Mari Mengenal Tradisi Panjang Kuliner Halal di Cina
Pusat kuliner halal buka malam hari di Pasar Langzhou. Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Masakan Cina

Mari Mengenal Tradisi Panjang Kuliner Halal di Cina

Populasi pemeluk Islam di Tiongkok yang mencapai 23 juta orang, lebih besar dari banyak negara Arab lho. Tak heran bila tradisi kuliner halal berkembang pesat. Jadi laper nih.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Tahun lalu, saya mengunjungi provinsi Ningxia, Cina, saat Idul Fitri. Saya menyaksikan, dari balik salah satu masjid terbesar di provinsi itu, ratusan laki-laki sujud menutup bulan puasa. Ada pula makan-makan bersama keluarga besar, menunya berisi daging domba, roti, kentang, dan daging sapi. Dengan populasi Muslim lebih dari 23 juta, Cina memiliki lebih banyak pengikut Islam ketimbang negara-negara Arab lainnya. Alhasil, kuliner Cina berkembang ke arah yang tidak kita sadari sebelumnya.

Iklan

Masjid di Ningxia selepas Salat Idul Fitri. Semua foto oleh penulis.

Seperti di manapun di dunia ini, restoran Muslim di Cina mengedepankan standar halal. Tidak ada menu babi dan daging-daging yang dihidangkan berasal dari hewan yang disembelih sesuai prosedur Islam. Karena sebagian besar masyarakat Muslim di Cina bermukim di bagian utara di mana makanan pokoknya adalah gandum, hampir semua restoran berfokus pada mi dan roti-rotian. Pada pasar malam di kota-kota didominasi warga Muslim, kebab atau chuan er, adalah menu umum, biasanya disajikan dengan kuah kunyit, yang merupakan rempah utama. Domba adalah favorit semua orang di sana dan semuanya dimasak, dari otak hingga jeroan. Makanan Cina Muslim juga cenderung berempah dan pedas, dan bahan-bahan utamanya adalah kentang, tomat, dan lada.

Pangsit isi daging domba di Kashgar, Xinjiang.

Ada dua kelompok etnis Muslim besar di Cina: Hui dan Uighur. Meski kedua komunitas ini menganut agama yang sama, arah kuliner mereka lumayan berbeda.

Etnis Hui—umumnya berbasis di provinsi Ningxia dan menyebar ke seluruh Gansu, Qinghai, Xinjiang, dan Tibet—amat menyukai mi daging sapi dan domba. Stereotip restoran mereka adalah kebersihan—hasil komitmen religius terhadap kebersihan dan larangan menjauhi rokok, alkohol, dan berjudi. Dengan sejarah 1,200 tahun, warga Huis adalah etnis minoritas di Cina, keturunan pedagang Arab dan Persia yang berdagang melalui Jalur Sutra dan dikenal atas agama Islam.

Sajian khas Restoran Hui yang saya datangi di Lanzhou, Provinsi Gansu.

Selama bertahun-tahun, mereka telah berasimiliasi dengan baik dalam masyarakat Cina arus utama yang terdiri dari 56 kelompok imigran di Cina, dan agama mereka adalah penyatu identitas mereka. Kuliner mereka disebut qingzhen—yang berarti "kebenaran murni." Kata qing juga sebuag homofon bagi warna biru kehijauan, dan restoran-restoran ini memiliki papan nama dengan warna itu, yang berarti makanan yang mereka sajikan halal.

Iklan

Mi kuah daging sapi khas Lanzhou.

Mereka adalah pemilik utama restoran-restoran mi daging sapi Lanzhou, yang namanya mengikuti ibukota provinsi Gansu. Menu mereka adalah sop bening, dikombinasikan dengan irisan lobak dan potongan daging sapi, yang sapinya berasal dari perternakan sekitar Lanzhou, dan ditambah dengan mi buatan tangan, dan dicampur dengan kuah pedas yang terasa maknyus di lidah.

