Hobi Travelling Berpotensi Merusak Bumi, Apalagi Kalau Kalian Peselancar Kayak Aku

sering jalan-jalan naik pesawat bisa merusak lingkungan

Peselancar jauh lebih berpengalaman dibanding orang lain dalam banyak hal. Seriusan.

Peselancar alias surfer selalu jadi yang pertama melakukan hal-hal keren di berbagai negara antah berantah. Narsisme, kemampuan berpikir, dan spiritualitas semu di kalangan peselancar sudah ada jauh sebelum para influencer medsos mulai mengutip Nietzsche/Mandela/Gandhi di Instagramnya. Kami berusaha memamerkan kebijaksanaan moral dan berperilaku seakan kami manusia setengah dewa, jauh sebelum kamu membual di Twitter habis ngasih uang seratus ribu kepada pengemis.

Videos by VICE

Peselancar lebih dula tergila-gila pada makrobiotik, puasa, yoga, wheatgrass—puluhan tahun sebelum orang lain tahu. Kami mengikuti gaya hidup ‘makanan cepat saji buat malam, tahu telur pagi-pagi’ sejak dulu.

1548696109711-should-we-travel-environmental-damage
“Peselancar jauh lebih dulu melakukan banyak hal dibanding masyarakat biasa.” Foto oleh Nicole Honeywill

Selain lebih unik dan lebih cakep, surfer secara umum juga manusia yang lebih menarik. Karena kami mempunyai pertentangan batin yang konstan. Ibarat protagonis yang suka merenung, detektif introvert di serial TV, atau penjahat karismatik, peselancar adalah orang yang penuh nuansa. Dan konflik batin itu mewarnai paradoks besar di balik gaya hidup peselancar.

Kami mencintai / menghargai / memuji alam (lebih dari orang lain, dan jauh sebelum orang mengampanyekannya di medsos). Nyatanya kami berselancar memakai pakaian dari bahan petrokimia, menggunakan papan petrokimia, dan berkontribusi pada masalah lingkungan.

Makanya masuk akal banget ketika ada peselancar yang merasa, “wah semua ideologi baik yang kami percaya selama ini ternyata bermasalah ya.”

Contohnya Aku sendiri yang merinding pada awal tahun ini, pas membaca wawancara sebuah majalah surfing bersama jurnalis lingkungan terkemuka George Monbiot.

travel environment surfing 1
“Penerbangan sekali jalan dari Eropa atau Amerika ke Indonesia, setara dengan produksi jejak karbon rata-rata tiap orang di dunia selama setahun.” Foto oleh: Ragnar Vorel

Wawancara itu tayang bersebelahan dengan artikel “10 Lokasi Gelombang Terbaik Untuk Berselancar Di Indonesia”, “Cara Jitu Mengelak dari Biaya Bagasi Tambahan”, dan “5 Papan Berselancar Paling Oke Untuk Dibawa ke Tahiti” di situs webnya.

George memohon kepada peselancar agar mulai belajar “menghindari perjalanan jarak jauh (misalnya ke Indonesia) dengan pesawat, yang menghasilkan emisi karbon setara setengah dari emisi karbon warga dunia rata-rata dalam setahun.”

Kalau para peselancar betul-betul memperdulikan lingkungan seperti yang mereka gembar-gemborkan, mereka seharusnya tetap di rumah saja. Seakan tak puas melarang kami naik pesawat kemana-mana, Monbiot mengusulkan surfer mulai beralih “menjelajahi pesisir Wales dengan perahu kayak.”

Menjelajahi. Wales. Dengan. Perahu. Kayak. SIANJING.

Begini. Aku bukannya mau memusuhi George Monbiot. Lagipula, apa yang dia katakan sedikit ada benarnya.

Intinya, surf travel, seperti semua bentuk perjalanan udara yang memanjakan penganut agama selancar, kini harus dianggap sebagai gaya hidup ketinggalan zaman dan merusak. Enggak apa-apa kalau kamu pengin keliling dunia atau cari pengalaman ekstrem, tapi jangan pura-pura blo’on, merasa hobimu tak berdampak buruk pada lingkungan.

