Jagoan Musik Jazz Kamasi Washington Merupakan Hasil Bimbingan Sang Ayah

Foto oleh Shane J. Smith

Cerita ini muncul di majalah VICE edisi Juni.

Videos by VICE

Sebelum saya bertemu Kamasi Washington, saya terlebih dahulu menemui ayahnya, Rickey. Dia berdiri di belakang meja merchandise di Le Poisson Rouge di West Village sekitar satu jam sebelum pertunjukan solo pertama Kamasi di New York. Saat itu, saya tidak tahu bahwa Rickey merupakan ayah dari pemain saksofon yang lewat kontribusinya dalam album penting To Pimp A Butterfly milik Kendrick Lamar dan album solonya, The Epic, telah memperkenalkan kesadaran sosial, modal jazz yang ekspresif dan groove dari musik jazz fusion dari era Civil Rights (Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika) ke generasi baru. Saya juga tidak tahu bahwa Rickey merupakan seorang musisi woodwind (instrumen musik tiup kayu) yang berbakat dan pernah berkarir sebagai session player untuk musisi legendaris seperti Diana Ross dan The Temptations. Saya pikir dia cuma bapak tua random yang mau minta duit.

“Saudaraku,” seru dia ketika saya lewat. “Kamu mesti beli boxset ini sekarang.” Dia mengangkat selempeng karton. “Kalau tidak, kamu akan membeli ini dengan harga selangit di eBay.”

Rickey sedang berusaha menawarkan The Epic, karya solo Kamasi berisikan 17 lagu yang mencakup banyak hal, dari syair pujian terhadap Malcolm X yang gembira hingga cover lagu Claude Debussy berjudul “Clair de Lune” yang manis lagi soulful.

Album berdurasi 170 menit ini dijuduli demikian bukan karena panjang durasinya. The Epic merujuk pada mimpi Kamasi mengenai seorang prajurit muda yang berjuang untuk menjadi seorang “penjaga”, posisi yang dipegang oleh seorang prajurit lebih tua lagi perkasa. Track pembuka album “Change of the Guard,” menceritakan kisah epik ini lewat berbagai macam bebunyian, dari strings orkestra berisikan 32 orang, paduan suara yang bernyanyi bak malaikat hingga 10 orang anggota band Kamasi yang memainkan soul jazz yang mengayun.

Berkat pujian dari berbagai kritikus dan kolaborasi dengan artis populer seperti Flying Lotus dan Kendrick Lamar yang menarik perhatian khalayak, posisi Kamasi di dunia musik sekarang mencerminkan posisi prajurit muda di dalam mimpinya. Rilisan debutnya yang berisikan 3 album sekaligus — memenangkan penghargaan American Music Prize dan menyelinap ke hampir setiap daftar “Album Terbaik 2015” dari versi Pitchfork hingga Rolling Stone — telah menempatkan Kamasi sebagai duta jazz yang memulai pergerakan musik baru.

Kepopuleran Kamasi yang meningkat dengan cepat terasa mengagumkan bagi seorang anak yang tumbuh di Inglewood, California. Dekade 90an di kawasan South Central adalah masa penuh kekerasan, masa ketika mempelajari isyarat geng lebih menguntungkan dibandingkan mempelajari perubahan chord. Namun, seperti yang kelak Kamasi katakan, sukses yang ia capai bukanlah sebuah kebetulan. Itu merupakan hasil cinta ayahnya yang mendalam.

Beberapa bulan setelah malam di Le Poisson Rouge itu, saya duduk dengan Kamasi dan Rickey di sebuah ruangan di Dumont NYC, hotel di 34th Street. Mereka berada di sana untuk tampil di pertunjukkan yang tiketnya ludes terjual. Kali ini, pertunjukkan itu dihelat di Webster Hall, sebuah venue yang jauh besar dari sebelumnya. Kepada saya, mereka bercerita peran penting yang Washington senior mainkan dalam kehidupan anaknya.

