Jejak Sejarah Freemason dari Bangunan Tua Jakarta

Saya berdiri di depan Kantor Pusat Kimia Farma, Jakarta Pusat, dalam rangka menelusuri sejarah tersembunyi Organisasi Freemason di Indonesia. Bangunan yang saya datangi—gerbang masuknya megah dan tiangnya besar dan bergaya kolonial—ditengarai sebagai lokasi lahirnya Komunitas Freemason di Hindia Belanda.

Saya sedang mengambil beberapa foto bagian luar gedung itu ketika seorang satpam menghampiri, menanyakan keperluan saya di situ. Saya dengan percaya diri menjelaskan bahwa bangunan yang dijaganya adalah lokasi komunitas Freemason di zaman kolonial. Dia kaget. “Mbak salah kali, Rumah Setan adanya di Jalan Budi Utomo.” Rumah Setan? Apa pula itu?

Videos by VICE

Freemasonry, yang pertama kali muncul di Eropa, merupakan organisasi persaudaraan penuh misteri. Organisasi ini kaya akan simbol dan memiliki ritual-ritual memancing rasa penasaran orang awam. Tak terhitung jumlah teori konspirasi yang bersliweran di Internet membahas seluk-beluk Ordo Masonik—sering sekali muncul dalam budaya pop Indonesia hingga AS—termasuk tudingan Freemason bertanggung jawab atas berbagai macam insiden penting dalam sejarah dunia.

Freemason sering dihubung-hubungkan dengan macam desas-desus tentang “Tatanan Dunia Baru” dan Illuminati. Apa yang sesungguhnya terjadi, meski masih misteri sampai sekarang, sepertinya tak seseru itu.

Di Indonesia, Gerakan Freemasonry berdiri sesudah J.C.M Radermacher, putra seorang Grand Master Freemason pertama dari Belanda, membangun pemondokan Masonik pertama di Batavia. Komunitas Masonik membawa pembaruan di bidang pendidikan bagi semua warga Batavia, termasuk pribumi. Ini yang memicu kemunculan kaum elit pribumi baru yang melek nilai-nilai kemanusiaan—termasuk mengadopsi pandangan antikolonial—di Hindia Belanda.

Screen Shot 2022-01-17 at 12.54.41.png
Pria tertidur di salah satu bekas makam Museum Prasasti. Semua foto oleh penulis.

Selang bertahun-tahun kemudian, di Indonesia organisasi Freemason malah digambarkan sebagai organisasi berbahaya.

“Sebenarnya, Freemason dianggap berbahaya karena mereka menganut prinsip sekuler. Mereka kan mencari pencerahan. [Sedangkan] orang-beragama akan bilang ‘ngapain nyari pencerahan, kan sudah punya agama.’ Jadi seakan-akan Freemason memusuhi agama,” kata Rahadian Rundjan, seorang peneliti dan penulis sejarah, kepada VICE.

Untuk memahami alasan gerakan Freemansory pernah mengakar kuat di Jakarta, kita harus kembali ke masa ketika Boedi Oetomo, organisasi nasionalis pertama di Indonesia, baru saja didirikan.

Freemasonry ternyata menjalin hubungan yang sangat akrab dengan tokoh-tokoh awal pergerakan kemerdakaan Indonesia, seperti tertulis dalam buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 karya Dr. Th. Stevens.

Gedung Kimia Farma / De Ster in het Oosten

Berkat penjelasan satpam tadi, saya tersadar sudah salah sasaran. Gedung Kimia Farma yang seharusnya saya datangi terdapat di ujung Jalan Budi Utomo. Sekilas bangunannya tidak semegah kantor pusat Kimia Farma sebelumnya, namun masih kental nuansa neo-klasik dari serambi bertiang tinggi dan beranda terbuka di bagian samping. Saya memastikan ulang pada warga sekitar. Mereka membenarkan bangunan inilah yang sering disebut Rumah Setan.

Halaman depan bangunan yang berjuluk ‘Rumah Setan’.

Bangunan bernama Bintang Timur ini didirikan pada 1848, di jalan yang kala itu dikenal dengan nama Vrijmetselaars Weg alias Jalan Freemasons.

