mikir ke sana. Karena kalau udah ngikutin pasar, itu artinya [musik] jadi enggak senang-senang lagi. Ini jelas melenceng jauh dari tujuan awal Grimloc,” ungkapnya.

Selain tetap menjaga semangat bersenang-senang, Ucok juga senantiasa menekankan kepada setiap roster Grimloc bahwa “bikinlah album seolah besok kalian tidak bisa membikin album lagi” atau “seolah besok Grimloc bubar.” Dengan begitu, Ucok ingin album yang dihasilkan tak setengah-setengah.

Pondasi pemikiran itulah lantas melahirkan deretan produk padat gizi macam Taring dengan Nazar Palagan (2014), Jeruji (Stay True, 2019), SSSLOTHHH (Phenomenon, 2013), Ayperos NISHPRA, 2015), Wethepeople! (Big Rush!, 2015), sampai Flukeminimix (Between Spaces Into Space, 2015).

“Saya tipikal orang yang enggak punya pandangan jauh ke depan. Saya bilang [ke anak-anak], ‘Anggap aja ini album terakhir kalian.’ Atau juga kadang saya omong, ‘Segini aja? Ini kalau dirilis di luar [studio rekaman] udah enggak bisa direvisi, loh!’,” ucapnya. “Saya selalu panas-panasin mereka seperti itu.”



Tentu tak lengkap membicarakan Grimloc tanpa menyinggung hip hop. Grimloc, bisa dibilang, turut berkontribusi atas kembali bergairahnya hip hop lokal beberapa tahun belakangan.

Iwan, DJ pentolan Eyefeelsix, menilai pengaruh Grimloc terhadap perkembangan hip hop cukup signifikan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sosok-sosok di balik layar Grimloc yang juga menjadi figur penting geliat skena hip hop lokal, terutama Bandung, sepanjang dekade 1990-an hingga 2000-an. Mereka semua pilar yang mendirikan Cronik, D’Army, Eyefeelsix, dan, sudah pasti, Homicide.

“Meski bukan label khusus hip hop, tapi Grimloc jadi wadah buat anak-anak hip hop di Bandung, paling tidak di antara circle kami. Bisa dibilang juga Grimloc ini berandil dalam melebarkan cakupan massa dan pasar hip hop. Banyak dari mereka yang mendengarkan hip hop itu justru di luar lingkaran hip hop. Artinya, Grimloc membuat hip hop tidak sekadar berputar di satu circle aja. Soal ini, gue rasa, mungkin, ada kaitannya dengan figur. Dalam hal ini, Ucok,” kata Iwan.

Pengaruh Ucok memang begitu besar, jika sudah memasuki ranah hip hop. Dia dipercaya Grimloc menjadi penentu arah bagi barisan MC di dalamnya, entah itu secara teknis, produksi, sampai promosi.

“Banyak orang yang mempercayakan itu ke saya. Sialnya, bikin saya tambah banyak kerjaan,” katanya sembari tertawa. “Tapi, saya sadar bahwa ini harus dilakukan. Dulu, Homicide bisa jadi besar juga enggak lepas dari bantuan kawan-kawan. Sekarang, giliran saya yang membantu mereka.”

Salah satu polesan bernas Ucok mewujud pada sosok Krowbar yang dua tahun lalu melepas debut album mengesankan berjudul Swagton Nirojim, sebuah album yang menegaskan bahwa mengumpat tidak mendatangkan dosa dan anak black metal yang nongkrong di warung dengan segelas teh kotak itu bukanlah mitos belaka.

Mulanya, membikin rima adalah kegiatan coba-coba bagi Krowbar. Ia tak pernah bermimpi jadi rapper sekondang, katakanlah, Rich Brian. Bermodal nekat, dia mengirim hasil rekamannya kepada Ucok. Gayung bersambut. Ucok kesengsem dan mengajaknya membuat satu album penuh yang kelak dibantu Iwan serta Jaydawn━dari Eyefeelsix.

