Ketika miliarder Rusia Roman Abramovich membeli Chelsea Football Club pada musim panas 2003, Steven Gerrard masih 23 tahun. Gerrard waktu itu berhasil membantu klubnya Liverpool F.C memenangkan FA Cup, Piala Liga, dan Piala UEFA. Oleh penduduk Kota Liverpool, Gerrard dianggap pahlawan. Sayangnya, beban yang dia panggul demi Liverpool untuk merebut kembali trofi yang didambakan klubnya—piala Liga Champions dan, terpenting, Premier League—terlalu berat menggelantungi pundaknya.
Musim berikutnya, Jose Mourinho datang sebagai manajer Chelsea, menandai era baru sepakbola Inggris yang bisa disingkat dalam tiga kalimat pendek berikut: “Sepakbola berubah. Masyarakat berubah, dan dunia juga ikut berubah.” Aliran modal besar menguasai kancah persepakbolaan Inggris. Imbasnya, klub menggelontorkan banyak uang demi memastikan mereka jadi kampiun di level manapun. Begitu juga para pemain. Mereka kini tak cuma mengincar trofi tapi juga klub berani memberi gaji selangit.
Videos by VICE
Chelsea adalah klub yang bergelimang uang dan Mourinho ingin Gerrard masuk dalam skuadnya. Kebetulan, Gerrerd merindukan trofi yang apesnya lepas terus dari genggaman klubnya. Bergabung dengan Chelsea adalah langkah yang logis. Cuma ada satu hal menghalanginya: bagaimanapun, Gerrard adalah pendukung Liverpool sejati.
Tegangan antara ambisi pribadi dan kesetiaan terhadap (klub) kota kelahiran—atau dalam skala yang lebih luas, antara kapitalisme global versus gaya hidup yang lebih komunal merupakan inti dari Make Us Dream, dokumenter kiprah Steven Gerrard sebagai punggawa Liverpool. Film dokumenter ini juga menggambarkan Gerrard sebagai simbol kebanggan sebuah kota yang amat emosional. Gerrard merupakan sesosok pahlawan yang merasakan tanggung jawabnya menjadi tumpuan klub sebagai beban sekaligus kebahagiaan hakiki.
Pada awalnya, hanya ada sepakbola. “Dulu main sepakbola itu cuma buat senang-senang,” kata Gerrard. Suaranya mengiringi gambar rekaman lawas yang menampilkan seorang bocah mengecoh lawannya satu persatu, mencetak gol dan mengangkat trofi. Ujung rambutnya begitu rendah. Muka Gerrard tampak fokus dan penuh ambisi. Pelatihanya berkata karir Gerrard bakal panjang. Tapi saat itu, Gerrard belum menganggap pujian pelatihnya serius.
Sepupu Gerrard, Jon-Paul, tewas bersama 95 pendukung Liverpool lainnya dalam tragedi Hiilsborough, yakni kericuhan pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nothingham Forest pada 1989. Gara-gara insiden itu, Liverpool begitu terguncang. Siapa sangka peristiwa berdarah itu menjadi salah satu penanda datangnya era baru komersialisasi sepakbola di daratan Inggris. Premier League dimulai tiga tahun kemudian, di tengah derasnya aliran uang dari televisi. Sky Sports TV jadi penguasa Liga Inggris. Sepakbola kembali berubah, dan Manchester United berada di garda depan perubahan itu. Liverpool, di sisi lain, selalu kehabisan bensin dalam perebutan mencapai posisi tertinggi di Liga Utama sepakbola Inggris.
Gerrard kala itu masih bercokol di tim yunior Liverpool. Darah muda mengalir deras di tubuhya. Lelaki kelahiran Merseyside iuyi mentackle lawannya seperti dengan nafsu membunuh yang tinggi. Di luar lapangan, Gerrard adalah pribadi yang tenang. Namun, begitu kembali masuk lapangan, matanya langsung mencari ancaman terbesar timnya dan segera menggasaknya. “Kalau pemain lawan yang paling berbahaya saya sikat duluan, sisa pemain lawan akan tahu apa yang saya bisa lakukan.” kelihaian mengolah bola kerap disejajarkan dengan Michael Owen. uniknya, keduanya berteman karena sama-sama memiliki talenta yang luar biasa.
