LGBTQ

Investigasi Kecil-Kecilan: Bisa Gak Sih Laki-Laki Jadi Simbol Lesbian?

Kami menelusuri fenomena perempuan queer yang mengidolakan lelaki hetero bertipe ‘soft butch’.
Daisy Jones
London, GB
CJ
ilustrasi oleh Christa Jarrold
Ilustrasi penyanyi dan aktor laki-laki yang dijadikan simbol lesbian
Ilustrasi: Christa Jarrold

“Wow, siapa nih?” batinku saat melihat salah satu sampul majalah Attitude edisi September. Model laki-laki yang memakai kaus kutang putih itu berpose memegang kepala. Rambut gelap bergelombangnya menggantung di atas tulang pipi tinggi. Bulu ketiak menyembul dari lengannya yang terangkat.

Saya segera menyadari dia adalah Deaken Bluman, aktor hetero yang terkenal lewat serial 13 Reasons Why. Ya, dia memang lelaki ciset, tapi saya—perempuan queer—tetap terpikat dengan gaya soft butch-nya (dalam istilah komunitas LGBTQ+, butch umumnya menggambarkan perempuan lesbi yang bergaya maskulin tapi masih memperlihatkan sisi feminin mereka).

Iklan

Sangatlah wajar jika perempuan lesbi tertarik dengan laki-laki, meski biasanya bukan secara seksual. Ketika James Dean mulai populer pada 1950-an, dia mengekspresikan semacam maskulinitas lembut yang disukai atau cocok dengan banyak perempuan lesbi.

Seperti yang dijelaskan dalam esai terbitan 2003 oleh akademisi yang mendalami budaya queer, Marie Carter, James Dean meniru gaya maskulin pasca Perang Dunia II yang dipopulerkan perempuan butch pada masa itu: kaus kutang dan sepatu bot dan sebatang rokok terselip di antara bibir.

“Saya berpendapat ‘gaya lelaki baru’ pada era 1950-an ini sebagian didasarkan pada identitas butch, dan konsep butch-femme [lebih feminin] memiliki dampak yang besar pada budaya kontemporer secara keseluruhan,” tulis Marie. Dia menjelaskan bintang film Rebel Without a Cause ini mengadopsi gaya soft butch untuk mengekspresikan ke-queer-annya secara aman sekaligus transgresif. Dengan kata lain, Dean lah yang terinspirasi oleh gaya komunitas queer. Baru setelah itu, perempuan lesbi menirukan gayanya. Begitu seterusnya.

Bukan cuma Marie yang berpendapat bahwa perempuan lesbi memengaruhi gaya laki-laki yang kemudian memengaruhi gaya perempuan lesbi. “Saya berteori bahwa perempuan lesbi memulai tren fesyen tertentu,” Stephanie Perdomo, pencipta action figure Dykedolls, memberi tahu New York Times pada 2004 lalu. “Saya sering melihat lelaki di Williamsburg mengenakan kaus kutang, dompet berantai, kemeja ala baju bengkel, dan trucker hat. Saya membatin, ‘Itu, mah, gaya kami lima tahun lalu.’”

Iklan

Gaya ‘laki-laki lesbian’ masih sering bermunculan dewasa ini. Dalam artikel Teen Vogue, Emma Madden menulis idola jutaan orang macam Harry Styles, Timothee Chalamet dan Justin Bieber digaung-gaungkan sebagai simbol lesbi. Emma mengungkapkan sampai ada blog Lesbians Who Look Like Justin Bieber yang didedikasikan untuk orang lesbi bergaya mirip pelantun Baby. Entah apa yang membuat para lelaki ini pantas disebut simbol lesbi — bisa jadi karena gaya androgini kasual atau soft dykey mereka (setelan, rompi dan anting perak menjuntai) — tapi tidak bisa disangkal perempuan lesbi lebih tertarik pada laki-laki tertentu.

“Entah saya naksir Harry Styles atau ingin terlihat seperti dia,” Rhiannon, perempuan lesbi berusia 24, mengakui. “Susah menjelaskannya. Di satu sisi, saya tidak bisa berhenti menyukai gayanya di era One Direction, saat dia masih berpakaian serba hitam, mengenakan ikat kepala dan baru mulai tatoan. Di sisi lain, itu gaya lesbian yang saya sukai. Sama seperti Cole Sprouse!”

Meski banyak perempuan lesbi di internet menjuluki lelaki tertentu sebagai “dykon”, tak sedikit pula yang kurang menyetujui konsep tersebut. “Masyarakat memuja-muja lelaki cis, khususnya lelaki kulit putih bertubuh kurus. Padahal apa yang mereka lakukan sangat minimal,” ujar Kai, 26 tahun. “Saya lebih memilih mengidolakan perempuan dyke atau butch sungguhan. Timothee Chalamet terlalu membosankan bagiku.”

Iklan

Beberapa perempuan mengatakan hal serupa. “Saya paham kenapa lelaki gay selalu mengidolakan penyanyi perempuan seperti Cher dan Madonna, tapi beda saja gitu rasanya dengan ‘laki-laki ikon lesbi’. Ini menyimbolkan budaya hetero, dan saya tidak mau menjadi bagian di dalamnya,” tutur Rosie, 24 tahun. “Hal ini mengingatkanku kembali ke masa-masa saya masih 15 tahun dan berpura-pura menyukai cowok. Padahal saya lesbian yang lebih menyukai Hayley Williams. Saya sudah berubah dan tidak mau seperti itu lagi.”

Walaupun beberapa narasumber saya tidak menyukai gagasan lelaki sebagai lambang gaya lesbi, mereka tertarik pada lelaki tertentu karena alasan lain. “Saya rasa lagu-lagu Frank Ocean yang romantis dan emosional menjadi alasan kenapa dia banyak disukai orang lesbi,” kata perempuan 25 tahun bernama Anna. “Sama kayak Bon Iver. Kami menyukai musik emosional, khususnya lagu tentang kerinduan dan cinta tak berbalas. Mereka tak hanya disukai lelaki gay saja, tetapi juga perempuan lesbi.”

Franks, 28 tahun, berpandangan hanya sesama lesbian yang bisa menganggap lelaki tertentu sebagai simbol lesbi. Perempuan lesbi menobatkan lelaki “dykon” untuk seru-seruan saja, tapi berbeda ceritanya jika orang hetero yang melakukannya. “Saya rasa perempuan lesbi sadar lelaki tak benar-benar berkontribusi pada budaya lesbian, jadi sebutan ‘dykon’ untuk Hozier, misalnya, adalah lelucon yang hanya dipahami sesama orang lesbi,” terangnya. “Kami kesal jika ada orang hetero yang sok ngomong, ‘Omg, yas, Harry Styles gayanya butch abis’. Ada batasan yang perlu dilalui secara hati-hati di sini.”

Saya memahami poin-poin yang disampaikan Franks, dan menurut saya inilah kenapa perempuan lesbi mencap lelaki tertentu sebagai dykon. Kami tahu julukan itu sangat konyol, tapi tetap menggunakannya. Pada 2018, penulis Natalia Adler bercerita kalau dia melihat Bruce Springsteen yang hetero abis sebagai ibu lesbi butch-nya. Menurut dia, selalu ada nilai queer jika melihat queerness dari konsep heteroseksual. “Ada kesenangan queer dari melabeli lelaki hetero sebagai lesbi secara diam-diam. Ini adalah bentuk protes bahwa maskulinitas tak hanya dimiliki lelaki cis.”

@daisythejones/@christajarrold.art

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.