Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.
Penel ilmuwan yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini mempublikasikan hasil riset komprehensif selama tiga tahun tentang keragaman hayati di seluruh dunia. Menurut laporan ini, bumi sedang menghadapi situasi yang kelam. Parahnya, situasi kelam ini tak hanya mengancam hewan-hewan melainkan juga manusia yang mengandalkan keberadaan hewan-hewan tersebut.
Videos by VICE
Laporan riset yang dipresentasikan di pertemuan ilmuwan PBB di Medellín, Kolombia Jum’at pekan lalu tersebut menyisir empat kawasan di Bumi: Benua Afrika, kawasan Asia Pasifik, Benua Eropa dan Asia Tengah. Dengan demikian, riset ini sudah mencakup semua penjuru Bumi, minus dua kutub dan samudra. Di keempat kawasan tersebut, seperti yang diuraikan dalam laporan penelitian di atas, terjadi penurunan jumlah keragamanan hayati. Dan biang kerok terbarunya—perubahan iklim yang dipicu oleh perbuatan manusia—memiliki sumbangsih dalam kemerosotan keragaman hayati di Bumi.
Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services [IPBES], kelompok bentukan PBB yang mempublikasikan hasil penelitian tersebut, menekankan bahwa laporan tersebut tak hanya tentang masa depan hidup hewan. Keragaman hayati juga penting bagi kelangsungan hidup manusia.
“Keragaman hayati dan kontribusi alam bagi kehidupan manusia, dalam pandangan banyak orang, hanya urusan akademisi dan jauh dari kehidupan sehari-hari manusia,” kata Robert Watson, kepala badan PBB yang merilis laporan penelitian tersebut, dalam sebuah pernyataan.” Tak bisa diingkari bahwa alam adalah sumber makanan, air bersih dan energi. Keragaman hayati tak hanya penting bagi keselamatan mansua, namun juga bagi budaya, identitas dan kebahagiaan hidup kita.”
Jika tak ada perubahan berarti dalam penanganan perubahan iklim, laporan tersebut menyebut bahwa perubahan iklim akan jadi penyebab utama musnahnya keragaman hayati di Amerika pada 2050.
“Pada 2100, perubahan iklim akan memusnakan lebih dari setengah spesies burung Afrika dan mamalia,” ujar Emma Archer, wakil ketua penelitian di kawasan Afrika.
Di kawasan Asia Tenggara, 90 persen terumbu karang diperkirakan akan mengalami kerusakan pada 2050 bila kebijakan penanggulangan perubahan iklim yang diterapkan masih konservatif. Jelas, bagi sebagian besar penduduk di kawasan ini hidupnya pada laut—atau mereka yang tinggal di bibir pantai dan siap-siap tenggelam oleh naiknya permukaan air laut, masa depan kehidupan mereka setengah abad ke depan seperti bakal muram.
Kondisi di Eropa dibandingkan wilayah lainnya relatif lebih mendingan, meski tak bisa dibilang baik-baik saja. Separuh dataran basah di Benua Biru sudah raib dan sekitar seperti spesies di dataran basah yang tersisa berada “dalam status konservasi yang kurang menggembirakan.”
Isi laporan IPBES ini memang cenderung menggambarkan masa depan keragaman hayati yang buruk, namun di sisi lain, laporan ini kian menabalkan bahwa kebijakan yang tepat bisa membantu kita memulihkan kondisi alam, meski tentu tak seluruhnya. Kombinasi opsi kebijaksanaan—seperti memasukkan keragaman hayati dalam perhitungan kemakmuran sebuah negara sehingga tak cuma berkutat pada produk domestik bruto serta program-program penyadaran publik—bisa menyelamatkan keragaman hayati yang tersisa.