Kudeta militer di Thailand sudah menginjak tahun keempat. Sudah saatnya Negeri Gajah Putih ini memiliki pemimpin baru. Akan tetapi, tampaknya National Council for Peace and Order (NCPO), junta militer yang dipimpin oleh PM Prayut Chan-Ocha, masih ingin berkuasa dengan berulang kali menunda pemilu dan memberi janji palsu kepada rakyat untuk memulihkan demokrasi pada tahun berikutnya.
Sejumlah aktivis pro-demokrasi tak gentar menggelar aksi demonstrasi untuk menuntut diakhirinya junta militer, meski hukuman penjara sudah di depan mata. Jurnalis VICE, Caleb Quinley, mewawancarai tiga tokoh penting dari Democracy Restoration Group (DRG) untuk memahami motif di balik gerakan, risikonya, dan mengapa mereka rela mengorbankan kebebasannya.
Videos by VICE
‘Teman-teman lain selalu menyemangati untuk terus melawan.’
Tiga minggu lalu, Karn Pongpraphapan naik ke atas truk dan mengacungkan tiga jari, yang menjadi simbol solidaritas melawan junta militer. Isyarat itu, yang terinspirasi dari film Hunger Games, kini dikenal sebagai tanda perlawanan terhadap kekuasaan militer yang sedang berlangsung di Thailand.
Karn, dan rekan aktivisnya, memadati halaman depan markas besar Royal Thai Army di pusat kota Bangkok. Mereka menagih janji junta militer Thailand untuk mengadakan pemilu baru yang sudah lama tertunda. Karn meneriaki pasukan tentara dari luar, menuntut dikembalikannya demokrasi ke Thailand.
Saya bertemu dengan Karn beberapa minggu kemudian di sebuah restoran kecil dekat pengadilan Bangkok. Dalam waktu yang singkat, namanya dikenal sebagai tokoh penting DRG, sebuah organisasi aktivis pro-demokrasi yang sebagian besar anggotanya masih mahasiswa. Seluruh anggota organisasi sangat berani memberontak rezim yang tidak menunjukkan tanda-tanda mundur dari kekuasaan.
Karn memberi tahu saya bahwa kali pertama dia merasa tergerak untuk berpolitik yaitu saat dia menjadi relawan di perbatasan Thailand-Myanmar.
“Saya menyaksikan banyak warga hidup dalam kemiskinan saat saya sedang menjadi relawan di Mae Sot dekat Chiang Rai, yang dekat dari Myanmar,” kata Karn kepada VICE. “Anak-anak kecil rela naik-turun gunung untuk bersekolah. Ini sangat tidak adil.
“Saya menjadi relawan dalam membangun sekolah buat mereka. Saya mengikuti beragam kegiatan selama sekitar dua tahun. Satu waktu, saya membatin ‘apa yang perlu saya lakukan untuk mengubah struktur sosial?’ Lalu saya menyadari kalau ingin mengubah struktur, maka kita harus melakukannya dari atas. Bagaimana mungkin kita bisa mengubah kondisi mereka jika tidak mengubah sistem politik yang ada.”
Tonton: Negara di bawah kendali Junta- Thailand di ujung tanduk
Karn kuliah jurusan seni di Thammasat University—universitas bergengsi di Bangkok yang memiliki riwayat panjang melawan rezim otoriter. Pada 1976 lalu, ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menggulingkan diktator anti-komunis, Thanom Kittikachorn. Pasukan keamanan Thailand membalas dengan melepaskan tembakan ke arah demonstran, yang menewaskan sekitar 100 orang, menurut beberapa perkiraan.
Meski sudah berselang puluhan tahun, para mahasiswa saat ini masih giat mendirikan gerakan aktivis. Ini menjadi salah satu alasan mengapa dia memutuskan untuk bergabung menjadi aktivis. Karn adalah sosok yang pandai bicara, analitis, dan karismatik. Di waktu luangnya, dia senang membaca buku filsafat dan mempelajari aktivis berpengaruh lainnya dari sejarah Thailand.