Di albumnya, Krowbar seperti hendak mendobrak batas dan tabu. Krowbar tak malu-malu berbicara soal pornografi sampai merisak rapper seangkatannya yang kualitasnya begitu-begitu saja. Semua terangkum dengan baik lewat track macam “Sang Saka Sangkakala,” “Ritual Kombat,” “Senjata Pemuas Massal,” dan “Bilangan F.U.”

“Saya, teh, enggak mungkin nulis soal perdagangan bebas karena bukannya apa-apa; saya emang enggak tahu soal itu,” terang Krowbar kepada VICE yang lantas disambut gelak tawa.

Krowbar dan Swagton Nirojim rupanya bukan satu-satunya rilisan hip hop dari Grimloc yang patut dibanggakan. Di luar itu, ada Mewaris Bara-nya Rand Slam (2020), serta album penuh pertama sekaligus terakhirnya Bars of Death yang diberi nama Morbid Funk (2020). Jangan pula dilupakan Demi Masa (2018), album kolaborasi Ucok dengan rapper veteran, Doyz, yang mengajak kita kembali ke era kejayaan boombap 90’an.

Kontribusi terbesar Grimloc dalam memanaskan panggung hip hop lokal adalah saat mereka merilis album kompilasi bertitel Pretext For Bumrush pada 2017. Kompilasi ini menampung nama-nama MC maupun beatmaker lintas generasi yang menjadi fundamen kancah hip hop lokal kiwari, dari Blakumuh, Dangerdope, Eyefeelsix, Infrastruktur Katastropi, Altarlogika, Pangalo!, sampai Joe Million.

Iwan mengaku senang ketika hip hop seperti sedang mendapatkan momentum bersinar. Menurutnya, gelombang hip hop yang masif dalam kurun lima tahun terakhir didorong oleh keberadaan media sosial.

1588160226823-IMG_9822
Eyefeelsix, salah satu rooster Grimloc Records, tampil di konser. Foto dari arsip Grimloc.

“Sebetulnya [sekarang] sama saja [dengan era 1990-an sampai 2000-an]. Bagi gue, hip hop itu enggak ada redup atau booming. Dulu, misalnya, awal 2000-an, ketika hip hop dianggap sepi, Homicide malah produktif bikin album [Godzkilla Necronometery sampai Barisan Nisan],” ucapnya.

“Sekarang lebih kelihatan banget karena ada media sosial. Keluarin di internet, orang-orang tinggal akses. Gampang. Kalau dulu itu enggak kayak gitu. Ketika elo bikin album, prosesnya lama. Waktu CD udah jadi, lo harus nempelin poster biar orang-orang tahu.”

Dari sisi musikalitas pun, Iwan bilang, juga tidak banyak perbedaan. Musisi hip hop kiwari, terangnya, masih memakai pendekatan 1990-an: menggunakan sampling. “Mungkin, sekarang lebih ada penambahan seperti bunyi gitar. Tapi, secara garis besar, hip hop sekarang balik kayak dulu: pakai down tempo dari TR-808 [mesin drum produksi Roland] seperti yang dilakukan Dr. Dre,” tandasnya.

Ucok pernah berkata: “Hip hop sudah mati, saya kubur di halaman belakang rumah di samping kuburan kucing saya.” Menurut Ucok, pernyataan tersebut sekadar “narasi goblok-goblokan” yang terinspirasi dari “Punk Is Dead”-nya Crass.

“Homicide itu, kan, beririsan dengan scene punk Bandung karena pada 1990-an scene hip hop enggak ada. Ide “hip hop sudah mati” adalah provokasi gagasan. Bukan berarti hip hop mati beneran karena pada 2000-an [hip hop] naik dahsyat berkat demoktratisasi alat produksi,” tegasnya.

Dua dekade lebih setelahnya, provokasi Ucok masih bertaji.

Perkenalan Taufiq Rahman dengan Ucok terjadi 2010. Kala itu, Taufiq menulis ulasan The Nekrophone Dayz, album semi-antologi Homicide sebelum bubar, di tempat kerjanya, The Jakarta Post. Ulasannya sampai juga di Ucok, dan yang bersangkutan mengapresiasinya.

