Pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu Perdana Menteri Australia Malcom Turnbull di atas Kapal Induk USS Intrepid yang tengah bersandar di Kota New York. Beberapa surat kabar memberitakan keduanya membahas berbagai topik. Mulai dari ISIS, Korea Utara, keamanan global, dan pengetatan kebijakan imigrasi. Trump lalu mengatakan pada peserta pertemuan tersebut kalau Australia, “punya layanan kesehatan yang lebih baik dari AS.” Pernyataan ini keluar selang beberapa jam saja setelah American Healthcare Act, yang memangkas jaminan kesehatan bagi jutaan orang, disahkan oleh Kongres.
Andai Trump dan Turnbull bertemu empat mata, Perdana Menteri Australia itu kayaknya akan meminta Trump mengubah pikirannya menyangkut vaksin—alat penjamin keamanan dan kesehatan global di dunia yang makin terhubung seperti sekarang. Trump dikenal agak abai soal vaksin. Saat ini, AS tengah dihantui merebaknya kembali penyakit yang selama ini dianggap punah. (misalnya, negara bagian Minnesota baru-baru ini dilanda wabah campak mematikan terparah dalam tiga dekade). Mirip lah sama Indonesia yang mendadak kena wabah difteri akhir tahun lalu setelah sekian lama adem ayem, gara-gara perilaku orang tua blo’on menolak vaksinasi DPT buat anaknya.
Videos by VICE
Sejak menjabat sebagai perdana menteri dua tahun lalu, Turnbull terang-terangan memerangi gerakan antivaksin yang mulai mendapatkan banyak pendukung di Austalia sejak awal tahun ‘90an. Gelagat kelompok antivaksin tak bisa dianggap enteng. Kampanye yang mereka lakukan berhasil menekan tingkat imunisasi hingga hanya mencapai 70 persen di beberapa kawasan. Wabah campak, yang sampai saat ini secara resmi dianggap punah dari benua kanguru, kini terjadi hampir setiap tahun, biasanya dipicu oleh gelaran yang jadi tempat berkumpulnya banyak orang seperti sebuah festival tari. Wabah cacar terparah terjadi pada 2012. Sebanyak 168 orang terjangkit campak di pinggiran kota Sydney.
Sebagai langkah untuk menanggulangi wabah ini, pemerintahan Turnbull merancang amandemen kontroversial terhadap beleid yang mengatur layanan sosial di Australia yang mulai berlaku Januari tahun lalu. Kebijakan yang diberi nama No Jab, No Pay (Jab adalah istilah untuk imunisasi dalam bahasa Inggris Australia) intinya menyatakan bahwa santunan kesahatan anak sebesar nyaris $11.500 (setara Rp153 juta) tak akan diberikan pada keluarga menolak memvaksin anaknya sampai Maret 2016 kecuali kalau mereka bisa menunjukkan alasan medis tertentu. Ide di balik amandemen ini sederhana sebenarnya: tekanan fiskal akan memaksa kelompok anti vaksin untuk mempertimbangkan memvaksin anak-anak mereka. Ternyata, skema sederhana ini bekerja dengan baik. Tingkat imunisasi di Australia meningkat 95 persen—batas yang disepakati oleh sebagian besar pakar kesehatan sebagai modal kuat sebuah komunitas memerangi penyakit mematikan seperti Campak.
Pekan lalu, wabah campak serupa kembali merebak di Sydney. Namun, ini bukan indikasi jika No Jab, No Pay tak efektif. Pasalnya, pemberian vaksin dianggap sebagai sebuah strategi jangka panjang. Dalam satu tahun setelah beleid ini disahkan, hasil yang dicapai sudah sangat mengesankan. Menjelang deadline yang ditetapkan, jumlah para penolak vaksin menurun sebanyak 9500 orang. Merujuk pada angka statistik dari 2015, tiap negara bagian di Australia mendekati atau bahkan sudah melampui target 95 persen tingkat imunisasi bagi penduduk berusia satu atau dua tahun yang ditetapkan oleh Canberra.
