Musim panas sebelum tahun ketiga perkuliahan, saya mengunjungi London bareng saudara perempuan saya. Dialah yang mengatur jadwal tamasya ini: melihat Big Ben, mencicipi high tea, London Eye—dan, supaya seru sedikit, ikut Jack the Ripper Tour. Tur ini, yang berupa reka ulang ke lokasi pembunuhan mengerikan Jack The Ripper dulu di berbagai sudut kota, mulanya berlangsung baik-baik saja. Tetapi, di Mitre Square, saat pemandu kami antusias menjabarkan kisah Catherine Eddowe diambil ginjal (serta dicungkil sebagian wajahnya), saya mulai kehilangan penglihatan. Jidat saya terasa panas.
Saya mengalami keringat dingin di sekujur tubuh, dan suara mulai terdengar menjadi gema. Saat pulih, rupanya saya sudah tergeletak di bagian bawah tiang tempat saya bersandar tadi, dan kelompok wisata saya—termasuk saudara perempuan saya—tidak nampak di sekitar.
Videos by VICE
Saya akhirnya berhasil mengejar kelompok wisata dan mencoba melupakan kejadian tadi. Tapi, keesokan harinya, saat kami mengunjungi The Globe Theater untuk menonton Titus Andronicus, saya hampir pingsan saat salah satu tokohnya naik ke panggung dengan lidah terpotong dan “darah” bercucuran dari mulutnya. Setelah itu, untungnya kami makan masakan India enak dan bir Strongbow. Jadi saya tidak terlalu trauma. Tetapi, tamasya itu menandai awalan dari kejadian-kejadian serupa (termasuk minggu lalu, saat saya hampir pingsan di bus karena mendengarkan penyiar podcast menggambarkan luka kuku kaki).
Rupanya kondisi tidak tahan melihat darah cukup lazim dialami orang lain. Gejala ini bahkan memiliki nama. Sebutannya ada banyak dalam dunia medis, mulai dari “vasovagal response”, “vagal response”, “neurally mediated syncope”, “neurocardiogenic syncope”, hingga “vasovagal syncope”. Istilah terakhir itulah yang paling sering saya temui dan akan saya gunakan terus pada tulisan ini. Semua istilah ini merujuk pada sinyal yang dikirim lewat saraf vagus pada jantung dan pembuluh darah saat seseorang ketakutan (seringkali saat melihat darah), yang menyebabkan pusing atau pingsan.
“Vasovagal syncope bisa terjadi karena sejumlah pemicu—stres emosional, rasa sakit, rasa takut,” kata Rick Pescatore, ketua penelitian klinis di Crozer Keystone Health System di Pennsylvania saat saya temui. “Menanggapi pemicu tersebut, saraf vagus bergejolak, memperlambat jantung dan melebarkan pembuluh darah.”
Artinya, dalam situasi tersebut lebih sedikit darah yang mengalir ke otak, menyebabkan pusing, kehilangan penglihatan dan pendengaran, serta paling buruk pingsan. Vasovagal syncope pada dasarnya adalah upaya keliru saraf vagus. Saat mencoba membuat kita tenang, saraf ini bergejolak terlalu besar sampai-sampai kita pingsan.
Hal yang memicu kekeliruan respons syaraf ini tidak jelas, meski sepertinya berhubungan dengan sesuatu yang disebut “ vagal tone,” atau fungsi saraf vagus. “Masalah-masalah muncul saat keseimbangan antara sistem parasimpatis dan simpatis terganggu,” ujar Jamal Benhamida, pakar patologi di New York, mengacu pada sistem saraf yang mengupayakan agar tubuh tidak menguras tenaga berlebihan dan mengontrol refleks stres di tubuh.
“Saraf vagus menjadi terlalu aktif, memperlambat denyut jantung, yang berujung pada aliran darah lebih lambat ke otak,” imbuhnya. Menurut Pescatore, ini boleh jadi merupakan adaptasi evolusioner untuk menahan pendarahan dan mengurangi aliran darah setelah cedera (“seperti mematikan keran pada selang yang bocor,” ungkapnya.)
“Saat kamu pingsan, kamu jatuh ke tanah, yang akhirnya menyadarkanmu kembali,” ujar Jacob Lafo, anggota neuropsikologi dari Brown University, menggambarkan fitur aneh yang digunakan otak kita untuk melindungi kita supaya tak pingsan terlalu lama. “Ini adalah mekanisme perlindungan yang mendistribusi ulang darah ke otak.”
