Aku hampir aja bikin dakwaan kalau perkembangan teknologi pengirim pesan justru bikin hidup lebih ribet.
Begini alasannya. Masih ngalamin era SMS masih Rp350 per pesan, yang mana isinya cuma muat 160 karakter? Kalau ngetik pesannya kebanyakan, si penerima SMS bakal dapet kalimat “sebagian teks hilang”. Enggak ada tuh yang ribet mikir variasi ngejawab pesan orang. Notifikasi bahwa pesan kita terkirim (yang di hape jadul cara deteksinya lewat boks sent) udah bikin kita merasa cukup, enggak perlu ada balesan afirmatif segala.
Videos by VICE
Sekarang, dengan adanya WhatsApp, LINE, Telegram, atau Signal yang batasan karakter pesannya lebih banyak, orang kadang senewen kalau kita membalas pesan mereka singkat-singkat. Padahal aku termasuk yang sering ogah-ogahan membalas pesan kelewat panjang. Mending telepon atau merekam voice note aja daripada bikin esai 700 kata di WA. SMS yang purba rasanya lebih simpel. Tidak ada orang menghakimi jawaban singkat.
Belakangan, aku sadar kalau pola pikir kayak gini karena akunya aja yang miskin kosakata, termasuk saat ogah-ogahan membalas pesan orang lain.
Sejauh ini aku emang lebih banyak pakai “oke”, “sip”, dan “siap” kalau sedang dalam mentalitas “yang penting dibalas dulu”. Bosku di kantor suka pake yoyoy saat membalas singkat suatu pesan, yang bikin aku dalem hati komentar, “Jadul banget sih pak.”
Bakat reflektifku saja yang mencegah komentar nyinyir karena ingat aku sendiri masih suka banget pake sbb alias singkatan ‘sori baru balas’ (beberapa bulan lalu aku kaget banget ada anak yang cuma lebih muda lima tahun dariku enggak tahu sbb itu apa).
Aku tidak punya masalah personal sama oke dan sip. Masalahnya kalau cuma mengandalkan jawaban singkat yang template kayak gitu, rasanya bosen juga. Aku pernah sampai jawab oke lima kali berturut-turut dalam satu sesi chat WhatsApp. Kalau kata “siap”, aku merasa ketularan teman-teman di pergaulan yang kurang begitu suka diksi ini. Terasa hierarkis-militeristis gitu. Nyatanya tetap aja kupakai kalau pas chat formal sama bos.
Omong-omong, setidaknya kita bisa sepakat, pengguna aplikasi pesan paling absurd adalah orang yang gemar memulai obrolan di WA dengan ngetik ‘P’, karena mengira ‘P’ artinya “ping”, padahal seharusnya tanda untuk ngomongin topik yang personal.
Aku kemudian mikir agak dalam soal jawaban singkat chat-ku yang gitu-gitu aja. Dari awalnya merasa bosan, sekarang muncul perasaan sedih. Aku bekerja sebagai penulis, masak diksiku sekadar buat balas chat WA aja terbatas gini?
Inilah yang mendorongku mendaftar kata apa aja yang bisa dijadikan balasan chat WhatsApp biar enggak kayak orang miskin kata. Siapa tahu kamu juga membutuhkannya.
1. “Baik”
Baik adalah alternatif paling oke untuk siap. Cocok dipakai untuk interaksi formal. Kata ini punya citarasa santun, profesional, sekaligus mencerminkan kepribadian cinta bahasa Indonesia. Kalau bos kamu baca balas chat “baik”, doi akan mikir, “Wow, dia lebih milih pakai diksi Indonesia daripada pakai alright. Nasionalis sekali. bagus, bagus.”
2. “Terima kasih”
Simulasi chat:
“Pesanannya sesuai aplikasi ya?” | “Terima kasih.”
“Rikues datanya udah di dashboard, say.” | “Terima kasih.”
Terima kasih adalah pengganti ya dan oke dengan nuansa lebih altruis dan asertif. Respons ini membuat orang merasa dihargai, cocok dipakai ketika kita mendapat pelayanan dari orang lain. Terima kasih juga bisa menggambarkan jiwa ksatria seperti dalam kasus berikut.
“Maaf, aku rasa kita udahan aja.” | “Terima kasih.”
Ditambah emot senyum, diksi ini akan membalikkan keadaan, dari yang harusnya hati kita hancur berantakan, jadi doi yang bertanya-tanya dan kecewa enggak berhasil nyakitin kita.
3. “Iya”
Iya, bukan ya. Kehadiran satu huruf /i/ ini bisa mengubah rasa kata ini jadi berkebalikan sama sekali. Orang yang menjawab ya cenderung dinilai males-malesan berkomunikasi, merasa dirinya ada di puncak tertinggi piramida hierarki, bossy, dan sok sibuk. Biasanya hanya orang tua, dosen menyebalkan, bos ignorant, dan pacar pasif yang mau memakai ya.
Sebaliknya, pemakai iya digambarkan sebagai pribadi yang jika diberi tahu sesuatu, ia menyimak baik-baik. Coba deh lihat di simulasi berikut.
Temen: [ngirim chat isinya pengumuman], lalu kita cuma membalas: “Ya”
Sangat enggak enak kan. Sangat tampak enggak pedulian. Coba kalau begini:
Temen: [ngirim chat isinya pengumuman] Kita: Iya
Terasa lebih rendah hati, bukan?
Sekarang kamu jadi tahu betapa berharganya satu huruf saja. Sekarang bayangkan kalau ya dikurangi satu huruf lagi menjadi “y”. Aku tidak akan menyalahkan orang yang meresponsnya dengan kemarahan. “Tai, sok sibuk amat lo.”
Ingat-ingat ini kawan, “Y” = arogan. Anak baik tak akan membalas chat, sekalipun ogah-ogahan, cuma pakai y.
4. “Mantap”
Walau dari mana asalnya mantap siapa yang tahu, popularitas mantap semakin merajalela saja. Mantap beserta ntap sebagian variannya sudah umum digunakan. Saranku, jangan terlalu sering pakai kata ini kalau tak ingin dianggap sok asik.
Demikian empat alternatif yang aku kira cukup moderat untuk dipakai selang-seling saat membalas obrolan WhatsApp sehari-hari. Masih banyak pilihan di luar itu, seperti okidoki dan oyi yang ya… rada jadul juga, kemudian olrait, gasss, dan nice yang lumayan edgy tapi tidak bisa dipakai untuk semua kalangan. Alhamdulillah juga bukan pilihan buruk, tapi harus disesuaikan dengan citra diri kamu. Di antara diksi yang harus kamu hindari ada good girl dan good boy yang malah menghina. Sementara ye kocak, kalau kamu enggak bermasalah dicap epigon anak Depok, silakan saja digunakan.
Sejumlah peringatan lain yang perlu aku katakan adalah, bagi yang kurang fasih bahasa Indonesia, jangan pernah pakai tesaurus untuk mencari padanan oke, siap, dan sip kalau tak mau hasilnya ambyar. Membalas dengan stiker juga kurang baik jika sifatnya kontinyu karena lekat dengan stigma anak alay. Emot jempol tak perlu kita bahas di sini sebab semua juga tahu, cuma boomer yang masih memanfaatkannya.
Jika pada akhirnya kita menemukan partner chatting yang memilih tidak membalas, atau terkesan alakadarnya saat mengirim pesan, sebaiknya tak perlu sakit hati. Mungkin dia memang lagi ga mood chatting. Ingat-ingat selalu zaman SMS yang purba, serba terbatas, namun bebas ribet di masa lalu.