Pagi hari itu I Ketut Mangku Wijana berjalan menyusuri kebun kelapanya dengan langkah tegap. Dengan bertelanjang kaki ia memeriksa beberapa batang pohon. Rutinitas setiap pagi tersebut dijalaninya hampir saban hari sejak berpuluh tahun lalu. Sejurus kemudian matanya tertuju pada sebatang janur yang tergeletak di tanah. Dengan mata terpicing ia memeriksa janur tersebut secara seksama. Janur tersebut berwarna kuning kusam kecoklatan dengan beberapa bercak putih di sekujur daunnya. Mangku segera beranjak ke pohon terdekat dengan langkah yang semakin cepat. Wajah Mangku tampak gelisah. Ia tahu ada sesuatu yang salah dengan kebun kelapanya.
Mangku berusia 55 tahun. Kulitnya cokelat mengkilat karena saban hari bergulat dengan sinar matahari. Kerut-kerut di wajahnya adalah cermin dari asam garam kehidupan yang telah dilaluinya. Hari itu Mangku menemukan setidaknya 20 pohon yang mengalami kerusakan pada janur kelapanya, seperti yang ia temukan sebelumnya pagi itu.
Videos by VICE
Sepengetahuan Mangku, hanya ada satu penyebab rusaknya pohon kelapa: serangan hama kumbang badak. Namun sejauh ingatannya bekerja, terakhir kali kebunnya terkena serangan hama kumbang badak adalah tujuh tahun lalu. Belakangan Mangku menduga penyebab puluhan pohon kelapanya mengalami kerusakan adalah karena asap pembakaran batu bara dari PLTU Celukan Bawang.
Kebun kelapa seluas tiga hektare milik Mangku hanya terletak beberapa meter dari PLTU batu bara Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali. Letak kebun yang dihuni ratusan pohon kelapa tersebut persis menghadap ke Laut Jawa. Kebun itu pertama kali dibuka oleh orang tuanya pada 1978 sebelum akhirnya diwariskan kepada Mangku pada 1990-an hingga sekarang.
“Ketika terserang hama kumbang dulu tidak sebanyak ini yang rusak [pohonnya],” terang Mangku saat saya temui. “Ketika serangan kumbang sudah merusak, kami langsung mengganti pohon tersebut. Setelah hama kumbang beres, kini muncul masalah kerusakan seperti ini.”
Dulu, sebelum PLTU seluas 40 hektare tersebut beroperasi, Mangku bisa memanen 9.500 butir kelapa setiap dua bulan sekali. Buah kelapa tua yang dihasilkan kemudian dikirim ke Pulau Jawa. Mangku mengatakan hasil panen kebunnya saat ini sudah jauh menurun dalam kurun dua tahun terakhir. Kini maksimal dia hanya sanggup memanen 2.500 butir kelapa dalam sekali panen.
PLTU Celukan Bawang resmi beroperasi pada Agustus 2015 setelah dibangun selama 12 tahun oleh China Huadian Engineering Co, Ltd (CHEC), Merryline International Pte. Ltd (MIP) dan PT General Energy Indonesia (GEI) dengan nilai investasi kala itu US$700 juta. Total kapasitas listrik yang dihasilkan dari tiga generator di PLTU tersebut sebesar 426 megawatt. Pada akhir 2017 pihak PLTU berencana membangun pembangkit kedua berkapasitas 2×330 megawatt tepat di sebelah barat pembangkit yang telah beroperasi.
Sejak awal, keberadaan PLTU tersebut telah mendapat tentangan keras dari para aktivis, ilmuwan, dan warga sekitar yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sejak awal para warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan PLTU tersebut. Mereka juga tidak pernah dilibatkan dalam perumusan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Proses ganti rugi tanah juga dinilai tidak transparan karena melibatkan calo tanah. Agar proyek tersebut berjalan mulus, pihak PLTU juga memberikan janji-janji manis seperti pemberian listrik gratis, penyediaan fasilitas kesehatan, dan membuka lapangan pekerjaan. Namun tidak satu pun janji tersebut diterima oleh warga. Pihak PLTU Celukan Bawang menolak mengomentari hal tersebut saat dihubungi oleh VICE Indonesia.
“AMDAL yang ada hanya akal-akalan pejabat supaya proyek tersebut diloloskan,” kata Mangku dengan nada gemetar. “Para warga awalnya tidak tahu jika akan ada pembangunan PLTU. Bahkan rumor yang beredar waktu itu akan ada pembangunan pabrik kecap.”
Dampak dari PLTU Celukan Bawang tak cuma dirasakan oleh petani seperti Mangku. I Putu Gede Astawu yang telah melaut sejak awal 1990-an, merasakan dampak dari pembuangan limbah pengolahan batu bara yang mencemari lautan. Hasil pencemaran limbah batu bara tersebut tercermin dari hasil tangkapan lautnya yang kian hari kian menurun.