Vasovagal hanyalah satu dari banyak jenis syncope—ternyata orang-orang pingsan karena alasan-alasan lain. Ada carotid sinus syncope (pingsan karena tekanan sinus), orthostatic syncope (pingsan karena dehidrasi), church syncope (pingsan karena berdiri terlalu lama), heat syncope (pingsan karena kepanasan), dan bahkan micturition syncope (pingsan saat atau sesudah pipis). Tetap saja, vasovagal adalah yang paling umum, dan memakan dua per tiga total presentase gangguan syncope di departemen gawat darurat, ujar Pescatore. “Meski demikian, hubungannya dengan fobia darah lebih jarang,” ujarnya. “Kurang dari 5 persen orang di dunia mengalaminya.”
Selain kecenderungan genetik, sejumlah faktor memberi indikasi mengapa, misalnya, saya mendadak pusing saat menonton episode The Handmaid’s Tale, sedangkan suami saya baik-baik saja. Vasovagal syncope lebih umum ditemukan pada perempuan, berhubungan dengan ukuran tubuh dan denyut jantung. Ilmuwan menduga perempuan cenderung memiliki tingkatan denyut jantung istirahat lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Tonton dokumenter VICE soal sosok penata rias yang berjasa membuat munculnya potongan tubuh dalam film-film Indonesia:
Sebagai anekdot, Lafo juga mengamati hal tersebut pada pasien-pasien yang dia periksa untuk vasovagal syncope, “sebagian besar perempuan berukuran tubuh mungil, lebih kecil. Jarang sekali saya memeriksa hal ini pada seseorang yang obesitas.” Ini boleh jadi membantu menjelaskan fakta bahwa saya, seorang perempuan setinggi 154 cm dan dengan berat badan 45 kilogram keringat dingin saat menonton Offred merobek bagian telinga korban, sementara suami saya, yang tingginya 200 cm anteng saja nonton sambil nyemil kacang.
Benhamida bilang anak muda juga cenderung mengalami vasovagal syncope lebih sering dibandingkan orang tua. “Saya pernah mendengar satu teori yang menyimpulkan bahwa sistem saraf lebih responsif di kalangan anak muda, dan ia bisa merespon dengan pesat—terkadang terlalu pesat,” ujarnya.
Jadi, apa yang bisa dilakukan orang seperti saya untuk mengurangi risiko pingsa sewaktu lihat darah? Di samping menghindari pemicu, termasuk darah dan adegan kekerasan di film, kita bisa minum banyak air putih campur garam untuk mempertahankan elektrolit kita—yang membantu mengatur fungsi saraf dan otot laki-laki.
Kalau kamu mulai merasakan gejala vasovagal syncope (dan duduk bukan sebuah pilihan) Lafo menyarankan menggerakan otot tertentu: “Pautkan jari-jari di kedua tangan dan tarik lengan ke arah berlawanan, remas otot bisep, kontraksikan paha. Kontraksi otot apapun sebetulnya bagus karena itu akan memompa kembali darah ke otak.” Dalam situasi terburuk, apa yang harus kita lakukan? Bersandar—pada tiang, misalnya—karena postur pasif seperti ini justru akan menambah aliran darah ke kaki, dan membuat kita pingsan. Hehe.
Ada cara ampuh lainnya menghindari vasovagal syncope: kontrol persepsi kalian. Pada sebuah penelitian yang terbit 2015, peserta secara acak dibagi ke dua kelompok “kontrol persepsi” dan kelompok “tanpa kontrol persepsi” lalu menonton sebuah video operasi katup mitral, yang dikenal bisa memicu vasovagal syncope.
Peserta di kelompok “kontrol persepsi” boleh memutuskan kapan mereka mau rehat. Temuannya jelas: peserta yang merasa memiliki kontrol mengalami kecemasan dan gejala vasovagal lebih ringan. Jadi, kalau kamu lagi menonton film berdarah dengan seseorang, mungkin bilang padanya kamu perlu memencet pause saat adegannya terlalu intens—penelitian ini menyimpulkan kalau informasi soal adanya adegan sadis atau berdarah-darah bisa sangat mempengaruhi kondisi pengidap vasovagal syncope.
Tapi, semua faktor yang berpotensi meredakan efeknya boleh jadi tidak semenarik kesimpulan soal vasovagal syncope. Seperti dikatakan Pescatore, “meski pengalaman pingsan itu bisa menakutkan dan menggelisahkan, semua gejala tadi masuk kategori gangguan tubuh yang aman. Setelah istirahat sebentar, pasien tidak perlu khawatir lagi.”
Kecuali, tentunya, kalau kita mengingat lagi cerita Jack the Ripper. Karena dia nyata dan pernah membantai banyak perempuan di sekitaran London. Hiiihh….
Artikel ini pertama kali tayang di Tonic