Kata Siapa di Indonesia Tak Bisa Menikah Beda Agama?

Katanya sih cuy, “Tuhan memang satu, kita yang tak sama.” Tapi, kalau Tuhan memang satu nih ya, kenapa cinta… eh nikah beda agama sulit diwujudkan di Indonesia?

Setiap agama punya rumusan masing-masing tentunya soal nikah beda agama. Di Islam, penafsiran soal boleh atau tidaknya bermacam-macam. Ada penafsiran ulama yang melarang mutlak pernikahan beda agama; ada yang memperbolehkan secara bersyarat yang membolehkan laki-laki Islam menikahi perempuan dari golongan ahlul kitab (Nasrani, Yahudi); Ada pula ulama yang menafsirkan bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan.

Videos by VICE

Nah, tidak jarang salah satu tafsir kemudian dijadikan argumentasi hukum seperti misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibuat berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 1990. Di dalamnya dijelaskan bahwa pernikahan dianggap batal jika pasangan berbeda agama.

Sementara itu dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 tidak ada pernyataan eksplisit mengenai pernikahan campuran (agama), yang ada hanya penjelasan soal pernikahan campuran kewarganegaraan. Biasanya, argumentasi ditentangnya pernikahan beda agama adalah dengan merujuk pada penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Baiklah, untuk mengetahui apakah sebetulnya pernikahan beda agama di Indonesia mungkin dilakukan… Kami bertanya pada aktivis LSM Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, yang hingga kini telah memberikan lebih dari 3000 konseling bagi pasangan beda agama dan telah berhasil memfasilitasi sekitar 827 pasangan beda agama di Indonesia agar menikah secara legal di Indonesia.

Pernikahan Beda Agama dalam Hukum Indonesia

Selama ini kita menelan bulat-bulat bahwa hukum di Indonesai tidak memberikan celah bagi pernikahan beda agama. Nyatanya?

“Secara konstitusi sangat memungkinkan. Misalnya dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974, itu kan tidak ada pelarangan soal pernikahan beda agama,” kata Ahmad Nurcholish saat dihubungi VICE Indonesia. “Di sana hanya diatur soal bagaimana pernikahan itu dilaksanakan, yakni harus sesuai dengan hukum agamanya masing-masing,”

Selain UU Perkawinan, dasar hukum soal perkawinan beda agama juga mengacu pada UU Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999. Di sana disebutkan paling tidak ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi atau dikurangi oleh siapapun. Di antaranya adalah soal memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan.

Ahmad berpendapat aturan UU itu secara konstitusional menjamin tidak ada halangan bagi pasangan beda agama menikah. Sementara itu Ahmad menerangkan, selain dari perspektif legalitas hukum, dalam perspektif keagamaan, perkawinan beda agama mungkin dilaksanakan. Jadi menurutnya, meskipun pandangan mayoritas bahwa hampir semua agama melarang. Menurut riset yang Ia lakukan, pada 2005 dan 2010 bekerjasama dengan Komnas HAM, beberapa agama memberikan ruang bagi pernikahan beda agama melalui agamawan yang menafsirkan bahwa pernikahan beda agama bisa dilaksanakan.

Apakah Pernikahan Beda Agama Legal di Indonesia?

Menurut Ahmad, pasangan beda agama, bisa menikah di Indonesia. Tapi praktek di lapangan lah yang yang membuatnya jadi sesuatu yang sulit sebab yang terjadi di lapangan tak serta-merta sesuai dengan konstitusi. Misalnya pasangan itu Islam-Kristen atau Islam-Katolik. Mereka bisa menikah bahkan dengan dua cara sekaligus: secara Islam dengan akad nikah dan pemberkatan secara Kristen.

Selanjutnya adalah tugas negara untuk mencatat pernikahan mereka. Dalam hal ini, yang jadi masalah adalah, tidak semua Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mau mencatat pernikahan pasangan tersebut. Kebanyakan petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya paham bahwa pernikahan beda agama dilarang. Hal tersebut bisa jadi datang dari ketidaktahuan atau bias ideologi keagamaan yang dianut oleh petugas.