“Mungkin karena itu jadi ulasan dengan bahasa Inggris, ya,” cerita penulis buku Lokasi Tidak Ditemukan (2012) dan Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017) ini saat dihubungi VICE.

Setelah itu, relasi dan komunikasi antara keduanya terjalin. Mereka banyak bertukar gagasan, dari soal musik, politik, sampai hal-hal yang lebih personal. Hubungan tersebut berlanjut pula sampai ranah kreatif ketika beberapa kali label bikinan Taufiq, Elevation Records, merilis produk-produk yang berkorelasi dengan Ucok. Dari buku sampai album-album lawas Homicide dalam bentuk piringan hitam.

Dalam pandangan Taufiq, Ucok adalah bagian dari generasi old school. Dalam konteks musik, old school yang dimaksud yakni memprioritaskan rilisan fisik, alih-alih menuruti logika bisnis layanan digital streaming.

“Bagi Ucok, rilisan fisik itu penting. Karena itu caranya merayakan masa-masanya dulu. Dia hidup di era di mana pendekatan [dalam membuat musik] itu sangat otentik,” ucap Taufiq, yang sekarang menjabat sebagai wakil redaktur pelaksana The Jakarta Post.

Pendekatan itulah yang diterapkan dalam pengelolaan Grimloc. Sejak awal berdiri sampai usianya sudah menginjak angka 10, Grimloc konsisten bertahan di jalur rilisan fisik. Ucok mengatakan alasan untuk tetap merilis album secara fisik didasari pertimbangan yang sederhana.

“Sejauh ini, rilisan fisik itu efektif. Kami bisa punya tabungan untuk karya selanjutnya, meski enggak bisa ditampik bahwa ini enggak cukup untuk perut.”

Jalan ninja Grimloc dengan rilisan fisik bukannya tanpa tantangan. Sekitar 2014, tiga tahun usai berdiri, Grimloc berada di ambang kebangkrutan dan berpotensi besar tutup. Ini disebut Ucok sebagai “fase terburuk” selama sepuluh tahun menjalankan Grimloc.

“Waktu itu saya merasa kehabisan bensin karena salah strategi, konsinyasi ke beberapa toko dan distro yang tidak bertanggungjawab, serta rilisan yang diharapan laku justru meleset jauh dari perhitungan,” tegasnya. “Bahkan [kas Grimloc] cuma punya duit Rp200 ribu aja.”

Langkah penyelamatan segera diambil. Pertama, Ucok bekerjasama dengan almarhum DJ Still (Hsi-Chang Lin) yang namanya besar dengan kelompok hip hop asal New Jersey, Dalek. Mereka membikin album kolaborasi bertajuk Fateh. Kedua, demi memperbaiki sirkulasi keuangan Grimloc, Ucok mengajak Febby Herlambang, rekan satu kolektif di Harder dulu dan mantan drummer Balcony. Febby sempat pula bekerja sebagai manajer fans dan merchandise NOAH.

Keputusan itu berbuah manis. Album Fateh laris manis di pasaran, menjadi salah satu yang banyak diburu selain album Krowbar, Taring, serta reissue Homicide. Sementara kehadiran Febby membuat pengelolaan uang dan bisnis Grimloc semakin lebih tertata. Grimloc urung kolaps dan, mengutip pernyataan Ucok, “seperti punya bensin baru di tiap rilisan.”

“Kami lebih selektif lagi dalam merilis karya. Artinya, kami harus punya perhitungan. Artis segini cocoknya dibikin berapa, artis itu berapa. Kami enggak boleh asal jual banyak tanpa business plan yang jelas,” ungkap Febby. “Selain itu, kami juga menutup jalur distribusi yang enggak profit. Dengan begitu, kami bisa memutar uang secara leluasa.”