“Ayah saya adalah seorang pengembara,” nyanyi Rickey sambil tertawa. “Di mana dia menaruh topi, di situlah rumahnya.” Absennya sang ayah dalam hidup Rickey, yang juga seorang musisi, sangatlah kontras dibanding hubungannya dengan Kamasi yang begitu dekat. Rickey mengatakan bahwa dia hanya pernah bertemu ayahnya sekali ketika dia masih kecil. Di hari itu, ayahnya menjanjikan dia dunia. Sayangnya, Rickey tidak pernah mendapatkan sepeda baru dan waktu bersama di lapangan basket seperti dijanjikan sang ayah. Ketika Kamasi lahir, barulah Rickey berusaha untuk bertemu kembali dengan ayahnya. “Saya membutuhkan seorang pria di hidup saya untuk membantu saya menghadapi segala masalah. Di tengah pencarian saya akan ayah, saudara beliau mengatakan bahwa dia telah meninggal dunia,” cerita Rickey. “Pengalaman itulah yang membuat saya memutuskan untuk mengubah pola hubungan saya dengan anak saya.”

Ketika Kamasi lahir di tahun 1981, Rickey adalah seorang musisi yang sukses. Dia memimpin dan bermain woodwind di Raw Soul Express, sebuah grup yang mencampur musik funk dengan komposisi musik yang elegan. Bintang Rickey sebagai seorang produser, penggubah dan musisi sesi sedang bersinar terang.

“Karir saya sedang menanjak. Tapi saya sadar bahwa semua teman-teman saya yang mengambil jalan hidup ini tidak mempunyai rumah dan asuransi kesehatan. Mereka juga meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka. Ini membuat saya berpikir, lalu saya berkata okelah ayah saya tidak mengurus saya, tapi saya memutuskan bahwa mengurus anak adalah tanggung jawab yang saya harus ambil.”

Alih-alih kembali menekuni karir musiknya di luar sana, Rickey bekerja sebagai guru musik di Inglewood sehingga dia dapat menjadi bagian dari hidup anaknya.

“Saya berdoa agar Kamasi menjadi orang yang hebat,” kata Rickey. “Saya berdoa agar dia menjadi kuat, bisa menyatukan orang-orang, dan melakukan hal-hal yang luar biasa.”

Jauh sebelum The Epic dirilis, Rickey sadar bahwa doa-doa dia untuk Kamasi telah terjawab. Kamasi dikaruniai talenta. “Kamasi bisa duduk di piano berjam-jam dan bersenang-senang dengan dirinya sendiri. Dia memiliki kegigihan, yang merupakan karunia terbesarnya. Banyak musisi bertalenta yang akhirnya tidak kemana-mana. Namun seseorang yang memiliki kegigihan dapat melewati kesulitan dan menjadi seorang ahli. Saya melihat kualitas ini dalam diri Kamasi.”

Perjalanan Kamasi sampai manggung venue Webster Hall yang megah bukan tanpa halangan dan cobaaan. Tumbuh besar di Inglewood di era 90an sangatlah berbahaya. Ibu dari Kamasi tinggal di daerah Crip, dan ayahnya tinggal di daerah Blood. Akibatnya, menyebabkan Kamasi memiliki teman dari dua sisi lingkungan ini. Pada saat itu, tingkat pembunuhan di wilayah ini merupakan salah satu yang tertinggi di Amerika, belum lagi kehidupan geng mendikte budaya pop, dan menciptakan daya tarik tersendiri.

“Waktu itu ada semacam tekanan budaya untuk mempunyai pandangan yang negatif tentang diri anda sendiri. Anda tidak sadar saat itu, tapi ketika anda berumur sebelas tahun, yang anda inginkan adalah menjadi seorang penjahat dan ditakuti orang,” kata Kamasi. “Waktu itu ayah tidak menyadari betapa terpengaruhnya saya. Saya sering sekali mengucapkan ‘cuz.’ (semacam slang bahasa jalanan)”

Rickey berusaha melawan pengaruh jalanan ini dengan menanamkan apresiasi akan sejarah keluarga di dalam diri Kamasi. Kamari ingat ketika Rickey berusaha membuat dia mengatakan “Afrika Amerika,” dan bukan hanya Amerika. Rickey bahkan menamakan anaknya berdasarkan nama ibu kota Kerajaan Ashanti, sebuah kerajaan yang menjadi simbol untuk persatuan Afrika.