Sebelum ada PLTU, para nelayan tradisional di desa tersebut membawa pulang 300 ember penuh berisi ikan tongkol, layang, bambangan, dan kakap dengan jarak relatif dekat dari pantai, kenang Astawu. Berat setiap embernya mencapai 10 kg. Kini para nelayan tradisional harus melaut lebih jauh dan hanya sanggup membawa pulang 10 hingga 15 ember ikan. Untuk menyambung hidup, Astawu – yang telah melaut sejak usia 10 tahun bersama kakeknya – kini juga berprofesi sebagai tukang kayu di sela-sela waktu melautnya.
“Terumbu karang di perairan dekat sini [Celukan Bawang] sudah rusak,” kata Astawu. “Kapal tongkang batu bara hilir mudik setiap hari. Belum lagi limbah pengolahan batu bara membuat air laut menjadi panas.”
Juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, mengatakan bahwa ambang batas suhu air laut berkisar antara 28-32 derajat celcius. Dari hasil pengukuran suhu air laut yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia, suhu air laut akibat limbah batu bara PLTU Celukan Bawang bisa mencapai 38-40 derajat celcius.
“Sebenarnya banyak sekali manajemen pengolahan limbah dan polusi yang bisa digunakan di PLTU,” kata Didit. “Namun sayangnya hampir seluruh PLTU yang beroperasi tidak menggunakan itu, karena harga instalasi untuk alat pengolahan limbah dan peredam polusi begitu tinggi, dan ini akan berdampak ke harga jual listrik itu sendiri.”
Januari lalu, Mangku bersama warga lain dan aktivis lingkungan mengajukan gugatan terhadap izin lingkungan PLTU Celukan Bawang ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) Denpasar. Kuasa hukum warga dari LBH Bali Dewa Putu Adnyana mengatakan bahwa keputusan Gubernur Bali tentang izin lingkungan PLTU Celukan Bawang cacat secara hukum . Pasalnya, dokumen AMDAL yang mendasarinya juga tidak valid lantaran tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no.17/2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam survei Amdal dan izin lingkungan. Selain itu, menurut Dewa, proyek PLTU tersebut juga tidak berdasarkan pada rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).
“Dokumen AMDAL tersebut tidak memiliki evaluasi holistik terhadap dampak yang akan ditimbulkan,” kata Dewa. “Sehingga secara hukum AMDAL tersebut cacat.”
Namun pihak manajemen PLTU menampik semua tuduhan tersebut. Mereka mengklaim bahwa kegiatannya tidak mengancam lingkungan. Chairman CHEC Sung Qingsong kala itu mengatakan bahwa PLTU tersebut sangat memerhatikan kelestarian lingkungan sekitar. Meski sempat ada resistensi dari warga, namun menurut Qingsong, mereka telah sepakat menerima keberadaan PLTU tersebut.
“Kita sudah mendengar pendapat dari warga terkait proyek ini, warga memperhatikan apakah PLTU ini ramah lingkungan, dan mereka melihat sudah cukup baik,” tutur Qingsong. “Kita sudah menunjukkan bahwa kita menerapkan standar yang baik dan tinggi. Itu dinilai sudah cukup bagus oleh Pemprov Bali dan juga warga setempat. Mayoritas warga setempat mendukung proyek kami, kami sangat berterima kasih kepada mereka. Di masa mendatang kami juga akan terus menerus memperhatikan masalah lingkungan di sekitar PLTU.”
Pemerintah Kabupaten Buleleng mengaku tidak bisa berbuat banyak merespons keluhan warga. Mulyadi, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Buleleng, mengatakan PLTU Celukan Bawang dipaksakan beroperasi sebelum adanya kejelasan mengenai pengolahan limbah. Menurutnya, pihak DPRD sudah meminta agar peresmian PLTU tersebut ditunda sampai pihak kontraktor menyelesaikan persoalan pengelolaan limbah. DPRD sendiri sebelumnya pernah berusaha memanggil jajaran direksi PLTU, namun permintaan tersebut tidak ditanggapi. Tumpang tindih birokrasi juga menjadi permasalahan tersendiri. DPRD Buleleng mengaku tidak bisa berbuat banyak lantaran izin AMDAL dan perizinan lainnya dikeluarkan langsung oleh Pemprov Bali.
“Andaikan kita bisa, akan kita pelajari. Karena PLTU berdalih sudah dilakukan kajian dan mereka mengklaim tidak ada dampak [lingkungan],” kata Mulyadi.
Meski belum ada data dan penelitian terkait dampak kesehatan karena beroperasinya PLTU Celukan Bawang, beberapa warga mengeluhkan masalah kesehatan pernafasan akibat asap pembakaran dan debu batu bara. Salah seorang warga yang tinggal di dekat PLTU, Karimun, mengaku seluruh anggota keluarganya menjadi sering sakit demam dan sesak nafas.
“Sejak ada PLTU, anak saya hampir tiap bulan sakit,” kata Karimun. “Padahal dulu ia jarang sakit. Saya sendiri kerap sesak nafas.”