Di saat bersamaan, Grimloc akhirnya menjajaki ruang-ruang digital yang selama ini belum terjamah dengan baik. Febby mengungkapkan pendekatan tersebut digencarkan dua tahun belakangan. Rilisan Grimloc, yang sebelumnya hanya bisa diakses cuma dari fisik, sekarang dapat dinikmati di layanan Spotify sampai YouTube, kendati tidak semuanya dimasukkan ke sana.

“Mungkin terlambat. Tapi, setidaknya, kami sudah melangkah dan masih terus belajar [mengelola lahan digital],” tegas Febby. “Yang jelas, meski sudah masuk digital, kami tetap berusaha menjaga rilisan fisik. Itu yang utama.”

1588160062211-IMG_9610
Antrean pembeli merchandise dan album Grimloc.

Idhar Resmadi, dosen komunikasi di Universitas Telkom Bandung, sekaligus penulis buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018), menilai keputusan Grimloc terjun ke ranah digital tidak menghilangkan narasi yang mereka bangun selama ini.

“Grimloc itu label yang ‘Bandung banget.’ Mereka masih old school dan berbeda dengan, katakanlah, Berita Angkasa maupun Sun Eater yang “sangat milenial” serta mengedepankan digital presence,” ujar Idhar. “Namun demikian, narasi sosial-politik sampai nilai-nilai komunitas yang dipertahankan Grimloc selama ini enggak serta merta hilang ketika mereka menjajaki bisnis digital. Malah bisa jadi scope-nya meluas karena siapa, sih, sekarang yang enggak dengerin Spotify?”

Tamansari, satu kampung di Bandung, sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur akibat terjangan eskavator dan tinggal menyisakan reruntuhan yang tak jelas lagi bentuknya. Atas nama pembangunan, warga digusur. Masa depan mereka kian kabur, terutama yang memutuskan tetap bertahan━dan melawan demi keadilan.

Pada 2019, Tamansari menjadi episentrum konflik lahan antara warga dan pemerintah. Fokusnya adalah bagaimana pemerintah berupaya menjadikan Tamansari sebagai daerah rumah deret, proyek yang telah direncanakan sejak 2017. Tapi, sebagaimana konflik lahan pada umumnya yang terjadi di Indonesia, upaya itu disertai dengan aksi kekerasan dan pengangkangan terhadap hukum. Pemkot Bandung, misalnya, tak bisa memperlihatkan sertifikat kepemilikan lahan yang ditinggali warga RW 11━lokasi pertama yang hendak digusur.

Kendati begitu, pemerintah tetap bebal. Penggusuran jalan terus dan, jika perlu, menggunakan cara apa saja, termasuk menggasak habis mereka yang mencoba melindungi tempat tinggalnya. Video yang memperlihatkan aparat, Satpol PP, polisi, dan TNI menghajar warga viral di media sosial.

Perlawanan mengalir deras. Solidaritas terbangun. Orang-orang merapatkan barisan, baik secara online maupun offline, demi membela warga Tamansari yang tertindas rezim. Mereka berteriak, melayangkan protes, serta menuntut agar kesewenangan dihentikan. Jangan sampai Tamansari bernasib sama seperti Rembang, Kulonprogo, Urutsewu, serta daerah-daerah lain yang digempur penggusuran dan pembangunan.

Sekali lagi, pedal alat berat tetap dipacu, melindas habis rumah-rumah warga yang selama ini jadi sumber penghidupan dan pengharapan.

Beberapa bulan setelah penggusuran, Tamansari beralih rupa. Rumah tak ada, warga yang tetap di sana pun cuma beberapa. Mereka yang bertahan berusaha menyemai perlawanan. Salah satunya Ehenk, lelaki berusia 30 tahun yang aktif di garda terdepan perlawanan atas represi terhadap warga Tamansari selama tiga tahun terakhir.

“Sekarang yang masih di sini tinggal di masjid,” terangnya kepada VICE. “Kami masih berusaha memperjuangkan apa yang jadi hak kami.”

1588159841842-IMG_9046-1
Morgue Vanguard tampil di konser amal Tamansari. Foto dari arsip Grimloc.