Dari berbagai sisi, lanskap kesehatan publik Amerika Serikat mirip dengan lanskap kesehatan publik Australia awal dekade ‘90an. Gerakan anti vaksin makin beroleh dukungan politis dan kultural. Penyebabnya adalah makin banyaknya seleb dan tokoh masyarakat yang tanpa tedeng aling-aling menunjukkan keengganan mengimunisasi anak mereka. Celakanya, tren negatif ini diperparah oleh tindakan pemerintah AS yang justru menempatkan para influencer gerakan ini di Komisi Keamanan Vaksin. Selama beberapa tahun terakhir, presentase anak-anak yang menolak mengikuti jadwal pemberian imunisasi terus naik. Sementara itu, laporan CDC menunjukkan di seluruh wilayah AS, hanya 71,6 persen anak berusia 19 sampai 35 bulan yang sudah menerima 7 seri imunisasi wajib. Bahkan di beberapa negara bagian, angka tersebut melorot lebih jauh. Artinya ada jutaan orang yang rentan terkena penyakit mematikan yang harusnya bisa ditanggulangi lewat vaksin.
Perubahan angka-angka abstrak ini punya konsekuensi nyata di lapangan. Sekira sebulan lalu, wabah gondok menyerang empat orang mahasiswa University Of Rhode Island. Belum lagi, wabah campak yang sebelum dibahas di atas menyerang imigran Somalia yang menjadi target incaran anggota komunitas antivaksin. Tingkat imunisasi di komunitas-komunitas ini turun hingga 50 persen dalam sepuluh tahun.
Rendahnya tingkat vaksinasi di AS adalah teka-teki tersendiri bagi para mahasiswa kedokteran setempat. Di kampus, mereka diajari agar menghormati kekhawatiran pasien dan memberi si pasien kebebasan mengambil keputusan medis, setelah dokter memberi keterangan yang memadai serta menjawab pertanyaan pasien. Namun, riset yang dilakukan selama beberapa dekade telah membuktikan berkali-kali vaksin adalah solusi yang murah, aman, efektif dan telah menyelamatkan jutaan nyawa. Bahkan, pilihan tidak memberikan vaksin kepada pasien dipandang sebagai tindakan yang membahayakan diri pasien dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dengan kata lain, kita berlaku tidak adil pada orang lain jika tak berusaha menyakinkan mereka yang meragukan manfaat vaksin.
Adaptasi program No Jab, No Pay yang diterapkan di Amerika Serikat bisa memecahkan teka-teki ini. Lewat kebijakan ini, tenaga kesehatan bisa mengomunikasikan fungsi vaksin terhadap kesehatan publik sembari tetap menghargai otonomi pasien. Berkaca pada stuktur pajak AS, versi No Jab, No Pay di AS akan mengesampingkan keluarga yang berpendapatan lebih dari $110.000 (setara Rp1,4 miliar) per tahun. Pajak vaksin, yang pertama kali secara resmi diusulkan oleh pakar ekonomi kesehatan Mark Pauly, bisa diterapkan ke semua keluarga di AS (atau semua negara lainnya yang mau memakai akal sehat).
Meski awalnya terdengar ganjil, pajak vaksin masuk akal dari sudut pandang ekonomi, terutama setelah menghitung keuntungan penggunaan secara individu pada masyarakat luas. Kekebalan sebuah komunitas pada penyakit tertentu adalah salah satu contoh klasik manfaat vaksin. Bayangkan sebuah komunitas terlindung serangan penyakit tertentu yang diwujudkan tanpa sepeser tambahan biaya dan ini mulai bisa terwujud saat salah satu anggotanya rela divaksin. Sebaliknya, seseorang yang menolak divaksin bakal jadi sebuah faktor eksternal negatif dan menyebabkan kekebalan semua orang di sekolah, bandara, taman bermain atau tempat umum lainnya terancam.
Faktor negatif macam ini ditemukan di berbagai ranah kesehatan publik, seperti perokok pasif di bar, polusi udara di daerah pengolahan batu bara. Biasanya pemerintah berusaha menanggulangi masalah ini dengan pajak. Caranya dengan memaksa konsumen membayar “biaya” sosial sebuah tindakan konsumsi. Kita sejatinya sudah terbiasa membayar biaya ini—kita sebut saja sebagai pajak dosa—saat mengonsumsi tembakau, alkohol dan—ini baru di AS belaka—ganja. Dengan menggunakan logika yang sama, pemerintah di seluruh dunia mengenakan pajak karbon untuk mengerem polusi udara.