“Ini persoalan ketidaktahuan aparat hukum. Mereka sendiri sebagai penyelenggara negara tidak memahami konstitusinya sendiri. Sehingga mereka tidak mengakomodasi pernikahan beda agama,” jelas Ahmad ketika dihubungi VICE Indonesia. “Hal itu diimplementasikan olehnya ketika melayani pelayanan publik,”

Prosesi Pernikahan

Dari ratusan pasangan yang pernah melakukan konsultasi dan dibantu pernikahannya oleh Ahmad, 99 persen melaksanakan kedua prosesi pernikahan dalam kedua agama yang dianut masing-masing pasangan. Sebagai contoh, Ahmad menjelaskan bahwa pasangan yang beragama Islam dan Kristen melaksanakan akad nikah dan juga pemberkatan. Bahkan kalau pasangan Islam-Kristen, prosesi bisa dilaksanakan di tempat yang sama, entah di rumah atau di Gedung. Kalau Katolik, pemberkatan pasti dilaksanakan di Gereja, lalu untuk akad nikah dilaksanakan setelahnya, bisa di hari yang sama maupun di hari berbeda.

Hal yang menarik adalah jika salah satu pasangan yang hendak menikah beragama Katolik. Entah Islam dengan Katolik, Buddha dengan Katolik, proses pencatatan jauh lebih mudah. Karena pada umumnya gereja Katolik sudah punya “link” ke Catatan Sipil sehingga mereka juga membantu pencatatannya. Tentunya dengan melakukan prosesi pernikahan Katolik.

Mengurus Dokumen

Tenang, dokumen yang harus disiapkan tidak jauh beda dengan pernikahan pasangan seagama. Fotocopy KTP kedua calon mempelai; fotocopy KTP kedua orang tua masing-masing mempelai; fotocopy KTP kedua saksi; fotocopy Kartu Keluarga; fotocopy akta lahir; surat keterangan status pernikahan dari Kelurahan (lajang, janda, atau duda); surat restu orang tua, surat model N1, N2, N3, N4 dari Kelurahan; pas foto 4×6 berwarna berdampingan; plus kopi surat baptis (bagi Kristen/Katolik).

Daerah yang Memungkinkan Pencatatan Pernikahan Beda Agama

Dalam informasi yang disampaikan oleh Ahmad, ada beberapa daerah yang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipilnya bersedia mencatatkan pernikahan beda agama. Beberapa daerah tersebut seperti Kota Yogyakarta, Kota Salatiga, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Sementara daerah lainnya sulit. Jadi kalau ada pasangan beda agama yang menikah, meskipun sudah disahkan oleh agamawan, tetap ada kemungkinan Negara, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, menolak mencatatkannya. Mereka pasti merekomendasikan agar pasangan mempelai menyamakan dulu agama mereka di KTP.

“Masalahnya, sekarang ini pencatatannya berdasarkan domisili KTP. Kalau mereka ingin bisa dicatat di Yogya, Salatiga, Surabaya, atau Denpasar, maka salah satunya harus punya KTP daerah tersebut,” ujar Ahmad.

Padahal sebelumnya, pencatatan dilakukan berdasarkan domisili rumah ibadahnya tempat pernikahan dilangsungkan, bukan domisili di KTP. Sekarang kebijakannya telah berubah. Nah bagi pasangan yang tidak punya KTP domisili kota-kota tersebut, Ahmad menyatakan mereka tidak punya pilihan lain selain mengganti domisili KTP, atau menikah di luar negeri.

Legalitas Akta Nikah

Setelah dilakukan pencatatan, pasangan akan mendapatkan akta nikah. Tentunya pernikahan yang dicatatkan itu adalah pernikahan secara non-Islam. Karena, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya punya wewenang untuk mencatat pernikahan di luar cara Islam. Kalau secara Islam kan jalurnya ke KUA. Hanya saja, KUA tidak menerima pernikahan beda agama. Satu-satunya kesempatan, yaitu pernikahan di luar Islam.

