Hukum di Indonesia

Presiden Jokowi Teken Aturan Kebiri Kimia Bagi Pemerkosa Anak, Aktivis Sorot Dampaknya

Regulasi ini berniat mengurangi kekerasan seksual terhadap anak. Advokat HAM bilang selain ongkosnya besar, penanganan korban kekerasan seksual malah tak terurus.
Presiden Jokowi Teken Aturan Kebiri Kimia Bagi Pemerkosa Anak
Foto ilustrasi oleh Alexey Emanov/Getty Images

Luput dari perhatian banyak kalangan, pada 7 Desember 2020 lalu Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. PP tersebut adalah aturan turunan Perppu 17/2016 tentang Perlindungan Anak yang turut mengesahkan hukuman kebiri. Sama seperti tujuan awal pembentukan perppu tersebut, PP terbaru ini diundangkan biar pelaku kekerasan seksual pada anak kapok.

Iklan

Penjelasan singkat: definisi kebiri kimia dalam PP adalah penyuntikan atau pemberian obat secara berkala selama dua tahun kepada terpidana pelaku kekerasan seksual kepada anak. Zat anti-androgen yang terkandung dalam obat tersebut bakal mengurangi hormon testosteron dalam tubuh buat nurunin hasrat seksual. Kebiri kimia tidak permanen, libido akan kembali hadir apabila pemberian obat dihentikan.

Sedangkan alat pendeteksi elektronik disebut akan berbentuk gelang atau benda lain sejenis yang dipasang pada pelaku. Namun, tidak dijelaskan secara rinci dalam PP gelang tersebut punya fungsi khusus terhadap tubuh atau sebagai simbol doang kalau pemakainya adalah pelaku pemerkosa anak. 

Sejak awal dibahas, kebiri kimia udah menuai kontroversi. Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) menilai kebiri kimia sebagai aturan populis, berdampak baik terhadap citra, namun tidak menyelesaikan akar masalah kekerasan seksual pada anak. Pasalnya, menurut ICJR, aturan kebiri kimia yang udah ada sejak 2016 tidak efektif menekan angka kekerasan seksual. Selain itu, aturan kembali fokus pada pelaku, sementara minimnya komitmen pemerintah menangani korban kekerasan seksual tetap ga ada perubahan.

“PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan tidak memberikan keterangan yang jelas. Misalnya, bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaan? Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya,” tulis rilis resmi ICJR.

Iklan

ICJR, bersama KPI, ECPAT International, dan MaPPI FH UI konsisten mengkritik aturan kebiri kimia sejak 2016. Koalisi ini menyebut pelaksanaan kebiri kimia di negara lain menuntut anggaran besar dan sumber daya terlatih. Sistem kesehatan pasca-kebiri juga harus siap sebab harus ada fasilitas rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medis yang mumpuni bagi terpidana kebiri. Dengan adanya PP 70/2020 ini, menurut ICJR, negara seolah menyatakan siap dengan beban anggaran baru untuk menghukum pelaku, padahal korban masih harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.

Vonis kebiri kimia pertama dialami Aris, pemuda 20 tahun asal Mojokerto, Jawa Timur, pada 2019 lalu. Aris dinyatakan bersalah memerkosa sembilan anak sejak 2015. Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak berkoordinasi dengan penegak hukum saat diminta mengeksekusi kebiri karena bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 

“Masalah hukuman tambahan yaitu kebiri yang rasanya buat kami dari IDI karena kita bekerja dalam koridor etik, sumpah, itu yang tidak memungkinkan [menjadi eksekutor kebiri kimia]. Saat kita melakukan kajian [UU 17/2016] tahun 2016 dengan referensi macam-macam, apakah tindakan dengan suntik itu bisa menyelesaikan masalah? Itu kan masih tanda tanya,“ ujar Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI Pudjo Hartono kepada BBC Indonesia.

Peneliti senior Human Rights Watch Heather Barr menyebut kebiri kimia bukan jawaban untuk menekan angka kekerasan seksual pada anak. Idealnya, negara harus menyediakan sistem pelayanan sosial yang efektif, peran institusi pendidikan untuk mencegah dan mendeteksi kasus, dan pelayanan kesehatan pada orang-orang yang memiliki potensi menjadi pelaku.

“Kebiri kimia berisiko menawarkan solusi palsu dan instan untuk menyelesaikan masalah sulit dan rumit. Melindungi anak-anak dari kekerasan seksual membutuhkan tahapan kebijakan yang dipikir matang dan hati-hati. Intervensi kesehatan [seperti kebiri kimia] sebaiknya tidak digunakan sebagai hukuman,” kata Barr kepada The New York Times.