Selama beberapa tahun, pemerintah dari berbagai negara di dunia dan sejumlah LSM bersama-sama menciptakan progam santunan bersyarat (yang disebut dengan CCT) untuk menanggulangi kemiskinan. Mirip Bantuan Langsung Tunai kalau di Indonesia. Salah satu syarat penerima program ini adalah peserta harus menjalankan program imunisasi. Pajak vaksin semestinya jadi langkah lanjutan dari tren ini serta pengaplikasian “pajak dosa” serupa.
Dari kacamata politik, kebijakan ini seharusnya menjadi kebijakan yang didukung semua pihak—apapun haluan politiknya. Sebuah jajak pendapat terbaru Pew Research mengungkap bahwa 73 persen responden yang mengaku berideologi konservatif dan 90 responden berhaluan liberal mendukung syarat vaksinasi bagi calon murid sekolah. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa 88 persen penduduk AS percaya faedah vaksin MMR jauh melampui kerugiannya.
Tentu saja, kebijakan seperti ini, secanggih apapun itu, masih memiliki nuansa kebijakaan teknokatik yang kerap penuh dengan kontroversi etis. Malah, kebijakan serupa—tepatnya kebijakan pajak soda yang diusulkan Michael Bloomberg—pernah memicu debat panjang di New York nyaris satu dekade lalu. Kala itu, kampanye Bloomberg melawan Big Gulp dianggap membatasi kebebasan dan memaksa warga AS membuat keputusan yang tak mengenakkan demi kepentingan pemerintah. Dalam kasus kebijakan No Jab, No Pay, kebijakan ini dikritik mendiskriminasi golongan beragam tertentu yang menolak menerima vaksin. Dalam lanskap asuransi AS yang njelimet, kebijakan akan merugikan keluarga kelas pekerja yang tak memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan tak mampu memenuhi syarat menerima vaksin. Seperti yang diusulkan Pauly, menentukan besaran pajak dan cara penggunaan dana pajak tersebut adalah sebuah tantangan tersendiri.
Beruntung, semua keraguan ini bisa dengan mudah ditampak. Intervensi kesehatan publik terhadap isu sepenting vaksin—seperti juga intervensi kesehatan publik dalam bentuk penggunaan sabuk pengaman dan pengolahan air—umumnya tak pernah digolongkan kebijakan yang memberangus kebebasan dan bersifat koersif. Sebuah review terbaru yang dimuat di Vaccine menemukan bahwa hanya ada dua agama, yakni Christian Scientists dan Dutch Reform Church, yang jelas-jelas menolak penggunaan vaksin. Kedua konstituen dua agama ini dengan demikian bisa diberikan keringanan untuk diberi vaksin.
Vaksin di AS sudah jauh lebih mudah diakses oleh siapapun lantaran perusahaan asuransi di sana kini diwajibkan oleh Affordable Care Act untuk menawarkan vaksin sebagai benefit kesehatan yang wajib (walau sayangnya, aturan ini bakal berubah di beberapa negara bagian karena berlakunya American Healthcare Act). Bagi penduduk yang tak memiliki layanan asuransi yang memadai, pusat kesehatan masyarakat dan agen kesehatan daerah menggunakan program dollar federal seperti Vaccines for Children guna menawarkan imunisasi gratis. Bahkan, jika kita sepakat menjalankan pajak vaksin, maka dana yang terkumpul digunakan untuk mensubsidi anak-anak yang tak dilindungi jejaring layanan kesehatan di AS.
Sepintas, kebijakan pajak vaksin terdengar seperti respons lebay buat membereskan satu masalah kesehatan. Namun, di tengah serangan wabah penyakit, kita bakal lupa bahwa wabah-wabah ini bakal terus terjadi jika kita menganggap enteng vaksin. Baik cacar dan campak bisa laten dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun dan bisa muncul kembali dalam bentuk encephalitis dan ruam syaraf beberapa dekade kemudian. Rubella yang menjangkiti ibu yang tak divaksinasi selama trimester pertama kehamilan bisa menyebakan penyakit bawaan seperti tuli dan kebutaan. Pajak vaksin mungkin bisa membantu kita mengenyahkan momok-momok mengerikan, yakni mereka yang ngawur menolak vaksin pakai alasan blo’on, selama-lamanya.