Sudah jatuh tertimpa tangga, kini warga harus dihadapkan dengan rencana pembangunan fasilitas pembangkit tambahan sebesar 2×330 megawatt yang akan dimulai tahun ini. Rencana pembangunan pembangkit tahap kedua tersebut sebenarnya tidak masuk dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional 2017-2026 dan Rencana Ketenagalistrikan Daerah Bali. Meski tidak tercantum dalam RUPTL, sejak April 2017 Pemprov Bali telah mengeluarkan izin lingkungan hidup untuk proyek konstruksi pembangkit listrik.
Para aktivis berpendapat bahwa pembangunan pembangkit listrik baru tidak diperlukan di Bali, karena jika dikalkulasi, Pulau Dewata telah mengalami surplus listrik. Pada 2017, PT PLN Distribusi Bali mencatat beban puncak pemakaian listrik pada angka 860 megawatt. Sementara pasokan listrik yang tersedia mencapai 1.280 megawatt. Itu berarti terdapat surplus listrik sebesar 420 megawatt.
Indonesia adalah penghasil batu bara peringkat keenam di dunia dengan angka 392 juta ton per tahun pada 2015, atau 6.7 persen dari total produksi batu bara dunia. Pada 2017, konsumsi batu bara domestik mencapai 97 juta ton per tahun. Angka itu jauh di bawah target pemerintah yang mencapai 121 juta ton per tahun.
Peringkat pertama produksi batu bara dunia diduduki oleh Tiongkok dengan jumlah produksi 3.747 juta ton atau 47,7 persen dari total produksi dunia. Tiongkok pernah mengalami bencana asap terparah akibat pembakaran batu bara pada 2013. Cina mencatat angka kematian akibat batu bara mencapai 241.500 jiwa pada 2016. Pada 2017, pemerintah Cina akhirnya sepakat mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan membatalkan rencana pembangunan 103 PLTU batu bara.
Alih-alih belajar dari kesalahan Cina, pemerintah justru berencana menggenjot pasokan listrik lewat pembangunan PLTU baru. Indonesia saat ini memiliki lebih dari 40 PLTU yang beroperasi di Jawa, Bali, dan Sumatera. Dan sejak 2017, pemerintah telah memiliki program penyediaan listrik sebesar 35.000 megawatt yang ditargetkan rampung pada 2025. Saat ini program tersebut telah mencapai 48 persen. Dari program tersebut, pemerintah lebih memprioritaskan untuk membangun PLTU karena dinilai membutuhkan waktu lama untuk proses konstruksi. Hingga 2025, PT PLN menargetkan untuk membangun 35 PLTU baru di Jawa hingga Papua.
PLTU batu bara, menurut statistik PT PLN, mendominasi pasokan listrik di Indonesia hingga mencapai 21.000 gigawatt atau sebesar 40 persen dari total kapasitas listrik di Indonesia yang mencapai 52.9 gigawatt.
Beroperasinya PLTU Celukan Bawang dan rencana ekspansi pembangkit tersebut juga bertentangan dengan rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menargetkan penggunaan energi baru terbarukan sebanyak 20 – 25 persen pada 2025. Namun berdasarkan catatan ESDM, penggunaan energi terbarukan baru mencapai 7 hingga 8 persen.
Alasan lain mengapa PLTU lebih diprioritaskan adalah karena harga bahan bakunya lebih murah dan pemrosesannya lebih mudah. Namun ada harga yang harus dibayar mahal akibat penggunaan batu bara. Batu bara adalah energi paling kotor yang pernah dikenal oleh manusia yang dapat mengganggu kesehatan dan mencemari udara, laut, dan tanah sejak awal ditambang, diproses, hingga saat digunakan. Limbah pembakaran batu bara (fly ash dan bottom ash) mengandung senyawa kimia berat seperti merkuri, arsenik, uranium, thorium, dan logam berat lainnya yang juga menyebabkan hujan asam. Dari penelitian Universitas Harvard dan Greenpeace penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik di Indonesia menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahun.
Tonton dokumenter panjang VICE yang membuktikan dampak merusak tambang batu bara:
Ketika senja dengan pelan merayap menyelimuti pantai Celukan Bawang, dari atas perahu saya bisa melihat deretan pohon kelapa yang mengelilingi PLTU Celukan Bawang. Kubah berwarna biru dengan cerobong yang mengeluarkan asap putih yang menjadi simbol industrialisasi, terlihat amat kontras dengan pemandangan alam sekitar. Pandangan Mangku terpaku pada gumpalan asap yang semakin membumbung tinggi. Matanya menatap kosong, seolah beragam pikiran berkecamuk di kepalanya.
“Kami hanya ingin menghirup udara bersih,” kata Mangku pada saya, tak lama setelah saya undur diri. “Kami tidak hidup di sini hanya untuk menghirup asap batu bara.”