1548696500444-should-we-travel-environment-damage-surfing-michael-olsen-465727-unsplash
Peselancar menikmati ombak di sisi utara Hawaii. Bagaimana cara surfer sampai di lokasi ini tanpa menyumbang emisi karbon? Foto: Michael Olsen

Keterlibatanku (dan peselancar lain) dalam persoalan lingkungan bahkan lebih parah dari orang biasa. Kami terbiasa jalan-jalan memburu gelombang, dan intensitas kami naik pesawat lebih banyak dibanding turis kebanyakan. Peselancar biasa mencari swell (jangka waktu yang cocok untuk berselancar). Kadang kami membuka prediksi swell untuk tiga benua sekaligus, menunggu sampai detik terakhir untuk memilih destinasi berikut.

Dampaknya? Aku pernah ke terbang ke Australia selama hanya 36 jam terus balik lagi ke Prancis. Sudah beberapa kali aku pergi ke Tahiti, Bali, Mikronesia, Fiji—dan tak pernah menghabiskan lebih dari seminggu di tiap lokasi.

Editor foto di majalah tempatku bekerja dulu terbang dari Paris ke Auckland, lantas lanjut ke Fiji ke Tahiti, dan pulang lagi demi surfing seharian; hanya satu foto terbit dari perjalanan itu.

Makanya moralitas baru diperlukan para peselancar profesional. Kami wajib membuang ide bahwa ‘mengelilingi dunia demi selancar’ itu menandakan kebijaksanaan, tingkat pendidikan, atau ambisi mulia. Seperti yang ditulis Monbiot sendiri dalam bukunya, Heat yang terbit 2006 lalu: “Traveller kaya dari berbagai negara harus mulai mengakhiri kebiasaan jalan-jalan ke New York cuman buat belanja, sengaja main pas akhir pekan buat pesta-pesta di Ibiza, atau punya rumah cadangan di Tuscany. Silakan kamu terus melakukan jalan-jalan tak bertanggung jawab, kalau kamu percaya aktivitas-aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan merawat kualitas lingkungan dan memberdayakan orang miskin.”

1548697645764-Should-We-Travel-enviro0nmental-impact-Instagram-Influencer
“Instagram, tempat paling cocok untuk kaum narsis pamer jalan-jalan” Foto: Screenshot

Anggap saja semua pesawat komersial tidak langsung bangkrut akibat tayangnya artikel ini. Bisnis wisata akan terus berjalan. Tapi kalian yang tercerahkan bisa mulai dengan bersolidaritas, mulai menentukan prioritas saat jalan-jalan.

Perjalanan buat kerja, atau buat menengok anggota keluarga yang sakit tentunya lebih punya skala prioritas daripada “pengin pergi aja.” Lebih parah lagi kalau ada yang nge-trip cuman buat nambah koleksi foto ‘lucu’ ke aplikasi IG, yang kini menjadi semacam piala untuk dikoleksi (makin banyak lho yang gila travelling cuma buat foto doang).

Tristan Kennedy, editor situs ini, memberiku tawaran menulis untuk Amuse, sebuah situs yang ditujukan buat tipe pembaca yang “terbang naik business class saat pergi backpacking.” Mendengar penjelasan itu aku muntah sedikit. Situs apaan nih, ideologinya malah berseberangan sama kesadaranku yang baru soal travelling bertanggung jawab.

Untungya sebagai profesional—yang enggak pernah menolak tawaran duit—Aku langsung mulai mengetik esai buat Amuse. Hasilnya ya opini ini, yang dibuat untuk mendukung gaya hidup “jalan-jalan tapi bertanggung jawab.”

Mungkin sebagian dari kalian setuju denganku, mungkin enggak. Tapi hal besar yang harus diingat: aku adalah peselancar yang udah kenyang keliling ke berbagai negara demi memburu ombak doang. Aku yang duluan muntah gara-gara menyadari konsekuensi sering travelling tanpa tujuan di masa lalu.


Paul Evans adalah peselancar dan penulis lepas berbasis di Prancis. Kalian bisa mengikuti dia mengoleksi foto kotak-kotak di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di Amuse—situs membahas jalan-jalan bagian dari VICE.com