Saat menginjak usia 18 tahun, Gerrard memulai debut pertamanya “lautan manusia..jantung kalian seperti mau copot..seram sekali.” ungkapnya. Leeat penggunaan cerdik rekaman pertandingan Gerrard, Make Us Dream berhasil menyuguhkan pertandingan sepakbola dengan sangat nyata. Kecepatan Gerrard da tackling-tackling yang dia lancarkan terekam dengan jelas. Jangan lupa, ini pertandingan tim senior. Yang berlaga adalah pemain-pemain dewasa dan mereka tak main-main di lapangan. “Ada kebencian di klub lawan,” katanya Gerrard tentang lawannya.
Sekian tahun berlalu, Gerrard mulai menyimpan pertanyaaan apakah dirinya bakal bisa jadi kampiun Premier League dan Liga Champions kalau Liverpool tak cukup punya uang untuk bersaing dengan klub lain. “Pikiran macam ini berkali-kali membunuh saya dulu,” katana. Kecemasan terus menghantui Gerrard. Keterikatannya dengan kota Liverpool dan bakatnya adalah kutukan sekaligus anugrahh bagi Gerrard.
Di tahun pertama Mourinho menjadi manajer Chelsea, pers Inggris getol menurunkan berita bahwa Mourinho menginginkan Gerrard di Chelsea dan karena Mourinho bisa menjanjikan trofi-trofi yang diincar Gerrard seandainya dia membelot ke The Blues, Gerrard nyaris bisa dipastikan pindah ke skuad The Special One.
Namun, lagi-lagi Mourinho tak mendapatkan apa yang dia mau. Kali ini penghalangnya adalah Liga Champions 2005 dan mukjizat yang diperlihatkan skuad The Reds di laga pamungkasnya. Bagi Gerrard laga ajaib itu mengangkat beban yang menggantung di puncaknya.
Mulanya, laga itu nyaris jadi mimpi buruk Liverpool. Gerrard cs. Tertinggal tiga gol tanpa balas dari Milan. Akan tetapi, memasuki babak kedua, Gerrard—tentu saja—melesakkan satu buah gol ke gawang Dida. Setelah menciptakan gol pembuka bagi klubnya, Gerrard berlari ke tengah lapangan, berbalik memandang pendukung Liverpool dan mengangkat tangan. Pesannya jelas: Liverpool belum habis dan keajaiban adalah sebuah keniscayaan.
Dan terjadilah keajaiban itu, Liverpool menyamakan kedudukan di babak kedua lantas menang drama adu pinalti. Gerrard mengangkat trofi Liga Champions itu. Apa yang ikut terangkat malam itu adalah beban di pundaknya. Dalam Make Us Dream, kita diperlihat foto Gerrard di Istanbul malam itu. Dia berada di tengah kerumuman pendukung Liverpool. Gerrard memeluk mereka dan begitu juga sebaliknya.
Raut muka Gerrard malam itu tak akan bisa dilupakan. “Aku hilang,” katanya. Matanya seolah membalik ke belakang. Nyaris relijius proses lepasnya emosi dari tubuh Gerrard. Malam itu, Gerrard sampai ke pelukan Tuhan yang mewujud dalam ribuan suporter Liverpool yang jauh-jauh datang ke Istanbul. “Aku rasa tak ada satupun orang di bumi merasakan apa yang sedang aku rasakan malam itu,” ungkap Gerrard. Susah untuk tidak mengamini pernyataan ini, bahkan saat John Arne Riise meloncat ke arah Gerrard dan berteriak, “I fucking love you.”
Momen ajaib itu harus berlalu, Gerrard mesti kembali ke Inggris, mengakrabi dua fakta pahit ini: uang kini jadi raja di Premier League dan manajer Liverpool kala itu, Rafa Benitez, sepertinya tak sabar melego dirinya. Chelsea beserta Mourinho di sisi lain menunggu kepindahannya. Akhirnya, Gerrard mengumumkan akan pindah—keputusan yang ditanggapi dengan geram oleh sebagian pendukung Liverpool. Berbagai julukan miring—pembelot, pengkhianat sampai Judas—langsung melekat pada dirinya. Jersey Gerrard ramai-ramai dibakar dan ancaman dilayangkan kepada Gerrard. Di saat yang sama, program diskusi radio sedang tumbuh subur di kancah sepakbola Inggris. Dalam program-program ngobrol itulah, kebencian terhadap Gerrard dipamerkan secar gamblang oleh para suporter.
Agen Gerrad, lelaki yang bernai ngomong blak-blakan asal Skotalndia, Struan Marshall, mengaku tak sedikitpun tergiur bertukar posisi dengan kliennya, walau Gerrard sudah pernah mengangkat trofi Liga Champions, lambang supremasi tertinggi antar klub di benua biru. “Itu yang terlintas dalam kepala saya saat menonton seragam Gerrard dibakar di TV.”
