Pengguna Internet zaman sekarang demen banget menghabiskan waktunya berdebat di media sosial. Sampai topik paling sepele sekali diributin juga. Biasanya nih, ada kepuasan tersendiri kalau bisa membuat lawan bicaramu tidak berkutik (tak peduli mereka benar atau salah).
Nah, bagaimana sih caranya supaya kita bisa memenangkan debat di forum online atau Twitter, atau kolom komentar Facebook? Saya menghubungi Elisabetta Matelli, Dosen ilmu retorika klasik di Catholic University, Milan, demi memahami alasan kenapa para troll dunia maya bisa banget bikin jengkel orang lain. Dia juga berbagi tips untuk melawan ujaran kebencian, dan menutup perdebatan dengan orang yang superngotot di internet.
Videos by VICE
VICE: Sebagai pakar retorika, menurutmu kenapa orang sering pakai teknik ngotot dan stock phrase?
Elisabetta Matelli: Konsep slogan dan stock phrase sudah ada sejak zaman Yunani Kuno di Sisilia (Sicily). Waktu itu orang-orang menuntut digantinya sistem monarki dan kediktatoran menjadi demokrasi. Bedanya, kalau sekarang slogan diciptakan untuk menyebarkan kebijaksanaan. Misalnya pepatah seperti “know thyself” (kenali dirimu sendiri) atau “he who laughs last, laughs loudest” (siapa yang tertawa terakhir, dia yang tertawa paling puas). Ungkapan seperti ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat memperkuat kesimpulan kita karena menyimpulkan hal-hal yang diperdebatkan. Peribahasa digunakan sebagai kiasan yang nilainya lebih tinggi daripada ungkapan biasa.
Apa yang berubah dari prinsip retorika di era debat internet?
Budaya kontemporer telah menurunkan kadar kebijaksanaan. Orang baru akan mengulang suatu perkataan apabila ada orang terkenal yang mengeluarkan pernyataan catchy.
Masalahnya, kita sekarang terlalu sembarangan menaruh kepercayaan atau wewenang kepada orang lain. Kita dulu bisa melihat mutu seseorang. Kita akan mengutip perkataan filsuf atau penyair hebat karena mereka tahu apa yang mereka ucap. Kalau sekarang, kita seringnya asal menerima suatu pernyataan tanpa memastikan kebenarannya. Pengakuan nilai sosial kita semakin bobrok.
Bagaimana caranya membuat slogan yang efektif dalam debaat?
Selain memberi wewenang kepada siapa yang membuatnya, slogan harus universal dan dapat diterapkan kapan saja.
Kita berandai-andai sekarang. Misalnya, ada dua orang yang lagi diskusi soal topik kontroversial seperti imigrasi. Salah satu dari mereka bilang, “imigran harusnya enggak meninggalkan negaranya. Mereka jangan negara kita, karena merebut pekerjaan pribumi.” Bagaimana sebaiknya kita membalas argumen gitu?
Setiap pihak yakin kalau pandangan masing-masing yang paling masuk akal saat berdebat. Kita berpegang teguh pada keyakinan pribadi secara rasional, emosional dan sensitif. Kita sampai rela berdebat saking yakinnya. Tapi, kita perlu mempertimbangkan apakah kita berdebat untuk menunjukkan kita yang paling benar atau agar bisa sama-sama mendapat kebenaran? Persuasi retoris yang efektif biasanya terjadi ketika orang benar-benar ingin menyelesaikan suatu masalah. Kalau tidak… Ya artinya kamu hanya pengin berantem doang. Hal ini sering terjadi di masyarakat kita.
Saya akan mencoba pendekatan tegas untuk lebih memahami kekhawatiran orang lain. Intinya, saya tidak bisa cuma bilang tidak setuju kalau ingin menentang pendapat lawan bicara. Saya perlu mencari premis menyeluruh untuk menggali pandangan yang serupa dan menemukan bahwa kebenaran ada di antara apa yang kita berdua pikirkan.
Itu artinya saya harus bertanya ke lawan bicara apa yang ditakuti sampai-sampai mereka berpikiran imigran merebut pekerjaan “pribumi”?
