Mestinya Jumat pekan lalu tak ubahnya hari-hari biasa bagi Santi dan keluarga. Begitu masuk maghrib, ketika langit mulai kelabu dan azan berkumandang, ibu 34 tahun itu segera beberes dan mengajak keluarga bersiap melaksanakan salat. Tapi Jumat kemarin jalannya berbeda. Tak berapa lama setelah toa masjid menyiarkan azan, bumi berguncang. Gempa hebat berskala 7,4 magnitudo melanda tanah Sulawesi Tengah.
Santi, yang saat itu sedang berada di dalam rumah, melihat semua benda berjatuhan ke tanah. Belum sempat sepenuhnya ia sadari apa yang sedang terjadi, tembok-tembok rumahnya begitu saja rubuh, dan lantai yang ia pijak bergoyang seperti digeser-geser. “Tanah itu bergoyang ke kiri dan kanan,” katanya. Di momen itu ia baru sadar apa yang sedang terjadi adalah gempa bumi.
Videos by VICE
Di depan matanya ia lihat apa yang terjadi di luar: rumah-rumah tetangganya di Perumahan Nasional Balaroa bergeser. Tembok dan pagar roboh. Selang beberapa detik, ia tersadar, yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Bukan rumah tetangganya yang bergeser, justru rumah Santi lah yang berpindah posisi menjauhi rumah tetangga-tetangganya.
Belum sempat pula terlintas di benak Santi untuk lari menyelamatkan diri, tembok rumahnya terbelah. Ruang demi ruang seperti dicomot begitu saja oleh alam. “Kamar anak, kamar utama, dengan kamar yang di belakang terpisah sampai 300 meter,” katanya saat ditemui di posko pengungsian kelurahan Balaroa, Selasa (2/10) sore waktu setempat. “Pokoknya kayak diacak-acak.”
Dalam situasi seperti itu Santi mengaku tak sempat memikirkan apapun selain menyelamatkan diri. Ia tak tahu di mana anak-anak ataupun suaminya berada. “Menyelematkan diri sendiri saja sudah alhamdulillah,” katanya. Keberadaan sanak famili baru bisa ia lacak begitu tanah berhenti bergejolak meski sesekali masih bergetar. “Saya lihat sosok suami di samping tembok,” kata Santi.
“Ternyata ada anak saya di dalam.”
Setelah menghampiri suami dan anaknya, mereka bersama-sama lari ke tanah yang lebih tinggi menjauhi reruntuhan. Sebuah usaha yang sia-sia karena Santi mendapati semua yang ada di sekelilingnya telah lumat oleh gempa.
Tak berapa jauh dari rumah Santi, Fadilah, nenek berusia 52 tahun, mengalami hal serupa. Sebelum gempa melanda, rumah Fadilah yang berada di kampung Balaroa sedang ramai oleh sanak keluarga. Mereka baru saja melayat kerabat yang meninggal. Sepulang dari sana, Fadilah memboyong tiga cucu, dua anak, dan satu keponakannya bertandang ke rumah. Fadilah ingat, sebelum bumi berguncang, ia mendengar azan. Tiba-tiba gempa menyerang. Kumandang azan pun putus.
“Mak, tanah goyang mak!” anaknya berseru panik. Bumi berguncang makin hebat. Dalam waktu sekejap cucu-cucu Fadilah yang masih bayi segera diamankan oleh kedua anaknya. Setelah itu semuanya lari menyelamatkan diri. Tapi alam seolah tak mengizinkan karena begitu mereka hendak pergi, tanah berkecamuk seperti ombak.
“Saya lari ke samping, baru tiga langkah, tanahnya runtuh,” kata Fadilah. “Mana bisa kita lari kalau tanahnya terbelah.”
Fadilah kemudian pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Di tengah gempa yang berlangsung seolah tanpa henti, ia berzikir. Tiba-tiba tanah di hadapannya bergejolak. “Naik sampai dada,” ia menjelaskan. “Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, saya berzikir saja.” Tak berapa lama kemudian lindu mereda.
Setelah saling mencari satu sama lain, Fadilah akhirnya bertemu kembali dengan anak dan cucu-cucunya. Fadilah bersyukur keluarga yang bersama-sama dengannya di rumah tadi lengkap. Ia mengaku gemetar mendengar cucu pertamanya yang berusia tujuh tahun, selamat meski sempat terjerembap ke dalam tanah kering yang terbelah. “Itu yang namanya mukzizat, dia masuk ke tanah lalu lihat ada celah, seperti jalan,” kata Fadilah.
Santi dan Fadilah adalah dua dari ribuan warga yang rumahnya berada di kelurahan Balaroa, Palu Barat, Sulawesi Tengah. Daerah ini adalah daerah yang mengalami kerusakan paling parah oleh gempa. Tanah di kelurahan itu bergeser dan bergerak-gerak layaknya agar-agar karena efek likuefaksi, sebuah fenomena alam yang terjadi ketika tanah tercampur oleh lumpur dalam jumlah yang sangat banyak. Tanah tempat warga bermukim tiba-tiba jadi seperti lempung kering akibat gempa.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada setidaknya 744 rumah di Perumnas Balaroa amblas dan hilang tertimbun tanah. Perumahan dan kampung di sana kini rata dengan tanah seolah di sana tak pernah ada pemukiman warga.
Santi dan Fadilah kini bertahan di posko pengungsian warga Balaroa bersama dengan keluarga dan ribuan penyintas gempa lainnya. Mereka berharap pemerintah memprioritaskan bantuan ke Balaroa mengingat skala kerusakan yang amat gawat. Di tengah situasi yang tak menentu, terlebih masih ada puluhan gempa susulan terjadi setiap hari, Santi mengaku hanya bisa berdoa sembari mencoba mengatasi trauma yang memberatkan hatinya, terlebih bagi anak-anaknya.
“Karena masih trauma anak saya sampai bertanya, ‘boleh tidur tidak tutup mata mamak? Siapa tahu ada gempa lagi’.”