Saat ditanya mengapa tertarik menjadi aktivis, dia menjelaskan kalau dia tidak menyangka aktivis idolanya, pendiri DRG, Rangisiman Rome, dijebloskan ke penjara karena melakukan acara peringatan anti-kudeta di depan Bangkok Art and Cultural Center.
“Saya berpikir, ‘Ya Tuhan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?’” kenangnya. “Mereka hanya ingin menuntut demokrasi dan mengajak rakyat untuk mendapatkan kebebasannya lagi. Mereka hanya ingin menyuarakan pendapatnya saat itu. Mereka orang-orang yang sangat berani karena mempertaruhkan diri sendiri untuk kepentingan rakyat. Saya jadi bertanya-tanya, ‘Kapan saya bisa seperti mereka?’”
Karn tertarik menjadi aktivis, tapi di satu sisi dia kalut. Apakah risikonya setimpal? Apakah dia cocok jadi aktivis pro-demokrasi? Pada akhirnya, dia semakin mantap untuk bergabung menjadi aktivis. Dia mulai menghubungi aktivis-aktivis lain di kampus dan menyuarakan pikirannya tentang demokrasi di Thailand.
“Teman-teman saya selalu mendukung. Dukungan mereka benar-benar menyemangati. Saya mulai merekam video dan mengunggahnya ke Facebook. Dalam hitungan jam, ratusan dan ribuan orang membagikan dan menonton video saya,” katanya.
‘Mayoritas publik mendukung kami, hanya saja mereka diam.’
Tidak semua orang seberani Karn dalam menyuarakan pendapatnya. Setelah kudeta militer, Thailand bukan lagi negara yang cocok untuk aktivis. Junta akan menangkap tanpa alasan, mengadakan sesi “penyesuaian sikap”, dan penculikan atau penghilangan.
Banyak orang yang ditangkap karena alasan sepele di Thailand sejak junta mengambil kendali, seperti diam-diam membaca buku 1984-nya George Orwell dan memakan sandwich. Intimidasi militer terhadap siapa saja yang melawan membuat demonstran takut untuk melakukan aksi protes. Untungnya masih ada yang berani seperti Nuttaa Mahattana yang juga termasuk anggota DRG. Nuttaa mengungkapkan bahwa dia punya cara lain untuk mengumpulkan dukungan masyarakat untuk merebut kembali demokrasi yang telah lama hilang. Dia memanfaatkan media sosial untuk membagikan kegiatannya.
Media sosial sangat membantu DRG dalam menekan junta militer. Apabila anggota DRG tidak ada rencana mengadakan demonstrasi, seperti yang direncanakan Sabtu ini, mereka akan menyebarkan pesan ke berbagai orang di media sosial.
“Saya yakin orang-orang yang selama ini diam saja sebenarnya mendukung kami,” kata Nuttaa kepada VICE. “Banyak pengikut kami di Facebook yang mendukung. Tapi setiap kali kami menggelar demonstrasi, hanya ada sedikit yang ikut serta. Saya maklum kalau mereka takut.”
Nuttaa, 39 tahun, bekerja sebagai seorang guru dan bekerja freelance sebagai MC dan pembawa acara TV. Teman-temannya memanggilnya “Bow,” dan dia tampak seperti komunikator yang mampu menyampaikan pesan dengan amat akurat.
“Saya tidak takut,” katanya kepada saya. “Karena ada beberapa faktor yang berbeda dalam kasus saya. Pertama, saya seorang perempuan. Jadi, sejujurnya saya mendapatkan simpati lebih banyak. Kedua, saya melakukannya karena alasan yang benar, alasannya cukup untuk kuat untuk ditukar dengan apa pun. Semua orang hanya mati sekali. Aku bisa berjalan kembali ke mobilku, dan seorang pengemudi mabuk bisa memukulku. Itu bisa terjadi kapan saja. Jadi mengapa takut? Itu sepadan dengan risikonya.”