Ahmad menjelaskan bahwa dalam akta nikah, tidak tertulis agama pasangan. Nah dengan akta nikah itu mereka bisa membuat Kartu Keluarga, Akta Lahir anak, dan seterusnya. Perlu dicatat nih, buku nikah hanya dikeluarkan oleh KUA dan hanya bisa didapatkan jika kedua mempelai beragama Islam. Sementara itu akta nikah umumnya dimiliki pasangan non-Islam. Meskipun salah satu mempelai Islam, dalam pernikahan beda agama mustahil mendapatkan buku nikah.

“Memang hanya cukup satu bukti pencatatan. Jadi kalau sudah punya akta nikah, mereka tidak akan bisa mengurus lagi di KUA, begitu juga sebaliknya. Karena persyaratan dokumennya sama,” ujar Ahmad.

Menikah di Luar Negeri

Jika mencatatkan pernikahan di Indonesia tidak memungkinkan, ada beberapa opsi seperti menikah di luar negeri. Beberapa negara seperti Singapura, Australia, dan Hong Kong jadi destinasi utama orang Indonesia yang menikah beda agama. Biaya pernikahan lebih mahal? Jelas lah! Kebayang kan perjuangan yang harus dihadapi pasangan beda agama? Salah satunya, Sabrina Sinaga yang April 2017 lalu menikah di Singapura.

“Alasan milih Singapura karena setahun sebelumnya, salah satu teman kami baru menikah di Singapura. Jadi, semua info yang kami dapat masih segar dan jelas,” kata Sabrina ketika ditemui VICE Indonesia. “Dibandingkan negara lain, Singapura masih cukup familiar dan tidak terlalu jauh dari Indonesia,”

Dokumen yang harus Sabrina siapkan di Indonesia pun ternyata cukup sederhana seperti persiapan pernikahan manapun, yakni menyiapkan dokumen N1 sampai N6 (dokumen N1 sampai N4 bagi pasangan yang masing-masing masih lajang, bukan janda atau duda).

Sabrina dan pasangan pun mendaftarkan diri di Registry of Marriage, Singapura. Ternyata antrean pernikahan cukup panjang.

“Kayaknya banyak pasangan Indonesia yang nikah di sana, gue daftar di bulan Januari, baru dapat tanggal pernikahan bulan April,” ujar Sabrina.

Masing-masing negara memiliki aturan berbeda soal pelaksanaan pernikahan. Sabrina jelas harus memenuhi peraturan menikah yang ditetapkan Registry of Marriage (ROM) Singapore. Setelah syarat yang relatif sederhana dipenuhi, maka pasangan bisa menikah. Dari ROM Singapura, Sabrina mendapatkan Certificate of Marriage yang harus dilaporkan ke KBRI di Singapura sebelum pasangan kembali ke Tanah Air.

Certificate of Marriage tersebut kemudian dicek oleh pihak KBRI untuk kemudian diberikan surat pernyataan oleh KBRI bahwa pasangan tersebut telah sah menikah di Singapura (atau di negara lain). Dari KBRI, pasangan hanya tinggal mengurus pencatatannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di kota tempat mempelai (salah satu) berasal dengan membawa Certificate of Marriage dan surat pernyataan kebenaran laporan nikah di Singapura dari KBRI. Hanya menunggu sekitar tiga hari, surat laporan pernikahan bisa diambil.

Untuk semua urusan administratif itu, Sabrina dan pasangannya mengeluarkan biaya sekitar SGD$380 (Rp3,8 juta). “Tapi harganya beda-beda, kalau menikah di hari kerja bisa lebih murah,” katanya.

Secara proses legalitas, pernikahan beda agama tidak sulit. Tentu asal mau berjuang lebih. Artinya berjuang saling bertoleransi antar pasangan, memperjuangkan pernikahan di keluarga masing-masing di kultur yang relatif belum bisa menerima nikah beda agama, tentu dengan ongkos nikah yang lebih mahal, dan tahapan yang lebih rumit. Belum lagi cibiran dari masyarakat.

“Saya dari kecil enggak pernah suka dengan pengelompokan agama. Agama enggak menjadi jaminan untuk seseorang menjadi baik di mata siapapun,” kata Sabrina. “It’s not an easy decision to make, but hopefully, that would bring more peace on earth.”