Ehenk mengaku perjuangan itu tak pernah mudah. Intimidasi, pemberitaan negatif, provokasi, sampai iming-iming kemakmuran yang dilayangkan aparat pemerintah, menjadi tantangan yang harus ia dan warga setempat hadapi dalam mempertahankan ruang hidup Tamansari. Bahkan, Ehenk sendiri juga tak luput dari sasaran: ia terpaksa keluar dari Bandung demi menghindar dari target aparat.

“Sebelum puasa, saya keluar dari Bandung. Saya putus sementara komunikasi dari keluarga dan teman karena aparat ngincer saya,” kenangnya. “Satu bulan saya harus sembunyi-sembunyi. Itu situasi yang mencekam sekaligus bikin saya sedih.”

Kesedihan Ehenk perlahan terhapus, berubah menjadi keberanian, berkat lagu “Kontra Muerta” yang dibikin dan dirilis Ucok pada 2019 lalu. “Lagu itu sakral banget buat saya. Ketika mendengarkan pertama kali, saya merinding dan emosional. Saya seperti mendapatkan kekuatan untuk bangkit,” paparnya.

Ehenk tidak sendirian. Mayoritas anak-anak muda yang masih bertahan di Tamansari juga menganggap karya-karya yang dirilis Grimloc, seperti halnya Homicide, Bars of Death, sampai Rand Slam, menginspirasi mereka memperjuangkan keadilan.

Di sinilah musik punya peran penting. Dalam konteks Bandung, tidak bisa tidak, Grimloc berjasa besar dalam menjaga elan perlawanan masyarakat atas penindasan. Saat konflik Tamansari meletus, Grimloc aktif berpartisipasi dengan membuka posko donasi di lokasi. Sebelumnya, akhir 2017, mereka turut ambil bagian dalam penyelenggaraan Festival Kampung Kota di Dago Elos dengan merilis merchandise Homicide secara terbatas yang seluruh uang hasil penjualannya diserahkan untuk keberlangsungan acara.

Langkah serupa juga diambil oleh roster mereka. Flukeminimix, kelompok post-rock asuhan Grimloc, misalnya, mengadakan showcase di Tamansari sebelum digusur serta melelang merchandise sebagai bentuk aksi solidaritas.

“Grimloc, sebagai record label, itu bagian dari dinamika kawan-kawan yang banyak ragam macamnya. Kebetulan, di antaranya ada yang aktif di medan sosial-politik. Sejak awal, kami emang enggak bikin label musik yang politis. Tapi, karena Grimloc itu adalah ruang yang diisi banyak orang dan merupakan bagian dari komunitas, maka Grimloc otomatis punya ekspresi dan irisan terhadap urusan politik,” kata Ucok.

Taufiq menjelaskan kesadaran maupun partisipasi politik adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari Grimloc. Menurutnya, sikap politik yang diusung Grimloc bukan sebatas tempelan atau gimmick. “Ada elemen intelektualitas dan ideologi [di setiap rilisan Grimloc] yang tidak mudah direplika,” ujarnya.

Tamansari bukan satu-satunya kasus yang muncul di balik upaya Bandung mempersolek diri. Dago Elos, Kebon Jeruk, Dayang Sumbi, sampai Purnawarman adalah daftar daerah yang pernah punya pengalaman serupa.

Sejarah pembangunan adalah sejarah penindasan. Selama itu masih terjadi, banyak orang percaya musik tetap sanggup memberi kontribusi penting dalam merawat semangat perjuangan, sekalipun pada kenyataannya musik tak bisa mengubah keadaan.

“Kaki jejak tanah, kepala menenadah,

Berpantang lalai pantangi hidup terjajah.”

Satu dekade jelas bukan waktu yang sebentar, terlebih bila kamu bicara eksistensi label musik di Indonesia. Di tengah gempuran arus digital yang menyebabkan disrupsi di banyak lini, tak terkecuali industri musik, mainstream atau indie, bertahan dengan konsep old school sebagaimana yang dilakukan Grimloc tentu patut diapresiasi.