Kebanyakan pendukung DRG terdiri dari generasi muda Thailand, generasi yang sama yang tumbuh besar ketika kup penuh kekerasan Thailand terjadi pada 2006 terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra—saudara kandung dari Yingluck Shinawatra, perdana menteri yang dilengserkan pada kup 2014.
“Tidak semua orang menginginkan demokrasi, tapi saya yakin kebanyakan generasi muda menginginkan demokrasi,” ujarnya ke saya. “Dan saya pikir demokrasi adalah sistem politik yang paling sesuai dengan nilai kemanusiaan.”
“Kalau kamu bertemu anak yang masih kecil, kamu bisa melihat bahwa ideologi mereka, secara alami, semua orang menginginkan demokrasi. Semua orang ingin dihormati, didengar, dan bebas berekspresi. Ini sangat alami.”
Bagaimana Thailand bisa jadi seperti sekarang ini? Tonton liputan VICE News tentang unjuk rasa besar-besaran di Thailand 2014 lalu
Nutaa mengatakan ke saya bahwa kup sebelumnya-lah, yang terjadi pada 2006 dan melengserkan Thaksin Shinawatra, yang mendorongnya masuk ke aktivisme. Sudah 15 tahun semenjak kup terakhir menggoncang demokrasi Thailand yang rapuh sebelum tank-tank kembali diluncurkan ke jalanan Bangkok lagi.
“Ini terjadi di era ketika kami pikir tidak akan ada lagi kup di Thailand,” jelasnya. “Kami mengira masyarakat kami sudah modern dan kami sudah jauh melewati kup sebelumnya, dan saya tidak percaya ini terjadi lagi. Dan kup tersebut menggulingkan pemerintah paling populer yang memenangkan pemilu secara mutlak. Ini seperti tamparan ke wajah bagi banyak orang.”
Di DRG, dia terlibat dalam bidang komunikasi dan pengorganisasian. Dia membantu merencanakan protes di masa depan, berhubungan dengan aktivis lain, dan berdiskusi tentang cara mengemas pesan mereka bersama jaringan grup pro-demokrasi yang lebih luas. Dia mengaku bahwa pesan dan argumen mereka, adalah satu-satunya senjata yang mereka miliki melawan musuh yang jauh lebih kuat.
“Senjata utama mereka adalah senjata api,” ujarnya. “Senjata kami adalah prinsip keadilan dan demokrasi, hukum, dan komunikasi. Jadi senjata kami adalah mengkomunikasikan prinsip—dan apabila kami cukup kuat—ini akan menjadi tameng kami juga.”
Tapi Nuttaa tidak hanya berusaha mengembalikan demokrasi Thailand. Dia juga ingin mereformasinya. Thailand sudah terperangkap dalam krisis siklus kup-pemilu-kup selama lebih dari satu dekade. Thailand sudah sangat sering melanggar konstitusinya sendiri hingga seluruh sistemnya perlu ditulis ulang, jelas Nutaa.
“Apabila gerakan kami mendapat momentum yang cukup, kita tidak hanya akan mendapatkan pemilu, tapi pemilu yang transparan,” ujarnya ke saya. “Dan ini akan membawa hasil yang sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat. Sehingga, perwakilan yang dipilih untuk duduk di parlemen bisa menjalankan tugas mereka, mereka bisa memilih perdana menteri yang diinginkan rakyat, mereka bisa memperbaiki konstitusi yang bermasalah. Ini semua adalah landasan agar demokrasi bisa tumbuh.”
‘Kadang aku juga merasa takut.’
Para anggota DRG yang saya ajak ngobrol berusaha mengecilkan resiko yang mereka ambil. Tapi ada keretakan politis yang nyata di Thailand, yang bisa benar-benar mengancam gerakan protes DRG yang baru lahir.
Kaum ultra-royalis “baju kuning,” melihat demonstran pro-demokrasi sebagai bagian dari kaum “baju merah” pendukung Thaksin. Thaksin dan adik perempuannya, Yingluck memenangkan pemilu dengan cara menawarkan skema ekonomi yang menguntungkan ke desa-desa utara Thailand dan menjadi ancaman bagi kaum urban royalis di pemilu.
