Masalah Keluarga

Begini Rasanya Hidup Mewah Sementara Ibu Kandungmu Menggelandang

Aku sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki kehidupan ibuku, tapi sepertinya kita tak bisa mengubah seseorang yang enggak mau berubah.
Ilustrasi perempuan di kolam renang

Aku berbeda dari anak milenial kebanyakan. Keuanganku dan tunangan terjamin aman. Kami tinggal di rumah besar dengan lima kamar tidur, dan empat kamar mandi. Kami juga memiliki perahu sepanjang 14 meter dan tiga mobil mewah. Kami bahkan bisa jalan-jalan keluar negeri sedikitnya dua kali setahun, dan makan di restoran dua kali seminggu. Kami tak lupa menyisihkan sebagian rezeki untuk membantu keluarga miskin dan veteran tunawisma.

Iklan

Aku seharusnya bahagia memiliki hidup yang nyaman, tapi enggak bisa. Aku selalu merasa bersalah karena ibuku sendiri gelandangan.

Orang-orang yang tak mengenalku dengan baik suka menghina aku anak durhaka karena enggak peduli dengan ibunya sendiri. Yang enggak mereka ketahui, aku dan tunangan sudah jungkir balik membantunya kembali ke jalan yang benar. Tapi, ibu selalu menemukan cara untuk menghancurkan hidupnya.

Beberapa bulan lalu, ibu tahu masa sewa kontrakan sudah mau habis. Dia baru mencari tempat lain dua minggu sebelum keluar. Alih-alih membayar kontrakan di tempat baru, dia mengambil pinjaman sebesar 7.000 dolar Australia (Rp68,9 juta) untuk beli mobil. Dia tinggal bersama dua kucing di dalam mobil setelah keluar dari kontrakan lama. Padahal, kami sudah membelikan mobil, tapi katanya “sering bermasalah”.

Dia kehilangan tempat tinggal ketika mobilnya disita. Untung saja, ada pasutri baik hati yang mau ketumpangan selama beberapa bulan. Mereka menawarkan kamar di garasi rumah.

Hidupnya berputar di situ saja. Pikiran dan hatiku dibebani masalah-masalah yang dihadapi ibu, baik itu konflik di tempat kerja, soal mobil maupun urusannya dengan laki-laki. Semasa muda dulu, aku berusaha mencari sosok ibu dari guru, rekan kantor, anggota keluarga yang lebih tua, dan orang tua temanku. Pada akhirnya, aku merasa seperti penyelundup atau terluka ketika hubungannya berakhir.

Ibuku bukan pencandu. Dia beragama Kristen, dan enggak pernah mengisap ganja. Ibu tipe orang yang suka menilai orang lain hanya karena mereka minum bir. Terapis pribadiku bilang ibu menderita gangguan kepribadian ambang (BPD), dan memang sih gejala-gejala BPD mirip dengan perilakunya. Dia terlalu emosional, dan sering minta saran tapi enggak pernah diikuti. Ibu suka mencari gara-gara yang sebenarnya enggak ada. Ibu mau mengendalikan semuanya. Sewaktu kecil dulu, sulit sekali untuk lepas dari kungkungan ibu. Masalah sepele bisa berakhir pertengkaran, atau ibu menjedotkan kepalaku ke lantai keramik.

Iklan

Aku yakin ibu bisa seperti itu karena trauma masa kecil, yang melibatkan orang tua asuh dan kekerasan. Dia mengandungku di usia 17, dan pernah bilang enggak menginginkanku. Hidupnya sudah keburu rusak, sampai-sampai ibu enggak bisa mengurusku dengan baik. Dia mengandung adik laki-laki tujuh tahun kemudian. Ketika aku masih remaja, ibu sadar akan keterampilan jualannya. Dia ditugaskan menjual asuransi, dan mampu mengerjakannya dengan mudah, yang terpenting bisa tetap bekerja. Ibu sangat menawan dan cerdas. Atasan ibu memujinya, sampai mereka dikejutkan oleh sisi irasional ibu.

Awal tahun ini, ibu memiliki jadwal wawancara kerja pada hari yang sama dengan memulangkan mobil SUV ke dealer. Dia bisa saja mengembalikan mobil setelah pulang wawancara. Eh ternyata, dia malah membatalkan wawancara. Padahal, aku sudah yakin sekali dia akan mendapatkan pekerjaan itu.

Ibu sudah kayak begini dari dulu. Pada 2013, rumah ibu disita karena enggak bayar cicilan. Tunanganku, yang berprofesi sebagai penasihat keuangan, sudah berusaha membantunya dengan program modifikasi pinjaman. Namun, dia enggak pernah mengajukan dokumen di saat aku pergi ke sana kemari untuk memperoleh dokumen itu.

Terlepas dari semua ini, aku masih menjalin hubungan dengan ibu. Tapi kini aku menetapkan batasan. Aku baru turun tangan di situasi darurat, seperti membelikan pulsa supaya perusahaan masih bisa menawarkan pekerjaan, atau menyelamatkan benda milik ibu yang hampir disita (lagi). Masalahnya, aku selalu merasa bersalah. Empati akan mengendalikan pikiranku jika diam saja.

Iklan

Ibu yakin dia hanyalah seorang korban, yang hidupnya sangat malang dan selalu sial. Dia tak mau mengakui semua kesialan ini disebabkan oleh kebiasaannya mengambil keputusan buruk. Ibu akan mengganti nomor HP, padahal habis melamar pekerjaan. Atau berhenti bekerja karena perilakunya (“Atasan bilang ibu enggak bahagia kerja di sini”). Dia mengira teman sejawat cemburu dengannya, dan ingin merebut pekerjaannya. Ibu enggak pernah ikut acara kantor dan selalu menutup diri.

Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang selalu menyia-nyiakan kesempatannya?

Aku selalu ada untuk ibu, meski dia melewatkan pesta pertunanganku dan membatalkan rencana kami secara dadakan. Dia bukan ibu yang baik, tapi aku siap membantunya kapan saja. Aku enggak bisa mengendalikan hidup orang lain, yang selalu dikacaukan oleh dirinya sendiri. Satu yang pasti, aku enggak akan pernah meninggalkannya. Aku cuma bisa berharap ibu menyadari kesalahannya suatu saat nanti.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia