Viralnya Ranu Manduro Mojokerto Ungkap Problem Reklamasi Galian Tambang di Indonesia
Penjual makanan keliling masuk ke kawasan Ranu Manduro di Mojokerto, yang seharusnya tertutup untuk wisata karena statusnya galian tambang. Semua foto oleh penulis.
Kerusakan Lingkungan

Di Balik Wisata Viral Mojokerto: Problem Reklamasi Galian Tambang Hantui Indonesia

Ranu Manduro disesaki pengunjung akibat video viral. Tapi ini bukan sekadar isu hype wisata dadakan. Kasus ini contoh perusahaan abai pada kewajiban mereklamasi tambang, yang kerap terjadi di daerah lain.

Sebuah video di Twitter pada penghujung Februari lalu mengubah peruntungan Desa Manduro Manggul Gajah, di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mungkin untuk selama-lamanya. Tiba-tiba ratusan ribu orang mengenal nama desa tersebut, bahkan ikut serta menjuluki ranu (sebutan lokal untuk telaga) di desa tersebut serupa bentang alam 'Selandia Baru'. Di kejauhan siapapun akan melihat pemandangan Gunung Penanggungan, sembari berdiri di atas bongkahan batu besar sekitar tebing yang dikelilingi rerumputan hijau.

Iklan

Dalam hitungan hari, setelah video tersebut di-retweet puluhan ribu pengguna Twitter, pelancong dari dalam hingga luar kota berdatangan.

Amin, 37 tahun, adalah saksinya. Warga asli Manduro itu sempat bertemu pelancong yang jauh-jauh dari Semarang, Jawa Tengah, ke Mojokerto hanya demi melihat Ranu Manduro. "Rata-rata penasaran karena pemandangannya bagus," ujar Amin pada VICE. Pengunjung tak keberatan harus membayar pungutan masuk yang bila ditotal mencapai Rp15 ribu, yang tak jelas peruntukannya.

1585199705144-IMG_20200316_204322

Warga masih memadati kawasan Ranu Manduro, sekalipun pemerintah setempat menutupnya sementara.

Menurut Amin, setelah ramai di medsos, momen akhir pekan di Ranu Manduro amat padat manusia. "Ndak bisa masuk karena antrenya panjang," sambungnya.

Pemerintah Kabupaten Mojokerto bergerak cepat menutup Ranu Manduro sepekan setelah video membludaknya pengunjung viral. Namun, saat VICE datang ke lokasi di awal bulan ini, masih ada warga mampir berswafoto, diiringi para penjual dadakan yang menawarkan jajanan.

Penutupan terpaksa dilakukan karena fasilitas pendukung aktivitas pariwisata di Ranu Manduro belum tersedia. Alasan lain, dan ini lebih penting diketahui publik, adalah fakta bila telaga itu bukanlah tempat wisata alami. Ranu Manduro sejatinya lokasi tambang pasir dan batu yang belum direklamasi oleh perusahaan pengelolanya.

"Itu kan bekas tambang. Khawatirnya longsor dan sebagainya," kata Syahdilla pada VICE, selaku Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto.

Iklan

Pemkab, bersama PT. Wira Bhumi yang bertanggung jawab mengelola tambang, kini memasang rambu "dilarang masuk" di sejumlah titik.

1585199749895-IMG_20200316_204156

Di akhir pekan, rombongan pesepeda ikut mampir. Kawasan Manduro ini rentan longsor.

Total konsesi yang dimiliki PT Wira Bhumi di Manduro mencapai 445 hektare. Jumlah tersebut belum termasuk wilayah tambang di tempat lain. Dulunya, kawasan ini adalah lahan pertanian.

Pada 2017, perusahaan memutuskan menghentikan kegiatan penambangan pasir dan batu karena desakan masyarakat setempat. "Diprotesi sama warga," ungkap Mohawk, warga desa sebelah. Selain merusak akses jalan dari dan menuju Manduro, kegiatan penambangan dianggap terlalu dalam mengeruk isi bumi. Saking dalamnya, beberapa titik yang dulunya ditambang, kini berubah laiknya telaga.

Celakanya, kondisi seperti itu tak hanya terjadi di Manduro. Nyaris semua bekas penambangan di Jawa Timur mengalami kondisi serupa; dibiarkan tak terurus. Manduro beruntung masih dihiasi rumput dan dianggap punya pesona pemandangan elok. Tapi di banyak lokasi bekas tambang, yang nampak cuma jelaga berukuran besar serta lahan kritis yang tak bisa lagi diubah untuk fungsi pertanian. Bekas tambang di pegunungan kapur Lamongan merupakan bukti lain pemerintah tak pernah serius menegakkan aturan pertambangan.

"Dan itu tidak hanya terjadi di Jawa Timur ya. Hampir di semua tempat seperti itu," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto, kepada VICE.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), seharusnya pemegang izin usaha pertambangan atau pertambangan khusus (IUP/IPUK) wajib memiliki rencana reklamasi setelah aktivitas bisnis mereka berakhir, yang dibuktikan dengan jaminan deposito. Tanpa semua persyaratan itu, izin tak akan turun. Akan tetapi, realitasnya kewajiban reklamasi sering tidak diindahkan. Banyak lahan-lahan bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja setelah dieksploitasi.

Iklan
1585199790282-Tambang-ilegal-Bulusari-2

Tambang ilegal di Bulusari, Pasuruan, di balik gunung yang bisa terlihat dari Ranu Manduro, masih beroperasi sampai sekarang.

Di Manduro, peran perusahaan pengelola sejauh ini baru sekadar memasang plang. Sebuah gudang dekat bekas galian depan lokasi tambang nyaris ambruk. Air menggenangi bangunan permanen dari beton yang tenggelam itu, menyisakan tiang jaringan listrik yang seolah tak bertuan.

Masjim, petugas keamanan yang dipekerjakan PT Wira Bhumi, menepis anggapan bila perusahaan tidak berniat melakukan reklamasi. Saat ini, tenaga perusahaan terserap proyek penggalian lain di Gempol.

"Nanti pasti direklamasi karena kegiatan kami ini legal. Kami bekerja sesuai aturan. Bandingkan dengan tambang lain yang tidak ada terasiringnya. Kalau kami pasti ada terasiring karena kami sesuai aturan," ungkap lelaki yang sudah 23 tahun bekerja bersama PT. Wira Bhumi ini.

Di mata Rere, mandegnya proses reklamasi Ranu Manduro tersorot karena viral sebagai lokasi wisata dadakan. Andai tidak viral, belum tentu reklamasi benar-benar dilaksanakan, apalagi sudah tiga tahun tidak ada aktivitas penambangan apapun. Selain itu, fungsi inspektur tambang di bawah kendali Kementerian ESDM seringkali lemah dalam pengawasan.

"Kalau kemudian sampai kegiatan penambangan selesai dan tidak ada reklamasi, ini berarti selama proses itu berjalan tidak pernah dimonitor," kata Rere.

Persoalan minimnya komitmen reklamasi, dari analisis Walhi, akibat kecilnya nominal deposito yang dijaminkan para penambang saat mengajukan proposal ke pemerintah.

Iklan

Berdasar ketentuan, uang jaminan reklamasi (jamrek) tersebut bisa dicairkan setelah kewajiban dilaksanakan. Persoalannya, kata Rere, nominal deposito jamrek yang dijaminkan terlalu kecil, tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan reklamasi. "Ada kemungkinan perusahaan memilih kehilangan jamrek yang nominalnya lebih kecil daripada melakukan reklamasi dengan biaya yang jauh lebih besar," ujarnya.

1585199842671-IMG_20200316_204648

Kondisi jauh lebih miris dari Manduro dialami Ngoro, kawasan pertambangan di Kecamatan Gempol, Pasuruan, yang sama-sama berada di kaki Gunung Penanggungan. Ada tiga desa yang menjadi sentra penambangan batu di Ngoro, yakni, Desa Bulusari, Desa Wonosunyo, dan Jerukpurut. Jejak tambang yang tak direklamasi pun terhampar luas di berbagai sudut ketiga desa itu. Di Bulusari, kegiatan penambangan batu dan pasir ilegal malah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada penindakan tegas pemerintah.

Di Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto, potensi pasir dan batu diperkirakan mencapai 40 juta ton, tersebar di kaki Gunung Penanggungan. Jawa Timur memang dianugerahi kandungan mineral dan bebatuan yang cukup melimpah. Mulai dari emas dan tembaga yang tersebar di sepanjang dataran tinggi sepanjang pesisir pantai selatan. Kemudian bebatuan seperti trass, marmer, tanah urug, pasir dan batu di kawasan tengah provinsi.

Kekayaan alam itu kini berubah jadi bencana ekologi, akibat minimnya komitmen perusahaan mematuhi aturan tambang.

Iklan

Bulusari bersama dua desa lain penghasil pasir dan batu tak kunjung bebas dari status sebagai daerah rawan krisis air. "Tiap tahun pasti kami dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah mendistribusikan air ke sana," kata staf BPBD setempat, Daryono.

Di Manduro, warga berharap pemerintah Mojokerto mengizinkan kawasan itu kembali dibuka dengan izin baru sebagai lokasi wisata. Sementara dari balik gunung Penanggungan, di Pasuruan, warga menuntut berakhirnya rezim tambang, memaksa pemkab bergegas membahas isu tambang bersama pemerintah provinsi. Lazimnya tak ada pemandangan indah yang tersisa setelah tambang batu menyerap semua isi bumi, kecuali tanah kering kerontang.


Asad Asnawi adalah jurnalis lepas yang bermukim di Pasuruan, follow dia di Facebook

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Indonesia