Saya tidak akan tanya secara eksplisit karena mereka bisa saja bersikap defensif. Saya berusaha memahami alasannya dengan menanyakan kenapa mereka berpikiran seperti itu. Apabila mereka mengaku pengangguran dan takut kesempatan kerjanya diambil orang lain, maka kamu harus mempertimbangkan kenyataan ini. Kamu menyepelekan pengalaman pribadi mereka kalau mengabaikannya. Kamu tidak akan bisa memperkuat argumen dan menemukan solusi.
Bagaimana kalau saya sudah tahu lawan debat ini xenofobik?
Kalau kenyataannya seperti itu, saya akan memberikan mereka fakta dan datanya supaya berpikir. Tapi saya tetap mencoba mencari tahu penyebab mereka bisa seperti itu. Kalau alasannya tidak masuk akal, saya akan mulai dari pengalaman yang memicunya. Banyak yang bahas soal neo-Nazi sekarang. Semua ideologi bisa tercipta karena ada tanda-tanda ketidakamanan sosial yang disembunyikan. Orang mengamalkannya karena bisa menyerang sasaran supaya bisa merasa aman.
Seberapa penting kedekatan fisik antara kedua belah pihak?
Komunikasi tidak hanya verbal atau rasional, tetapi juga nonverbal. Pada umumnya, hasil perdebatan akan lebih positif apabila dilakukan secara langsung dan tidak bermaksud mencari yang benar atau salah. Berdebat dari jarak jauh, seperti di internet, memang sengaja dibesar-besarkan karena kita tidak melihat langsung lawan bicaranya
Lalu, apa yang bakal kamu lakukan apabila orang yang kamu ajak berdebat menolak mendengar penjelasan kita atau membalas dengan mengeluarkan kalimat standar seperti “ya sudah, kenapa kamu enggak tampung saja pengungsinya di rumah kamu?”
Saya akan langsung menjawab bahwa sistem imigrasi kita tak mewajibkan dia atau saya untuk menampung pengungsi di rumah kami. Itukan anggapan yang salah. Dengan berkata demikian, lawan debat saya sebenarnya tengah mengajukan pertanyaan tentang konteks yang sejatinya tidak ada. Saya bisa bilang jika pertanyaannya itu sama selevel dengan pertanyaan ini “Kenapa gajah tak berenang di laut?”
Jika lawan debat saya cuma percaya pandangannya dan tak mau terbuka dengan pendapat orang lain, bisakah saya langsung mengusir mereka?
Saya sih tak akan melecehkan mereka secara verbal karena itu akan menempatkan kita pada posisi yang lemah. Cara yang terbaik untuk mengusir mereka adalah dengan berhenti bicara dan mengakhiri pembicaraan.
Kamu punya rekomendasi bacaan untuk mereka yang ingin mendalami seni berdebat?
Saya pikir retorika harusnya diajarkan di semua sekolah karena retorika mengajarkan kita memisahkan kebohongan dari kebenaran. Aristoteles menjelaskan bahwa bentuk kebenaran tak melulu bergantung pada bagaimana cara kita memanipulasinya, tapi lebih pada cara mendekati kebenaran yang belum kita kuasai.
Saya menyarankan untuk membaca Retorica-nya Aristoteles dan and Institutio Oratoria-nya Quintillian. Kedua buku itu dijadikan rujukan sejumlah pidato dalam sejarah manusia. Jika ingin yang lebih baru, kalian bisa membaca karya Marshall Rosenberg, yang menjelaskan bahwa kata bisa berfungsi sebagai jendela atau dinding, tergantung cara penggunaannya. Dari asumsi ini, kita bisa memahami bahwa pendekatan empatis dimulai dari keterbukaan pada pendapat orang lain, bukan penyalahgunaan kuasa.
Hal-hal seperti ini tak banyak kita pelajari dari bahasa kultural masa kini, yang dirancang membuat sesuatu terlihat lebih wah, padahal bukan begitu kenyataannya. Orang-orang saat ini begitu dimanja oleh contoh buruk “komunikasi komersial” dalam pengertian yang luas. Jika kita mereduksi komunikasi yang melibatkan pertanyaan yang penting sampai ke level bahasa iklan, kita cuma akan mengekang diri kita dalam dimensi sempit dan mempreteli kemampuan kita menghadapi kompleksnya kehidupan dewasa ini.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italia