Bagi sebagian orang, sepeda bisa jadi sumber mata pencaharian dan identitas. Di London, Ibu Kota Inggris, banyak orang pilih jadi kurir sepeda. Keberadaan mereka berperan penting bagi komunitas pengantar barang di seluruh dunia.
Dalam sisi pekerjaan, kurir sepeda menjadi yang paling merasakan dampak kapitalisme. Profesi ini termasuk kategori gig economy. Bayarannya rendah, tapi risikonya besar. Mereka harus mengayuh pedal secepat mungkin agar tidak telat mengirim barang-barang penting, mulai dari dokumen, kantong darah, hingga organ. Para pengantar barang selalu berpacu dengan waktu. Tingkat risiko pekerjaan kalian sebagai “anak ahensi” tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang biasa mereka hadapi.
Videos by VICE
Terlepas dari semua tantangan itu, rasa solidaritas sesama kurir sepeda sangat tinggi. Tak mengherankan jika mereka saling menjalin persaudaraan antara anggota komunitas. Dari situ, mereka jadi sering nongkrong bareng. Para pengantar barang ini juga suka balapan sepeda liar di jalanan, yang ujung-ujungnya mengadakan pesta besar-besaran.
Tahun ini, European Cycle Messenger Championships—acara inti dari lomba balap sepeda—diadakan di Brussels, Belgia. Walaupun kompetisinya diikuti oleh pesepeda dari seluruh dunia, ratusan pesertanya datang dari London. Selama masih di London, mereka menyempatkan diri untuk balapan terlebih dulu.
Jake dan Natalie* adalah peserta balapan yang menginap di apartemenku. Kedua kurir ini hanya membawa tas barang besar, dan meramaikan tempatku dengan bahasa gaulnya dan keluhan soal cuaca.
“Hujannya kapan berhenti, sih?” keluh mereka.
Untung saja cuacanya cerah keesokan harinya. Kami berkumpul di taman kawasan London selatan bersama lebih dari 50 kurir sepeda lain. Cuma aku yang bukan pengantar barang, tetapi Natalie sudah berjanji tidak akan meninggalkanku sendirian.
“Jangan cari masalah di sini kalau tidak mau dihabisi mereka,” Natalie memperingatkan. “Mereka tidak menyukaiku karena aku masih anak baru. Aku baru tiga tahun bekerja sebagai kurir sepeda, dan belum pernah mengirim dokumen. Jadinya aku bukan ‘pengantar pesan’ sungguhan.” Mendengar cerita Natalie, rasanya aku sudah salah mengambil penilaian.
Perbedaan status ini terdengar aneh di telingaku, tetapi tampaknya penting bagi mereka. Pengantar pesan adalah orang yang mengantarkan surat-surat—dokumen hukum dsb—sementara mereka-mereka yang mengantarkan barang dan makanan disebut kurir atau “foodie”.
Siapa saja bebas datang ke acara kumpul-kumpul ini, tak peduli apa gender, ras dan seksualitas mereka. Bahkan, ada peserta lomba yang jauh-jauh datang dari Riga dan Rio de Janeiro untuk bertemu teman lama di sana. Slogan-slogan macam “Fuck TERFS” atau “ACAB” banyak terlihat di patch dan tas mereka. Makanan, ganja, dan bir disuguhkan selama acara.
Balapan kali ini dinamakan “alleycat”, yang dimulai dengan berlari cepat sejauh 100 meter ke sepeda. Para pembalap harus menyelesaikan manifes dengan menandai sejumlah pos pemeriksaan dan melintasi garis finish. Tak ada persyaratan khusus, sehingga mereka bisa memanfaatkan pengalaman sebagai kurir sepeda untuk mempercepat waktu. Ada yang lihai melompati lampu merah, ada juga yang jago mendahului setiap kendaraan di jalanan.
Mereka berisiko ditangkap polisi kalau tidak hati-hati. Balapannya termasuk liar walaupun diatur dengan baik. Polisi menganggap acara ini membahayakan pesepeda, pejalan kaki dan pengemudi kendaraan bermotor, sehingga mereka selalu berusaha bagaimanapun caranya untuk membubarkan balapan sepeda di jalanan London.
Para pembalap berpendapat mereka tahu aturan. “Kami sudah berpengalaman dan tidak sebodoh itu. Kami selalu memperhitungkan risikonya matang-matang,” kata seorang veteran.
