#NamaBaikKampus

UII Cabut Status Mahasiswa Berprestasi Alumnus Diduga Lecehkan Belasan Korban

Langkah rektorat layak diapresiasi, mengingat mayoritas kampus di Indonesia memble menangani kekerasan seksual. Terduga pelaku kini di Melbourne, ditengarai melecehkan lewat chat mesum dan phone sex.
Pelecehan Seksual alumnus Mahasiswa Berprestasi UII Yogyakarta Korban Belasan
Foto gerbang masuk kampus UII Yogyakarta dari arsip situs uii.ac.id

Universitas Islam Indonesia (UII) tersandung skandal dugaan pelecehan seksual yang dilakukan alumnusnya. Terduga pelaku dengan inisial IM adalah peraih gelar mahasiswa berprestasi pada 2015, dan lulus sarjana dari jurusan arsitektur setahun setelahnya. Kasus ini mulai mencuat April lalu, ketika Aliansi UII Bergerak—diinisiasi mahasiswa aktif—bersolidaritas dengan penyintas, mendesak rektorat serius menangani dugaan pelecehan seksual di kampus mereka.

Iklan

Merespons desakan itu, UII kemudian resmi membuat posko pengaduan dan pendampingan psikologis bagi korban pelecehan. "Yang mengonfirmasi dan kami dampingi sementara ini ada 11 orang," kata Syarif Nurhidayat selaku Ketua Tim Pendampingan Psikologi dan Bantuan Hukum dari UII, saat dikonfirmasi Republika, akhir pekan lalu.

Dihubungi terpisah, Rektor UII Fathul Wahid berjanji memproses kasus ini dan serius memperhatikan kesaksian penyintas. Selain itu, gelar mahasiswa berprestasi IM segera dicabut mengingat banyaknya laporan yang masuk. "Ini sikap UII. Ini pesan kuat yang disampaikan oleh UII. Jangan main-main dengan pelecehan atau kekerasan seksual," ujarnya seperti dilansir merdeka.com.

Sebagian penyintas kini memiliki kuasa hukum yang juga membuka posko pengaduan sendiri. Dari temuan independen kuasa hukum seperti dikutip Detik.com, korban mengaku dilecehkan IM lebih banyak dari yang sudah diterima UII. "Sementara yang masuk ada 15 orang yang menghubungi. Untuk kasus ini kami tidak mau berseberangan dengan UII, tapi ayo kita bareng-bareng," kata Meila Nurul Fajriah, selaku kuasa hukum para penyintas.

Pelaku sempat berprofesi sebagai pengajar di lembaga bimbingan belajar serta kerap berinteraksi dengan mahasiswi juniornya. Kini pelaku tengah menempuh pendidikan pascasarjana di Melbourne University, Australia. Aliansi UII Bergerak mencatat, laporan terhadap IM sebetulnya sudah disampaikan dua penyintas pada kampus sejak 2018, tapi kala itu tidak ada respons serius. Itu sebabnya, mahasiswa aktif kini menggelar aksi yang lebih massif, baik melalui daring maupun luring.

Iklan

Kuasa hukum mengatakan, dari laporan yang masuk, mayoritas korban mengalami pelecehan dalam bentuk chat mesum dan ajakan phone sex. Ada beberapa yang mendekati pelecehan fisik. "Kami melihat pola untuk korban ini kebanyakan sama. Pola yang di Yogya, dia itu jualan buku dan bimbel dan itu korbannya kadang diajak ke kosan untuk mengambil buku atau untuk bimbel," imbuh Melia.



Dilansir Kumparan, salah satu penyintas dengan gamblang menceritakan pengalamannya dilecehkan terduga pelaku. Penyintas diwisuda bersama IM pada 2016, dan karenanya saling mengenal. Beberapa tahun kemudian, IM mengirim DM di Instagram ke penyintas. Obrolan dua kawan lama itu, yang berlanjut dengan telepon via WhatsApp, lambat laun berubah menjadi pemaksaan phone sex. "Ia memintaku untuk guling dengan posisi tertentu lalu dia menanyakan reaksinya. Aku semakin merasa ada yang tidak beres ketika aku diminta untuk memegang alat vitalku diiringi dengan kalimat-kalimat vulgar darinya."

IM, lewat postingan di akun Instagram pribadinya Kamis 30 April 2020, memberi klarifikasi. Dia membantah semua tuduhan soal pelecehan seksual. "Sebelum pemberitaan menyebar, tidak ada satu pun pihak yang menghubungi saya, meminta klarifikasi atau tabayyun, sehingga ketika berita tersebar secara cepat dan masif saya tidak punya kesempatan membela diri," ujarnya. Kini, kolom komentar di akun Instagram pribadi IM telah ditutup.

UII telah menghubungi IM lewat DM agar penyelidikan bisa segera dituntaskan. Kampus menilai klarifikasi sepihak di Instagram itu belum memadai. "UII mendorong IM untuk dapat menunjukkan iktikad baik dengan bersikap kooperatif, melakukan klarifikasi secara jujur," kata Syarif Nurhidayat.

Langkah UII, dengan mencabut gelar mahasiswa berprestasi dan membuat posko pendampingan, terhitung progresif. Merujuk laporan kolaborasi "Nama Baik Kampus" antara VICE, The Jakarta Post, dan Tirto.id tahun lalu, mayoritas universitas di Indonesia tidak punya keberanian memproses dugaan pelecehan maupun kekerasan seksual yang dilakukan dosen serta sesama mahasiswa.

Tak banyak tersedia regulasi soal penanganan kekerasan seksual di internal kampus. Sementara pemerintah dan kampus negeri kadang terbelenggu aturan ASN untuk memecat dosen yang melakukan kekerasan seksual.

Tim Nama Baik Kampus mendapat laporan dugaan pelecehan dan kekerasan seksual dari 29 kota dari 79 perguruan tinggi berbeda. Pelapor paling banyak berasal dari kota Semarang dan Yogyakarta. Selain itu, penyintas ragu melaporkan kasus yang mereka alami ke aparat. Survei daring yang dibuat Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co pada 2016, menyatakan 93 persen penyintas kekerasan seksual di Indonesia tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Alasan mereka yang tidak melapor kebanyakan malu dan takut disalahkan.