Rickey selalu berusaha untuk membuat Kamasi sibuk dan menjauhkannya dari masalah dengan memberikan banyak pekerjaan rumah dan buku-buku seperti The Autobiography of Malcolm X. “Kami belajar dari ayah sejak kecil bahwa ketika anda mengganggur, anda mesti kelihatan sibuk, jika tidak kesibukan sesungguhnya akan menimpa anda,” kata Kamasi. “Itu alasan saya mulai berlatih musik — ketika saya berlatih, saya dibiarkan bebas oleh ayah.”

Tidak hanya itu, Rickey membangun studio rekaman di rumahnya dan membiarkan teman-teman Kamasi mampir untuk ngejam. Membiarkan mereka di dalam rumah bermain musik jauh lebih baik daripada membiarkan mereka berkeliaran di luar sana. Ada drum, keyboard, piano, mic, makanan berlimpah dan video game di rumah. Semua yang mereka butuhkan tersedia dalam rumah.

“Waktu itu tidak ada wanita untuk menjaga semuanya teratur,” kata Rickey. “Jadi mereka boleh tidur larut malam. Selama mereka melakukan kegiatan yang positif, saya tidak keberatan.”

Saat Kamasi mulai serius mendalami saksofon, Rickey selalu mendorong dia dengan cara yang halus namun pasti.

“Waktu saya berumur tujuh belas, saya bermain di sebuah grup bernama Young Jazz Giants. Kami memainkan lagu buatan sendiri. Selepas kami manggung, penonton berkata ‘Wah gila, tadi bagus banget, keren abis,’” kata Kamasi. “Tapi ayah tidak pernah mengatakan bahwa kami hebat. Dia selalu jujur dan mengatakan, ‘Kamu sumbang tadi. Tempomu berantakan.’”

Sekarang, meski pernah sepanggung dengan semua orang dari Snoop Dogg hingga Pharoah Sanders, momen paling membanggakan Kamasi sebagai performer adalah ketika ayahnya akhirnya memberikan pujian.

“Waktu itu sedang ada konser band jazz di tahun terakhir saya di SMA,” kata Kamasi. “Saya sudah terbiasa mendengarkan ayah saya memberi tahu kesalahan-kesalahan saya di panggung. Ini dia nih, pikir saya. Lalu tiba-tiba dia mengatakan ‘tadi kalian mainnya asik.’ Kami melihat satu sama lain dan kaget. Itu adalah momen besar untuk kami karena Ayah biasanya selalu punya kritik.”

Sekarang, Rickey tidak memiliki kritik apa-apa untuk Kamasi dewasa. Pergantian penjaga di mimpi Kamasi sudah terjadi. Kamasi telah melanjutkan jejak ayahnya. Ia bahkan membawa kecintaan mereka akan musik ke tempat yang tidak terbayangkan. Dan ini baru awalnya saja. Setelah melakukan tur dunia untuk album The Epic, Kamasi membeberkan ke majalah Rolling Stone bahwa album keduanya yang akan menampilkan “tiga puluh dua pemain saksofon,” sedang digodok. Dorongan Kamasi yang kuat untuk meningkatkan karya seninya menunjukkan hasil dari pengorbanan dan rasa sayang Rickey.

Anda juga bisa melihatnya ketika mereka berada di panggung bersama. Setelah nongkrong bareng mereka di hotel, saya menyaksikan aksi mereka malam itu di Webster Hall. Seribu lima ratus penggemar bersorak ketika Kamasi menghentikan pertunjukan untuk membawa ayahnya naik ke panggung.

Rickey melangkah masuk ke dalam cahaya ungu lampu panggung dan menatap penonton. Dia menggenggam seruling emasnya, sekilas melayangkan pandangannya pada sang anak, menutup mata dan mulai meniup. Tidak lama kemudian, Kamasi bergabung. Nada-nada yang mereka buat terjalin dan memancar keluar dari panggung. Getarannya menyentuh penonton di baris depan dan mengalir ke belakang hingga meja merchandise, tempat saya berada. Cinta mereka sudah genap bersalin rupa jadi suara.

Cerita ini muncul di majalah VICE edisi Juni.