Kebebasan dari Mesin Fotokopi: Telaah Singkat Budaya Zine Indonesia

Dally Anbar sangat membenci akun-akun Twitter yang berdalih menyebarkan informasi tapi berujung pada promosi produk. Alih-alih menumpahkan rasa frustrasinya di jejaring sosial, dia mengekspresikan pendapatnya melalui medium yang sempat difatwa banyak pakar komunikasi bakal segera punah: zine cetak.

Pria asal Bandung ini adalah otak di balik Cucukrowo Mekgejin—zine yang memuat konten-konten humor serta berbagai isu terkait kota kelahirannya, Bandung, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat.

Videos by VICE

Melalui zine itu, Dally memuat pernyataan keras. “Atas nama kegaulan dan atas nama babat raweuy yang dicincang kejam oleh cicak penenun celana dalam, kami memutuskan [akun-akun Twitter] INFO-INFOAN ITU TRENDY anjiss!!”

“Ya karena saya pikir akun-akun tersebut garing dan cuma hits sesaat. Ketika orangnya mau disamperin, dia engga mau,” kata Dally saat ditanya lebih lanjut alasannya menyerang akun Twitter penuh promosi terselubung.

Walaupun hanya dicetak dalam format fotokopian, artikel di zine itu berhasil mengundang kontroversi di Bandung. Semakin bertambah alasan Dally mencintai format zine. Dia aktif memproduksi zine sejak 2010.

Dally memilih zine karena merasa itulah medium paling tepat buat menyampaikan ide secara murah dan bebas. Melalui zine, dia mampu menjelajahi ide-ide terliar. Pada akhirnya, kata Dally, seburuk-buruknya zine menurutnya tetap merupakan karya yang sangat mewakili sosok pembuatnya. Zine dengan tata letak buruk sekalipun dianggapnya jauh lebih jujur dibanding situs-situs dan akun di jejaring sosial.

“Saya mah selalu memegang teguh prinsip ‘bebas berbuat sesuatu asal bertanggung jawab.’ Jadi berpendapat apapun, membuat apapun, ya itu sah-sah saja di zine asalkan bertanggung jawab.”

Lantas pertanyaan selanjutnya, seandainya banyak pembuat zine di Indonesia meyakini kebebasan berkarya seperti Dally, akankah muncul karya yang berani menembus batasan norma sosial masyarakat?

Ternyata ada dan cukup berani. Setidaknya menurut saya.

Medio 2008, saya menemukan sebuah zine lokal khusus membahas kebiasaan shoplifting (mengutil) yang cukup gila. Isinya berupa pengalaman sang editor bertualang dari gudang ke gudang, mal ke mal untuk mengutil; mulai dari pernak-pernik hingga baju. Eits, jangan terburu melempar tudingan. Si editor percaya bahwa mengutil adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap korporasi besar yang menggurita.

Atau simak zine milik fotografer panggung asal Jakarta, Dinda Advena yang judulnya sedikit menggelitik dengan desain yang unik: Anak Perawan Djawa.

Terlahir di sebuah keluarga Jawa yang konservatif memicu Dinda merenungi pertanyaan penting berikut: apakah kedudukan perempuan dalam masyarakat harus selalu lebih rendah dibandingkan pria?

Berangkat dari kegelisahan tersebut dia mencurahkan idenya mendobrak kesadaran kolektif, bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk sejajar dengan lawan jenisnya.

“Saya hanya ingin menyuarakan ide untuk melawan diskriminasi dan stereotip buruk,” ujar Dinda yang tengah sibuk menyiapkan buku dokumentasi foto panggung karyanya.

Tidak cukup sampai di situ, baru-baru ini kolektif seni Penahitam yang berbasis di Malang, Jawa Timur baru saja merilis fanzine dengan tema Erotika, yang menelusuri sisi erotis manusia yang selama ini direpresi dan dianggap tabu oleh masyarakat.

Zine bukanlah bagian dari media mainstream dan tak akan pernah menuju ke arah sana. Kebanyakan orang pun masih heran saat menelaah lembaran demi lembaran hasil fotokopian yang dijilid staples; judul yang kadang absurd, topik yang bikin dahi menekuk, dan layout yang seolah-olah dikerjakan ala kadarnya.

Tapi begitulah zine. Publikasi ini tidak begitu banyak berevolusi sejak istilah ‘zine’ mencuat awal abad 20. Terbukti zine menjadi suatu corong komunitas maupun gagasan orang per orang menyuarakan ide-ide besar atau sekedar isu remeh-temeh. Tengok saja zine macam Riot Grrrl, Maximum Rock n Roll, Cometbus, atau Seperak—di skala lokal—yang sukses menjadi media penyambung lidah antar komunitas. Tak peduli dari mana asal si empunya, zine mampu melintasi ras, budaya, gender, dan bahkan kelas.

Tengok saja perhelatan Bandung Zine Fest yang digelar pada akhir Agustus lalu di daerah Gudang Selatan, Bandung. Penerbit dan pembuat zine dari Sumatera hingga Malaysia tumplek blek di acara tersebut. Tercatat lebih dari 40 penerbit zine dan buku independen turut andil meramaikan acara tersebut.

Deretan lapak tersebut mungkin sekilas tak ada bedanya dengan bazaar atau pasar tiban. Namun di balik itu, ada komunikasi yang berjalin-kelindan. Mereka tak cuma duduk berdagang, tapi juga bertukar ide, pengalaman, dan tentu saja, zine.

Yang menarik dari festival macam Bandung Zine Fest adalah, adanya perpustakaan zine di mana pengunjung diperbolehkan untuk menduplikasi maksimal tiga buah zine. Cukup dengan mengganti biaya fotokopi, pengunjung bisa membawa pulang zine incarannya. Antusiasme pengunjung cukup bagus, terbukti beberapa orang harus mengantre fotokopi.

Perpustakaan zine tersebut cukup lengkap. Entah berapa banyak judul yang ada di situ. Saya tak menghitungnya. Mata saya sudah cukup lebam menelusuri zine-zine dari 1990-an hingga era saat ini. Saya bahkan menemukan sebuah zine amatir buatan saya dan teman-teman pada 2008 yang dikopi sebanyak 10 buah saja saat diterbitkan.

“Bisa jadi jauh sebelum ribut-ribut soal hak cipta online, budaya zine sudah menerapkan copyleft atau anti-copyright. Walaupun belum ada kajian ilmiah yang menelaah hal tersebut,” kata Hilman Fathoni dari Creative Commons Indonesia, sebuah organisasi nirlaba asal Amerika Serikat yang memberi alternatif lisensi dalam menciptakan ide dan kreativitas.

Seperti yang diutarakan Hilman, mayoritas penerbit zine tak masalah jika hasil karyanya dikopi ulang. Bahkan beberapa justru mengimbau pembaca untuk menggandakannya lagi, dengan catatan tidak untuk dikomersilkan.

Dally salah satunya. Dia mengunggah zine buatannya dalam format pdf agar bisa diunduh dan disebarluaskan dengan leluasa.

Saya tergelitik bertanya pada Dally, apa yang dia rasakan bila melihat banyak orang menggandakan karyanya tanpa meminta izin.

“Saya mah seneng-seneng aja karena merasa diapresiasi,” ujarnya sumringah.