Iit Boit, pemilik Omuniuum, record store terkemuka di Bandung, menjelaskan faktor yang membuat Grimloc bertahan sampai sekarang adalah keberanian sekaligus konsistensi. Dua hal tersebut, Boit bilang, penting dalam menjaga nyala sebuah record label.

“Mereka konsisten dengan gaya dan pendekatan yang dipakai sampai sekarang. Rilisan-rilisan mereka itu adalah produk idealisme yang sudah dibangun sejak lama, berdasarkan nilai-nilai komunitas yang ada,” ujarnya.

Sedangkan Idhar punya pandangan berbeda. Dalam perspektifnya, Grimloc dapat bertahan sejauh ini tak lain dan tak bukan karena pengaruh Ucok. Sebagai sosok veteran di kancah musik arus pinggir Bandung, Ucok memiliki modal sosial kuat yang telah dibangun sejak lama, lintas generasi dan wilayah.

“Ucok itu figur berpengaruh, baik di dunia sehari-hari maupun di media sosial. Sejak dulu dia sudah hidup berkomunitas, membangun jejaringnya dari lingkaran aktivis, metal, punk, sampai hip hop,” papar Idhar. “Kalau diamati, Ucok itu influencer.”

Modal sosial yang dimiliki Ucok, akhirnya menjadi elemen krusial dalam tumbuh kembang Grimloc━bahkan scene itu sendiri. Namun regenerasi tetap tak boleh ditepikan begitu saja, dan ini yang dianggap Boit belum muncul di Grimloc. Boit mengaku khawatir jika ada suatu masa Ucok memutuskan berhenti mengurus Grimloc. “Sekarang belum kebayang gimana [nasib] Grimloc jika enggak ada Ucok,” ujarnya.

Kecemasan Boit seperti merangkum gambaran semesta skena independen Bandung ketika regenerasi belum berjalan maksimal, gap antar kelompok muda dan tua cukup melebar, dan di saat bersamaan golongan veteran yang turut andil besar dalam menghidupi scene sudah jarang nongkrong.

Ihwal regenerasi ini diakui pula oleh Iwan. Ia bercerita cukup kesulitan mencari potensi-potensi baru DJ atau rapper. “Susah banget. Bahkan ketika kami ngadain acara yang ada hubungannya sama hip hop, yang datang justru banyak dari anak-anak di luar lingkaran hip hop,” katanya.

1588160116902-_MG_5880
Suasana di markas Grimloc

Ucok juga belum bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ia tak lagi mengurusi Grimloc. Peluang itu, sekalipun kecil, dapat saja terjadi asalkan dia dan teman-temannya bosan main musik.

“Saya, jujur, enggak bisa ngebayangin tanpa musik. Musik itu, bagi saya, adalah ruang yang enggak bisa dikompromi. Saya bisa kompromi soal pekerjaan, even politik. Tapi, saya enggak bisa kalau [kompromi] soal musik. Pun ketika Grimloc mau bangkrut, saya juga enggak yang kecewa,” jelasnya.

Chuck Palahniuk, dalam novelnya Invisible Monsters (1999), mengutarakan pertanyaan reflektif: mulai kapan masa depan bisa disebut sebagai sebuah ancaman? Dalam konteks Grimloc, jawabannya adalah ketika kesenangan yang mereka bangun selama sepuluh tahun terakhir berubah wujud menjadi ketakutan tentang apa yang akan terjadi.

Sebelum sampai di titik itu, Grimloc lebih dulu punya keinginan yang mesti dipenuhi: merilis album-album penting, melibatkan banyak orang dalam satu atap yang sama, serta menjadikan Grimloc sebagai ruang eksperimen sosial buat memfasilitasi mimpi setiap pelakunya.

Masa depan Grimloc adalah sekarang, dan Ucok mensyukurinya dengan takzim.

“Gila, ya, bisa bertahan sejauh ini.”


Faisal Irfani adalah jurnalis lepas yang rutin mengulas budaya pop Indonesia. Follow dia di Instagram