Ibu-Ibu yang Anaknya Menjadi Ekstremis Bersatu Melawan ISIS

Foto didapat dari materi pamflet FATE

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

Saat ini juga, di sebuah ruang konferensi di Tunisia, sebuah organisasi bernama FATE berusaha mencari cara mencegah radikalisasi kaum muda Muslim. FATE—Families Against Terrorism and Extremism (Keluarga Menentang Terorisme dan Ekstrimisme)—bukanlah sebuah operasi militer atau perpanjangan dari badan intelijen. FATE merupakan kumpulan dari beberapa kelompok aktivis kecil berisikan ibu, ayah dan saudara kandung dari banyak kaum muda yang telah diradikalisasi oleh ISIS.

Videos by VICE

Mengingat banyaknya kaum muda yang telah direkrut ISIS—sekitar 30 ribu pejuang asing bergabung dengan ISIS dan berperang di Suriah dan Irak sejak enam tahun lalu—isu terhitung masalah mendesak.

Selain menjadi tempat pertemuan bagi para keluarga korban untuk saling berbagi duka cita dan mencari solusi melawan para perekrut ISIS, konferensi ini juga menjadi kegiatan berjejaring dan workshop menghadirkan tokoh akademis, perwakilan dari LSM dan mereka-mereka yang pernah kehilangan akibat serangan teroris. Alih-alih menyalahkan keluarga dari mereka yang teradikalisasi, kelompok ini ingin berdialog dengan mereka dan mencari tahu tanda-tanda ekstremisme yang mungkin harusnya bisa dicegah lebih awal. Tujuannya di sini bukanlah mencari keadilan, namun mencegah kaum muda direkrut para perekrut pergi ke Suriah.

Karolina Dam adalah salah satu ibu-ibu yang menghadiri konferensi tersebut. Setelah anak lelakinya Lukas direkrut ISIS pada 2014, dia mendedikasikan hidupnya membantu orang tua lain yang mengalami hal serupa. Saya menelepon Karolina di kediamannya di Copenhagen. Ketika dia berbicara mengenai semangatnya menjalankan FATE, terdengar dentingan keputusasaan di suaranya. “Setiap kali saya mendengar cerita orang tua lain, saya menangis,” katanya.

“Kita tidak mau anak kita meledak dalam perang; kita mau mereka di rumah, tidur di ranjang mereka. Namun ya kenyataannya begini. Semua sudah terjadi. Orang tua semestinya tidak harus menghadapi hal mengerikan seperti ini seorang diri.”

Dibesarkan oleh Karolina di Denmark, Lukas beralih memeluk agama Islam pada umur 13 tahun setelah berteman dengan beberapa pria Muslim di tempat kerjanya. Karolina mengaku bahwa Lukas mengidap autistik dan didiagnosa dengan ADD dan sindrom Asperger. Karena itulah Islam terlihat seperti sebuah solusi yang pas: “Agama memberikan dia struktur dan rutinitas yang dia bisa lakukan setiap hari.”

Karolina mengatakan bahwa Islam mengajarkan Lukas berempati dan memberikan dia sebuah komunitas di luar keluarganya. Namun seiring waktu, Lukas makin terlibat dengan organisasi yang lebih ekstrem dan akhirnya bergabung dengan sebuah kelompok yang diduga terlibat dengan terorisme. Ketika berumur 18, Lukas mengatakan kepada ibunya bahwa dia akan pergi ke perbatasan Turki. Setelah itu, Karolina tidak penah benar-benar tahu di mana anaknya berada. Dia sering mengirimkan foto-foto kucing agar Lukas terbujuk pulang.

Pada Desember 2014, seorang teman Lukas mengirimkan Karolina sebuah tautan ke sebuah pesan pribadi Facebook. “Tautannya mengirim saya ke sebuah grup pendukung ISIS di Facebook,” katanya. Ketika itulah, Karolina sadar anaknya bukan berada di Turki, melainkan di Suriah, berperang dengan kaum militan Daesh. Di grup Facebook tersebut terpampang foto Lukas membawa AK-47 dan komentar-komentar di bawah fotonya mengatakan bahwa dia sudah tewas. “Saya tidak tahu anak saya menjadi seorang Islam radikal sampai setelah dia meninggal,” jelasnya. Karolina masih belum tahu cerita lengkap kematian anaknya sampai sekarang. Pihak berwajib menolak mengeluarkan dokumen perihal radikalisasi anaknya sampai sertifikat kematian resmi keluar.

