Actualidad

Kebiasaan Selfie Ngawur di Galeri Merugikan Kancah Seni Global Senilai Rp22 Miliar

Pengunjung pameran seni rupa selfie.

Selfie punya peranan yang kompleks dan terus berubah dalam kehidupan manusia modern. Bagi sejumlah orang, selfie adalah aib kehidupan modern. Bagi sebagian lainnya, selfie merupakan sebuah perlawanan kaum feminis.

Adapun bagi Cindy Sherman dan Richard Prince, selfie tak lain dan tak bukan adalah bentuk seni kontemporer yang bonafid. Ironisnya, sejumlah fakta juga menunjukkan kebiasaan swafoto secara serampangan di galeri dapat menjadi musuh terbesar kancah seni saat ini.

Videos by VICE

Awal November 2018, empat anak perempuan muda pengunjung sebuah pusat seni internasional di Rusia, menghancurkan sejumlah karya Salvador Dalí dan Francisco de Goya saat mereka menyenggol sebuah tembok buatan saat berusaha ber-swa foto, seperti yang diberitakan oleh Artsy reports.

Perwakilan Kementerian Dalam Negeri Rusia, Irina Volk, mendeskripsikan empat perempuan tersebut sebagai pengunjung “yang bersikap kurang baik” dan menggarisbawahi perbuatan mereka merusak etsa dari seri lukisan Goya dari tahun 1799 “Los Caprichos” dan karya Dali yang terinspirasi oleh etsa itu. Rumah lelang Christie’s pernah memasang harga etsa lain dari seri Los Caprichos antara Rp5,8 sampai Rp8,8 miliar. Sementara, interpretasi karya Goya oleh Dali pernah terjual dalam sebuah lelang dengan harga $22.500 atau setara Rp330 juta.

Ini jelas bukan kejadian pertama para maniak selfie merusak sebuah karya seni penting. Tahun lalu, pengunjung pameran artis Hong Kong Simon Birch di 4th Factory di LA menyebabkan kerusakan senilai $20.000 (atau sekitar Rp293 juta) lantaran jatuh “terhuyung ke belakang menimpa barisan ukiran yang ditempatkan pada sekumpulan alas, dan membuatnya jatuh satu persatu seperti domino” ketika sedang berusaha mengambil selfie di depan instalasi berjudul Hypercaine, seperti yang dilaporkan oleh Observer.

Tak cuma itu, pada 2016, patung Dom Sebastian—penguasa Portugal antara 1557 hingga 1578, “hancur berkeping-keping setelah lelaki 24 tahun dilaporkan menjatuhkannya saat berusaha memanjat patung itu untuk berswafoto,” seperti diberitakan ” ArtNews reported. (Kami belum menemukan nilai pasti karya seni ini, tapi layaknya patung ” Ecce Homo” dari Spanyol, nilainya pasti sangat tinggi).

Di tahun yang sama, sejumlah pemburu selfie merusak patung Herkules Italia yang bersejarah (Rumah lelangSotheby’s memperkirakan harga patung sejenis antara Rp2,2 miliar hingga Ro3,6 miliar). Lalu pada 2014, seorang mahasiswa Italia tak sengaja menghancurkan tiruan patung Greco-Roman kuno berjudul The Drunken Satyr saat mencoba duduk di atas pangkuan patung tersebut (Oleh rumah lelang Christie’s, patung serupa dinilai berharga antara Rp102 juta hingga Rp146 juta).

Total, selama empat tahun terakhir ini, kerusakan karya seni karena sejumlah orang ceroboh yang ingin berswafoto mencapai angka Rp22 miliar lebih—itupun masih hitungan kasar yang konservatif banget. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, sejumlah museum mulai melarang penggunaan tongkat selfie. Hanya saja, akankah peraturan macam ini mengerem hasrat pengunjung museum mengambil selfie di depan karya-karya yang bersejarah?

Sayangnya, gagasan kembali ke kancah seni yang lebih sopan dan teknofobik, memaksa pengunjung seni cuma mondar-mandir di depan karya seni dan (sok-sok) menunjukkan apresiasi juga tidak akan efektif. Kecerdasan buatan benar-benar tengah menaklukan kancah seni global. Perangkat online seperti Google Art and Culture app, membantu penggunanya menemukan kembarannya dalam bentuk karya seni terkenal, sukses membuka akses terhadap banyak karya seni bersejarah bagi publik yang lebih luas.

Namun, kita tak bisa begitu saja mengesampingkan “korban-korban” para pencari spot selfie artsy sepanjang satu dekade terakhir ini. Atau setidaknya, kita bisa belajar cara berswafoto yang aman di depan karya seni bersejarah dari Beyoncé dan Jay-Z dalam videoklip lagu “Apeshit.”

Artikel ini pertama kali tayang di GARAGE.