“Mereka [kaum Freemason] melakukan pertemuan berkala [di bangunan ini],” ungkap sejarawan Alwi Shahab kepada VICE Indonesia. “Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang punya kedudukan, termasuk orang-orang yang ikut perjuangan kemerdekaan Indonesia.”

Hubungan erat Budi Utomo dan Freemason, menurut Rahadian, diprakarsai oleh Dirk Labberton, pengajar aliran Teosofi asal Belanda. Labberton membacakan sebuah pidato pada 1909—setahun setelah Budi Utomo didirikan—di gedung Bintang Timur itu.

Seorang pekerja membersihkan lantai Gedung Kimia Farma.

“Dalam pidatonya, Labberton mengimbau anggota Budi Utomo untuk menjunjung tinggi prinsip humanisme universal,” kata Rahadian. “Prinsip-prinsip humanisme universal kemudian diadopsi oleh anggota Budi Utomo, menghapus rasa minder mereka sebagai penduduk Jawa. Akhirnya, mereka bisa melihat diri mereka sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya”.

Saya tak diperkenankan petugas keamanan masuk dan menjelajahi gedung untuk membuktikan adanya jejak sejarah Freemason di dalamnya. Beruntung, saya masih bisa berbincang bersama salah satu penjaga. Dia mengaku informasi soal jejak Freemason cuma hasil mendengar cerita orang lain.

“Saya denger sih gedung ini dipakai umat Yahudi melakukan ritual setan,” ujar Susanto, satpam Kimia Farma yang sudah bekerja 11 tahun menjaga gedung itu. “Saya dapat cerita dari tukang AC, di lantai dua ada altar. Gak tahu buat apaan. Gak ada yang mau tahu juga sih.”

Saya sebetulnya agak sebal tak diizinkan masuk gedung Kimia Farma. Sebelum Perang Dunia II berakhir, Gedung De Ster in het Oosten dibeli kantor perusahaan farmasi berlanda NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Perusahaan ini kemudian diambil alih Presiden Sukarno sesudah Republik Indonesia berdiri. Namanya diganti menjadi Kimia Farma.

Gedung Bappenas / Adhuc Stat

Lokasinya terletak tepat di seberang Taman Surapati, di bilangan Menteng. Berbeda dari bermacam hambatan di Kimia Farma, kali ini saya sangat beruntung. Bukan cuma diizinkan menjelajahi bangunan, saya malah ditemani salah satu pegawai yang bertindak sebagai pemandu. “Mau lihat peninggalan Freemason?” tanya Irawan, staf Bappenas yang sudah menjelang pensiun. Seakan ingin menambah aura misterius Freemason, pertanyaan Irawan diucapkan lewat bisikan lamat-lamat. “Mbak sudah datang ke tempat yang pas. Saya bawa mbak keliling ya,” imbuhnya.

Irawan benar-benar menepati janji. Saya tergelitik menyebut tur kami sebagai Magical Mystery Tour—meminjam judul album The Beatles. Seluruh gedung seperti dipendari aura sephia yang kuat, seakan saya kembali ke abad 18. “Ini batas yang memisahkan bangun lama dan baru,” ucap Irawan sambil memandu saya naik ke lantai dua. Di sini lah, menurut Irawan, para anggota Mason kerap berkumpul.

Perhatikan motif lantainya.

Sesampai di lantai dua, mata saya langsung disambut aula bergaya neo-gotik. Lantai aula ditutupi ubin kotak-kotak berwarna hitam putih, lambang dualtitas dan kesadaran khas ajaran Mason. Tak dinyana, ruangan pertemuan Mason bukan yang sekarang menjadi aula utama Bappenas. Letaknya justru menyempil di ujung lorong menuju aula. Luasnya tak seberapa. Fungsinya sekarang menjadi ruang rapat kecil dengan sebuah proyektor. Sangat bersahaja, kalau bukan membosankan.

Saya diperkenankan masuk ke ruangan itu, mengambil beberapa foto, kemudian tercekat oleh kesunyian ruangan yang begitu pekat. Saya bergegas keluar, mengikuti langkah Irawan menuju balkon. Saya berhenti sesaat, menyecap bau khas tanah yang basah karena hujan.

Ruangan utama Freemason di Bappenas yang biasa saja.