Setelah kehilangan anaknya, Karolina yang sedang berkabung mendirikan Sons and Daughters of the World, sebuah organisasi yang bertujuan menciptakan kesadaran untuk melawan ekstremisme dan menciptakan sebuah forum di mana keluarga yang pernah mengalami efek radikalisasi dapat berdiskusi dengan aman tanpa diawasi. “Organisasi ini memberikan bantuan ke para orang tua lain; bantuan yang saya butuhkan dulu ketika anak saya kabur,” kata Karolina. Mereka bahkan membantu ibu-ibu yang kehilangan anaknya dengan cara menonton video ISIS dan menelusuri foto-foto ISIS guna menemukan anak mereka.

Sons and Daughters merupakan bagian dari FATE yang menjadi induk bagi organisasi-organisasi serupa. Sebanyak 42 organisasi dari Afrika hingga Eropa Utara tergabung di dalam FATE. Ketika ditanya apa upaya yang dilakukan FATE, Karolina menjawab, “Kami membuat video kampanye,” katanya, “untuk menyebarkan pesan ke kaum muda bahwa kami adalah masa depan dan Daesh adalah cerita lama.”

Saya sudah menonton video-video kampanye tersebut. Mereka dibuat dengan budget rendah dan terlihat sangat dibuat-buat. Saya tidak yakin apakah pesan mereka cukup retorik untuk melawan pesan-pesan ekstremis, namun Karolina yakin. ” Kampanye-kampanye ini akan menyelamatkan nyawa anak-anak kita,” jelasnya. “Kalau kami tidak yakin, kami tidak akan lakukan. Ini sangat penting.”

Intinya, FATE berusaha mengerjakan apa yang aparat pemerintah gagal lakukan. Karolina bercerita tentang seorang ibu dari Denmark yang menghubunginya lewat FATE, karena khawatir perilaku anaknya semakin radikal. “Dia menghubungi aparat namun mereka menolaknya dan mengatakan bahwa tidak ada masalah,” kata Karolina. “Mestinya mereka tidak berkata seperti itu pada seorang ibu! Sudah bagus dia berani melapor. Keluarga biasanya takut dengan aparat—takut anak mereka akan diambil. Menanggapi keluhan seperti inilah peran dari organisasi kecil dan LSM.”

Ketika saya menanyakan solusi bagi anak-anak yang teradikalisasi, Karolina menyarankan pembelajaran Islam yang lebih mendalam. “Kebanyakan anak-anak ini bahkan belum membaca Al Quran; mereka tidak tahu apa yang baik dan yang tidak,” jelasnya. “Mereka hanya tahu apa yang diajarkan. Banyak ajaran Al Quran yang saya bisa gunakan untuk kebaikan anak saya.”

Tujuan FATE bukan hanya untuk membantu mereka-mereka yang terpengaruh ekstremisme, namun juga merubah kultur yang menyalahkan kaum muda. Karolina mengatakan bahwa kita harus berhenti hanya memperlakukan mereka sebagai teroris, dan menyadari bahwa mereka terganggu dan mesti ditolong. Banyak ibu-ibu yang juga dituduh ‘membantu’ ISIS—namun faktanya jelas tidak ada ibu yang mengirimkan uang untuk dibelikan senjata dan peluru, jelas Karolina. “Mereka mengirimkan uang agar anaknya bisa makan.”

Jelas orang-orang ini mesti dihukum, kata Karolina. Namun, dia ingin fokus masalahnya dialihkan ke para perekrut ISIS. “Kita tahu para perekrut ini siapa. Mereka membawa anak kami ke Suriah dan sekarang mereka bebas berkeliaran di jalan. Merekalah yang bertanggung jawab atas kematian anak-anak kami.”

Follow Amelia Abraham lewat Twitter-nya.