Namun Shinawatra bersaudara juga terperosok dalam skandal korupsi selama masa kepemimpinan mereka. Kini, keduanya mengasingkan diri dan tinggal di luar negeri. Yingluck sendiri dijatuhi hukuman in absentia lima tahun di penjara karena terlibat dalam skema subsidi beras yang merugikan negara miliaran. Namun dia melarikan diri dari Thailand sebelum keputusan hakim dijatuhkan. Kabarnya dia bergabung dengan saudara lelakinya di Dubai.
Semenjak militer mengambil alih Thailand, junta sama sekali tidak toleran terhadap gerakan aktivis yang saat ini dipimpin oleh DRG. Semua orang yang saya ajak ngobrol dalam artikel ini beresiko ditangkap karena mengorganisir acara-acara protes.
Sirawith Seritiwat, 26 tahun, paham betul resikonya. Sirawith, lebih dikenal dengan nama panggilannya “Ja-New,” sempat diculik, ditutup matanya, dipukuli, dan diinterogasi oleh tentara pada Januari 2016 akibat mengorganisir demonstrasi damai anti-kup di Bangkok. Di hari penangkapannya, Sirawith sedang berjalan dengan teman-temannya di dekat kampus ketika sebuah mobil van tidak dikenal berhenti di sampingnya dan merenggutnya dari jalanan. Junta tersebut nantinya mengatakan bahwa dia ditangkap karena melanggar larangan pertemuan sosial di tempat umum dan aktivitas politik.
“Mereka [junta] bebas melakukan apa saja,” ujar Sirawith. “Setelah kup 2014, kami merasa mahasiswa hanyalah satu-satunya yang bisa menimbulkan perubahan. Kami tidak ingin junta bebas mengendalikan kehidupan semua orang terus menerus.”
Sebelum menjadi aktivis pro-demokrasi, Sirawith adalah anggota dewan mahasiswa di Universitas Thammasat. Dia mengaku selalu tertarik dengan isu HAM, dan melakukan apa yang dia bisa untuk mempromosikan kebebasan dan demokrasi setelah kup 2014. Tumbuh miskin, Sirawith mulai memikirkan politik semenjak muda. Dia mengatakan latar belakangnya yang berat mendorongnya untuk bertarung demi keadilan sosial.
Dia bangga akan jaringan grup aktivis yang dia bantu kembangkan, dan sering berkoordinasi dengan banyak grup dari berbagai universitas. Dia kurang lebih berperan sebagai konsultan aktivis bagi organisasi lain di Bangkok.
“Kadang saya ketakutan, tapi rasa takutnya saya kendalikan, saya seimbangkan,” ujarnya. “Polisi mungkin punya hukum dan kekuasaan, tapi saya punya media sosial.”
Aktivis mahasiswa sudah lama menjadi baris depan protes terhadap junta militer. Walaupun demonstrasi-demonstrasi baru ini berhasil membawa perhatian nasional dan internasional ke situasi Thailand, para mahasiwa ini beresiko terancam hukuman penjara, jelas Sutharee Wannasiri, seorang spesialis HAM Thailand bersama NGO Fortify Rights.
“Aktivis di Thailand akan terus mengambil resiko dipenjara karena kami percaya bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul adalah hak asasi fundamental—bukan privelese,” ujar Sutharee.
Namun selama junta memegang prinsip yang berlawanan, aktivis-aktivis ini akan terus hidup dicurigai dan berpotensi ditangkap. Karena resiko yang besar inilah, saya bertanya ke mereka, kenapa mereka terus melanjutkan perjuangan? Kenapa ambil resiko?
“Saya bertanya hal yang sama ke diri sendiri setiap hari—Kenapa saya harus melakukan ini?” ujar Karn. “Jawabannya adalah ini—Saya tidak melakukan ini untuk diri saya sendiri. Saya melakukan ini untuk rakyat. Saya melakukan ini untuk negara saya. Saya melakukan ini untuk demokrasi.”