“Cukup? Sekarang saya mau tunjukkin basementnya,” kata Irawan. Di ruang bawah tanah, semua perkakas ritual masonik disimpan. Irawan membeberkan benda apa saja yang disimpan di sana. Sayangnya, dia keberatan keterangannya dikutip untuk tulisan ini.

“Mbak bisa bayangin?” dia berucap datar setelah menceritakan panjang lebar banyak hal rahasia tentang peninggalan Freemason di Bappenas. “Sekarang, tempat ini cuma dapur. Dulu, ini tempat menyimpan bukti rahasia Freemason.”

Irawan memandu saya hingga ke balkon.

“Masih ada yang bisa saja bantu?” seberkas senyum terbit di bibir Irawan. Saya menggelengkan kepala. Kami menuju lobi. Di sana, saya berpamitan kepada Irawan, staf gedung yang berbaik hati membeberkan banyak rahasia gedung ini.

Ruang penyimpanan alat ritual Mason yang kini menjadi dapur.

Adhuc Stad dibangun pada 1880 lengkap dengan simbol Masonik vrijmetselarij terpasang di depannya. Kini simbol itu sudah dihapus, digantikan huruf timbul di tembok bertuliskan ‘Bappenas’.

Museum Taman Prasasti

Inilah rute terakhir perjalanan saya mengunjungi lokasi-lokasi peninggalan Freemason di Jakarta, yang tersembunyi di ruang publik.

Tepat di gerbang Museum, saya menemukan simbol tangan menggenggam palu. Simbol ini menggambarkan wewenang seorang Grand Master Masonik atas sebuah pemondokan, termasuk seluruh murid-muridnya.

Sebelum melewati gerbang, anda bisa melihat sebuah tanah lapang dan sekumpulan simbol berupa kompas, lambang masonik yang paling terkenal. Simbol kompas biasanya disandingkan dengan lambang ‘mata-yang-selalu-mengawasi’, konsep khas Mason tentang kemampuan Tuhan mengawasi semua mahkluknya setiap saat.

Di area museum sore itu hanya ada saya seorang diri, memperhatikan satu persatu bekas kuburan—yang oleh Pemprov DKI dijadikan museum —mencari lambang-lambang Freemason. Saya berhasil menemukan simbol lain. Sebuah hexagram di kedua sisi nisan J. Kohler. Di nisan yang sama, saya melihat simbol Ouroboros—ular atau naga yang memakan ekornya sendiri—melambangkan lingkaran abadi alam, kreasi yang muncul dari desktruksi, kehidupan yang menyingsing dari kematian.

Karena saya tak tahu lagi apa yang bisa saya temukan, saya memutuskan mengikuti cabang-cabang jalan di pekuburan itu. Jalan setapak penuh kelokan ini membawa saya pada sebuah nisan bergambar tengkorak dan sepasang tulang yang bersilang, perlambang dari konsep Memento Mori (Pesan Ingat kematian) dalam ajaran Freemansory.

Ada pula yang berpendapat bahwa simbol ini bermakna penting. Hanya seorang Grand Master dan anggota Freemason level atas yang makamnya diberi kehormatan simbol seperti itu. Kabarnya ada lima makam lainnya yang ditandai dengan lambang ini di Museum Prasasti. Sayang, saya cuma menemukan tiga saja. Langit mulai gelap dan batasan jam operasional museum memaksa saya undur diri.

Dalam perjalanan pulang, saya kembali memikirkan apa sebetulnya tujuan dan semua hal-hal yang membuat Freemason sangat menarik. Tentu saja, yang paling mengejutkan adalah peran Freemason menyebarkan benih-benih modernisme pada para bapak bangsa Indonesia.

Mungkin, Freemason tak semisterius seperti yang kita duga. Mereka memang terbukti menebarkan nilai-nilai sekularisme, menaruh simbol-simbol khasnya di ruang publik. Masalahnya sedikit sekali informasi menjelaskan kegiatan mereka sebagai komunitas atau nilai-nilai yang mereka ajarkan, tersedia bagi masyarakat umum.

Saya kemudian teringat kata-kata seorang teman. Freemason sepertinya bukan komunitas rahasia. Freemason hanyalah komunitas yang kaya dengan rahasia.