Para pembalap sudah terbiasa mengalami cedera. Tak seperti Jake, kaki Natalie penuh bekas memar dan luka akibat terjatuh dan tabrakan dengan mobil. “Keserempet mobil itu yang paling parah,” Jake memberitahuku.
Maut sering tidak bisa dihindari dalam tugas sehari-hari mereka sebagai kurir sepeda. Bersepeda di jalanan kota besar berarti mereka harus mempertaruhkan hidup sendiri. Tak peduli seberapa jago kalian naik sepeda, nyawamu bisa lewat kalau ada orang lain yang meleng.
Awal tahun ini, hanya beberapa hari sebelum balapan terbesar Monstertrack Alleycat di New York, kurir sepeda populer Aurilla “Gorilla” Lawrence tewas di Williamsburg akibat tabrak lari. “Sangat tragis,” ujar Natalie. “Tak ada yang bisa memercayai peristiwa ini. Aku pribadi belum pernah ketemu dia, tapi orang-orang bilang aku mengingatkan mereka padanya. Mereka menyuruhku untuk berhati-hati.”
Hari ini, Natalie memang harus berhati-hati. Dia masuk ke kelompok lambat, sehingga tidak akan melompati lampu merah seperti kebanyakan pembalap. Akan tetapi, hanya itu satu-satunya tindakan pencegahan yang bisa mereka ambil. “Bersepeda di London itu ngeri abis,” terangnya. “Kamu nekat atau sudah kebanyakan minum kalau tidak merasa takut sama sekali.”
Natalie bakalan memilih yang terakhir.
Kelompok lambat juga memiliki tugas lain. Mereka akan menyediakan apa pun yang kalian butuhkan. “Mau minum atau butuh kaus kaki? Semuanya ada di kami.”
Natalie sampai paling terakhir, tapi bukan karena dia lambat. Dia punya ide lain setelah menandai pos pemeriksaan. Dia memutuskan pergi ke toko WHSmith terdekat buat beli pulpen seperti yang digunakan panitia. Dia menjiplak tanda tangan di setiap pos dari kartu skor peserta lain, dan pergi ke bar setelahnya.
Semua orang tahu kalau minum-minum di siang hari bukan ide bagus, sehingga rencana Natalie menjadi sia-sia ketika sampai di garis finish.
Dia tidak kecewa, karena memenangkan lomba bukan tujuan utamanya (dan kebanyakan pembalap lain). “Kami merasa bebas saat balapan,” kata seorang pembalap, “aku merasa tertantang.” Menurut pembalap lain, “acara ini untuk merayakan segala yang telah kita lakukan.” Mereka mungkin hanya menghibur diri sendiri karena kalah, tapi mereka cepat melupakan kekalahannya.
Tak lama setelah balapannya berakhir, pemanduku dan teman-teman mereka bersembunyi di gang untuk menghisap sedikit kokain dan shabu. Tapi tidak semua kurir menganut gaya hidup seperti mereka; sebagian besar menentang narkoba, dan yang lain tahu batasannya masing-masing.
Malam ini, para tamuku akan nge- rave di Brick Lane, dan datang ke pesta-pesta lain setelah itu. Meskipun mereka berasal dari belahan dunia lain, tampaknya Jake dan Natalie lebih mengenal London daripada aku. Dan kesannya kotaku jauh lebih seru bagi mereka.
Jake dan Natalie bakalan balik ke apartemenku besok. Mereka tiba tepat ketika Love Island tayang, setelah mabuk-mabukan shabu dan tidak tidur seharian. Memangnya gaya hidup ini bisa dipertahankan? Pasti ada yang harus dikorbankan — barangkali lutut atau punggung mereka.
“Teman kami usianya sudah 70-an, dan dia sangat legendaris. Ada juga yang sudah punya anak lebih tua dari kami,” kata Jake dan Natalie. “Tapi kami sendiri belum yakin.”
Jake akan belajar ngelas tahun depan, sementara Natalie masih muda. Pekerjaannya sebagai kurir cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Belum waktunya untuk memikirkan masa depan. Lagipula, dia tampaknya bukan tipe orang yang seperti itu.
*Semua nama telah diubah untuk melindungi privasinya
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.