Pada 1915, lelaki muslim dari suku Hui bernama Mabozi menemukan sajian tersebut dan mempopulerkannya di kalangan orang Han. Saat ini, ada lebih dari 20.000 kios mi Lanzho yang tersebar di seluruh Cina. itupun cuma hasil hitungan minimal kasar, angka aslinya bisa jauh lebih banyak dari itu. Tak ada monopoli atau rantai restoran yang merajai kios-kios ini. Reputasi mi Lanzhou makin kuat berkat ribuan pedagang mi ini. Alhasil, mi Lanzhou jadi semacam kekuatan ekonomi kecil yang tumbuh berkat sebuah debat sepele "apa sih yang bikin semangkuk mi sedap?" Mi selalu dibuat sendiri oleh penjualnya yang perlu bakat tersendiri untuk membuat mi maknyus.

Olahan mi khas orang Hui.

Orang Hui juga punya hubungan kuliner yang bersifat simbiotik dengan komunitas Tibet di seluruh penjuru Cina. Di mayoritas kota Tibet, saya menjumpai komunitas Muslim yang sudah berdiam di sana selama ratusan tahun. Mereka biasanya berprofesi sebagai jagal karena orang Tibet tidak menyembelih hewan mereka, sebuah perbuatan yang melanggar nilai-nilai Budhisme. Orang Tibet biasanya menjual Yak langsung pada orang Hui. Sebagai imbalan, orang Hui akan membayar mereka dengan sejumlah uang. Yak kemudian disembelih oleh orang Hui dan daginga bakal dijual di pasar.

Iklan

Pedagang kaki lima di pusat kuliner Lanzhou.

Sebaliknya, suku Uighur adalah kelompok etnis Turki mayoritas Islam yang banyak bermukik di daerah Xianjuang, di kawasan barat laut Cina yang berbatasan dengan Rusia, Afghanistan dan India. Berbeda dengan tetangganya suku Hui, orang Uighur memiliki penampakan layaknya ras Eurasia, memiliki bahasa sendiri dan menyantap makanan yang dipengaruhi budaya kuliner Asia Tengah, Timur Tengah dan elemen kuliner Tiongkok klasik.

Ayam rica-rica ala Xinjiang.

Pilaf, yang dimasak dengan lemak domba, adalah makanan pokok Uighur seperti juga Laghman—mi rumahan yang ditaburi dengan daging domba, kentang, romat, bawang merah dan merica. Salah satu sajian khas Uighur yang unik adalah da pan ji— bisa diterjemahkan menjadi"sepiring besar ayam"—ayam rebus pedas yang dibumbui cabe dan parprika. Sajian ini biasanya disantap dengan mi. Santapan yang dimasak dengan dibakar adalah bagian lain dari budaya kuliner suku Uighur. Mereka bahkan punya roti naan versi Uighur. Ada pula roti yang diberi nama girda naan, yang penampilan dan rasanya sepintas mirip bagel. Di samping itu semua, suku Uighur punya banyak variasi kue-kuean yang biasanya dihiasi dengan kacang dan kismis.

Roti Girda di Kashgar, Xinjiang.

Singkat cerita, makanan halal di Tiongkok kebanyakan sajian hangat dibuat sepenuh hati. Pilihan dagingnya terbatas namun rasanya sangat variatif. Masakah suku Hui banyak berbentuk mi dan punya citarasa Cina sementara santapan suku Uyghur banyak dipengaruhi makanan Turki. Baik masakan suku Uyghur dan Turki sama-sama banyak menggunakan daging domba, sapi dan gandum. Dalam suatu kesempatan di Urumqi, ibukota Xinjiang, saya dan seorang teman bertemu dengan lelaki berumur 20 tahunan yang mengajak kami makan malam di restoran kesayangannya. Malam itu, kami menyantap aneka ragam olahan daging domba, mi empuk dan lembut yang dibumbui paprika. Saat sedang enak-enaknya makan, saya bertanya bagaimana dia  menjelaskan makanan ini ke anggota sukunya.

"Ini sih cuma kudapan," ujarnya sambil tersenyum. "Tapi dijamin bikin perutmu kenyang."