Beruntung, masih ada Paul, ayah Gerrard. Dia kembali mengingatkan putranya akan jati diri dan asalnya. Dalam nasihatnya, Paul memeringkatkan Gerrard dirinya tak akan dicintai sebagaimana dia dicintai di Liverpool. Ucapan inilah menyentak Gerrrad. Dia lalu menganulir rencana kepindahannya ke Chelsea lantas menandatangani kontrak baru dengan Liverpool. Tak henti-hentinya Gerrard berterima kasih kepada sang ayah yang telah mencegahnya mengambil keputusan sembrono.
Sejak saat itu, sebuah pola baru muncul dan terus berulang sepanjang karir Gerrard di Liverpool. Berikut komponen pembentuk tersebut: Liverpool: kota yang sarat dengan emosi dan padat dengan penduduk yang menganggap diri mereka emosional. Liverpool FC: kendaraan bagi emosi tersebut. Dan Steven Gerrard: lelaki yang ditugasi mengondol trofi yang didambakan pendukung Liverpool, seorang lelaki yang penuh emosi hingga kita kadang takut Gerrard habis dilumat oleh emosinya sendiri.
Musim demi musim berlalu. Gerrard masih bermain dengan brilian. Dia menanggung rasa sakit sakit dan beban. Manchester City dibeli bilyuner Abu Dhabi. Dan sekali lagi, Liverpool makin jauh dari impiannya jadi kampiun Premier Lague. Namun, di tengah kondisi ini, Gerrard menjelma menjadi jimat bagi skuad muda racikan Brendan Rodgers.
Di awal musim kompetisi 2013/14, harapan memenangi Premier League sepertinya bakal terwujud. Gerrad lagi-lagi tenggelam dalam emosinya, terobsesi satu trofi yang belum dia menangkan, trofi sama yang sudah diincar klub dan pendukungnya selama dua dekade. Liverpool mempecundangi Manchester City. sekelar pertandingan itu, Gerrard mengumpulkan skuad The Reds. “kesempatan ini tak boleh dilewatkan,” begitu katanya. Bagi skuad muda Liverpool, Gerrard adalah sosok pahlawan dan sumber inspirasi. Sementara vagi Gerrard, pasukan muda Liverpool adalah sekumpulan pesepakbola yang bisa membantunya mengenyahkan beban dari pundak.
Demi trofi yang sudah di depan mata, Gerrard rela bermain sambil dirongrong rasa sakit hebat. Dua hari sebelum laga krusial kontra Chelsea, tubuhnya emoh digerakkan. Gerrard menerima suntik epidural di tulang belakang dan mengonsumsi segepok painkiller. Malang, saat pertandingan maha penting berlangsung, baik suntik epidural atau painkiller itu tak bisa membantunya menghalau bola. Chelsea mencetak gol dan menang.Kandas lagi harapan Liverpool jadi kampiun Premier League.
“Aku berpikir ‘Ya Tuhan, berakhir sudah semuanya,’” ujar Alex, istri Gerrard. “Dia bungkam setelah pertandingan itu.” Hari itu untuk beberapa lama masih membayangi Gerrard. Bahkan kini, pahitnya hasil akhir pentandingan itu kerap hinggap tanpa disuruh di benak Gerrard. Kita tahu tahun itu Manchester City keluar sebagai juara, Liverpool finish di posisi kedua. Dan Gerrard mengepak peralatannya serta cabut ke LA Galaxy.
Pada akhinrnya, justru Mourinho—orang bernafsu memboyong Gerrard dari Liverpool ke Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid, lelaki yang menyodorkan uang dan peluang meraih trofi di muka Gerrard—yang menyadari kenapa Gerrard memilih tetap di Liverpool. “Gerrard punya karir yang luar biasa. Dia juga memiliki perasaan yang luar biasa dengan pendukung Liverpool,” ujar Mou. “Saya rasa perasaan itu masih ada hingga kapanpun.”
Make Us Dream, sebuah dokumenter luar biasa tentang emosi yang amat kuat, seolah ingin berkata: kadang sesedikit apapun trofi yang kita menangkab bagi klub kota kelahiranmu dan pendukungnya, nilainya bakal jauh lebih berharga daripada puluhan lainnya yang kau raih bersama klub lain—sebuah pesan yang alpa kita ungkapkan kepada Gerrad saat masih merumput bersama The Reds. Kini, setelah Gerrard melakoni karir baru sebagai pelatih Glasgow Rangers, mungkin saja dia akan melahirkan nilai-nilai serupa ke generasi berikutnya.
Follow penulis artikel ini di akun @oscarrickettnow