Artikel ini pertama kali tayang di Broadly
Pada hari Minggu lalu, media sosial saya dibanjiri orang-orang yang untuk pertama kalinya berbagi pengalaman mereka dilecehkan atau diserang secara seksual dengan tagar #MeToo.
Kampanye viral ini mulanya diimbau oleh aktris Alyssa Milano, yang ngetwit jika setiap penyintas menulis #MeToo di status mereka, masyarakat mungkin akhirnya tersadar betapa gentingnya pemasalahan ini. Pesan Milano, yang pertama kali digagas oleh aktivis Tarana Burke 10 tahun silam, beresonasi dengan warga dunia; pada Senin siang, tagar tersebut telah ditwit lebih dari setengah juta kali dan menjadi subjek lebih dari 600,000 diskusi di Facebook.
Membaca twit demi twit, status demi status di media sosial, saya kaget dengan jumlah penyintas yang berbagi pengalaman mereka. Sebagai seorang advokat yang berupaya menghentikan kekerasan gender, saya mendengar kisah-kisah seperti itu setiap hari. Saya tahu bahwa kekerasan seksual adalah masalah yang sudah mendarah daging. Tetap saja, saya tergugah dengan solidaritas yang saya saksikan dan jumlah perempuan yang unjuk bicara.
Tapi, saya jadi kepikiran: Siapa sih “orang-orang” yang masih enggak mudeng bahwa masalah ini teramat gawat, dan apa yang seharusnya mereka pelajari dari pengakuan para penyintas? Sebagian diri saya muak bukan main dengan fakta bahwa para penyintas masih harus menghidupkan kembali mimpi buruk mereka di hadapan publik, lagi dan lagi, hanya untuk “membuktikan” bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di mana-mana.
Saya mulai mengalami sejenis deja vu yang meletihkan. Bukankah kita sudah melakukan kampanye ini sepanjang tahun? Seumur hidup? Ingat tagar #WhenIWas, yang meminta orang-orang berbagi pengalaman mereka untuk “mengungkap bahwa seksisme, pelecehan dan kekerasan seksual, serta diskriminasi terjadi sejak usia dini”? Lalu, setahun sebelum itu kita berkampanye dengan tagar #YesAllWomen yang muncul setelah penembakan misoginis Elliot Rodger. Kita juga sudah melakukannya setelah kasus Bill Cosby, dan setelah rekaman Trump bilang “grab them by the pussy.” Bukankah setiap kali kita berkampanye, para laki-laki menunjukkan dukungan mereka dan berjanji mereka akan memperbaiki perilaku mereka?
Tapi bahkan setelah itu semua, kekerasan seksual tetap merajalela. Bahkan seorang tertuduh predator seksual terpilih menjadi presiden, dan penyintas di seluruh dunia sekali lagi berbagi kisah menyakitkan mereka hanya untuk membuktikan perkosaan benar-benar terjadi. Siklus ini, yang diawali oleh kasus kekerasan seksual dan diikuti oleh trauma dan kemarahan kolektif, mulai terasa seperti ritual kejam alih-alih praksis politik.
Di AS, satu dari lima perempuan pernah mengalami perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidupnya. Satu dari enam perempuan pernah dikuntit. Satu dari empat perempuan pernah menjadi korban kekasaran fisik pasangannya. Perempuan-perempuan yang belum pernah mengalami bentuk kekerasan tersebut setidaknya pernah dilecehkan di kantor, digrepe di angkot, atau di-catcall sepanjang perjalanan kaki.
Videos by VICE
Baca juga artikel VICE lain tentang isu kekerasan seksual
Setiap lingkungan kerja, komunitas, dan kampus memiliki Harvey Weinstein-nya sendiri, dan ribuan orang yang membiarkan dan mengacuhkannya. Kalau #MeToo menginspirasi sekutu feminis untuk berhenti mengabaikan kekerasan seksual di lingkaran mereka, ya bagus. Tapi, para penyintas tak henti-hentinya berbagi kisah, dan saya melihat begitu banyak orang diam saja alih-alih meminta pertanggungjawaban si pelaku.
#MeToo gampang didukung karena fokusnya adalah para penyintas, bukannya pelaku. Semua orang mendukung sisi penyintas, secara teori, tapi praktiknya masih bolong-bolong. Semua orang mengutuk kekerasan seksual ketika wajah dan nama pelakunya tidak disebutkan atau kamu kenali.
Tapi dalam pengalaman saya, dukungan orang-orang meredup saat penyintas menyebutkan nama pelaku, saat meminta kawan-kawannya untuk tidak mengundang pelaku ke acara kumpul-kumpul, atau saat mengajukan laporan ke HRD.
Seorang pejabat perusahaan yang bekerja untuk Weinstein selama bertahun-tahun menurut laporan mengirim pesan lewat LinkedIn pada seorang perempuan yang dilecehkan Weinstein: “Saya udah menegur dia soal perlakuan tidak pantas terhadap seorang perempuan lain, tiga minggu sebelum insiden kamu,” tulisnya. “Saya bahkan mengirimkanyan surel sampai-sampai dia menyebut saya polisi seks.” Ternyata, segitu doang level advokasinya.
Banyak laki-laki bilang mereka mendukung para penyintas, tapi gagal bertindak saat sedang dibutuhkan. Tidak mengejutkan bahwa gerakan-gerakan yang berupaya mengakhiri kekerasan gender digagas oleh para penyintas. Dan, harus diakui, kami hebat. Kami mengubah sesuatu. Pelajar-pelajar penyintas mendesak sekolah untuk menindak kekerasan seksual. Pelaku yang berkuasa, dari Weinstein, Roger Ailes sampai Bill Cosby, telah dipecat. Saya percaya ini hanyalah permulaan.
Latihan-latihan pembangun kesadaran seperti #MeToo sangat kuat dan penting, tapi bukan karena calon-calon sekutu bakal membaca dan, akhirnya, memperlakukan perempuan dengan welas asih dan kemanusiaan. Karena dari latihan seperti itu kita yang terdampak jadi tahu satu sama lain, saling bertemu, bisa mengekspresikan amarah, dan yang paling bagus di antara semua itu, kita mengorganisir gerakan.
Dan mungkin #MeToo membuat perempuan menyadari bahwa, terlepas dari artikel yang menyalahkan korban yang ditayangkan New York Times atau media lainnya, kita cuma punya dua pilihan: runtuh atau bersatu. Kalau semua orang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, berarti para
penyintas tidak tercerai berai. Kita menjadi pasukan.
Jadi, ya, terang saja: #MeToo. Tapi yang lebih penting, apa yang akan kita lakukan setelah ini?