‘Kiamat Akhirnya Datang’: Kesaksian Korban Selamat Gempa di Lombok

Hari Minggu sore itu berlalu seperti biasa di kantor. Kendati libur, rekan-rekanku masih tetap bekerja di kantor seperti biasa. Kami memang tak mengenal hari libur. Kami bukanlah pecandu kerja, namun kami begitu menikmati pekerjaan ini sampai-sampai menganggapnya seperti hobi.

Aku bekerja sebagai direktur program di sebuah lembaga swadaya masyarakat Yayasan Pasir Putih, bergerak di bidang aktivisme dan seni. Kantor kami menempati rumah sederhana di kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, sekira 40 km dari ibu kota provinsi Mataram. Bangunan berwarna merah muda dengan tiga buah kamar dan satu ruang tamu tersebut telah menjadi seperti rumah kedua bagiku tujuh tahun belakangan.

Videos by VICE

Tidak ada yang istimewa dari hari itu selain pekerjaan yang terus menumpuk. Aku sedang sibuk menyiapkan laporan penelitian soal pariwisata adat di Nusa Tenggara Barat. Sementara dua orang rekanku juga tak kalah sibuk dengan komputer masing-masing.

Ketika petang menjelang kami memutuskan untuk istirahat sejenak melepas penat. Aku segera mengambil air wudhu dan salat di kamar belakang. Sementara yang lain leyeh-leyeh di ruang tengah sambil bercengkerama.

Saat jarum jam mendekati angka tujuh, obrolan kami seketika buyar. Bumi yang kami jejak bergetar hebat. Aku melihat dinding bergoyang seperti ada kekuatan besar yang mencengkeram dan mengguncang rumah bertubi-tubi dengan marah. Kami lari tunggang-langgang keluar kantor menuju halaman depan. Aku masih sempat mengambil barang-barang berharga dari dalam kantor.

Gempa bumi hari Minggu di awal Agustus kemarin tersebut terasa lain dari gempa-gempa yang sebelumnya melanda Lombok. Ia terlampau kuat dan berlangsung cukup lama. Aku belum pernah bencana alam seperti ini. “Kiamat akhirnya datang,” pikirku. Perasaanku bercampur aduk antara bingung dan takut. Bayangan wajah anggota keluarga dan istriku berkecamuk di benakku. Selama beberapa detik, kakiku seolah terpaku ke tanah. Aku tak tahu harus berbuat apa.


Tonton dokumenter VICE berkisah tentang seorang dukun voodoo yang berusaha mengobati jiwa warga korban gempa dahsyat Haiti:


Listrik padam tak berapa lama setelah bumi bergoncang. Air keran berhenti mengalir. Saat gempa mereda samar-samar aku melihat tembok kantor sudah retak. Namun secara fisik bangunan tersebut masih utuh. Aku melihat beberapa warga sekitar lari ke area persawahan yang terletak tak jauh dari kantor. Mereka panik. Doa bercampur tangisan dan teriakan nama tuhan seperti menggema di langit.

Aku tahu ini akan menjadi malam panjang yang penuh penderitaan, tapi aku harus memastikan tetap penuh pengharapan.

Yang pertama terlintas di pikiran adalah sesegera mungkin menghubungi keluarga. Beruntung tadi aku sigap menyambar ponsel di meja kerja. Aku menghubungi orang tua yang kebetulan sedang berada di rumah saudara di Lombok Barat. Mereka baik-baik saja. Syukurlah! Istriku yang berada di Mataram juga selamat tak kurang suatu apapun. Aku menghela nafas lega.

Tak berapa lama, entah datang dari mana, beredar isu bahwa tsunami akan mencapai Pemenang sewaktu-waktu. Kepanikan kembali melanda. Belakangan aku tahu isu tersebut berasal dari informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa gempa tersebut berpotensi tsunami.

Di tengah kondisi seperti itu, aku tak bisa berpikir jernih. Sejurus kemudian aku dan dua orang kawan menyambar sepeda motor di halaman kantor. Bertiga kami mengendarai satu sepeda motor menuju bukit-bukit di sebelah timur. Kami tidak sendirian, ratusan warga sekitar kami juga melakukan hal yang sama: menyelamatkan diri ke perbukitan.

Dalam perjalanan kami baru sadar betapa dahsyatnya gempa barusan. Deretan rumah di sepanjang jalan hancur dan rata dengan tanah. Orang-orang bergerombol dan mencoba menyelamatkan keluarganya juga mengais-ais harta benda dari reruntuhan. Orang-orang bertubuh layu bergelimpangan dengan luka-luka yang menganga. Aku sempat melihat soerang kakek tua tampak berjalan tertatih-tatih, luka di kepala yang mengucurkan darah segar. Dalam hati aku ingin membantu mereka, namun apa daya aku tak memiliki kemampuan saat itu.

Aku memacu motor di jalanan yang retak karena gempa. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Mungkin kami terlalu sibuk dengan pikiran yang kalut dan kekhawatiran masing-masing. Sejam kemudian kami tiba di bukit yang kering dan gersang bersama ratusan orang lainnya. Di atas bukit angin seperti mencambuki badan kami.

Kami tidak melakukan persiapan apapun ketika mengungsi. Kebanyakan warga juga tidak membawa barang. Hanya baju yang menempel di badan. Tidak ada tenda, selimut, dan logistik malam itu. Salah seorang dari kami akhirnya berinisiatif untuk mencari logistik di Pemenang. Aku dan seorang kawan akhirnya memutuskan turun bukit dengan motor untuk mencari warung untuk membeli air minum dan makanan. Di salah satu warung yang buka aku membeli satu galon air minum dan beberapa bungkus roti yang aku bagi-bagikan kepada pengungsi.

Tentu saja makanan tersebut tidak cukup, namun setidaknya ada pengganjal perut untuk bertahan di tengah dinginnya malam. Kami cuma berharap bantuan akan segera datang. Namun harapan itu mesti pupus ketika kami tahu sebagian besar Lombok Barat hancur. Itu artinya distribusi bantuan logistik membutuhkan waktu lama untuk sampai ke Pemenang. Saat itu aku tidak tahu berapa jumlah korban meninggal atau luka-luka. Ponselku seperti seonggok benda tak berguna karena tidak ada sinyal. Di sela-sela lamunan, gempa susulan dengan skala kecil datang susul-menyusul sepanjang malam hingga pagi. Kami tidak bisa tidur malam itu dan cuma berharap fajar segera menyingsing.

Pukul 5 keesokan harinya aku memutuskan turun dari bukit untuk melihat keadaan rumahku. Aku nyaris menangis dan tak bisa berkata apa-apa ketika mendapati rumah yang telah menaungi keluarga kami berpuluh-puluh tahun kini hanya berupa puing. Aku mencari bahan makanan yang mungkin masih tersisa di bekas dapur rumah. Aku menemukan sekarung beras masih dalam keadaan layak di bawah reruntuhan tembok dan dengan hati-hati mengangkutnya ke atas sepeda motor. Aku sama sekali tak berpikir untuk mencari harta benda di tengah puing rumah. Biarlah harta itu tertimbun, batinku.

Dari informasi yang aku dapat, polsek Pemenang kini dijadikan posko dan kamp pengungsian. Aku segera menuju kesana untuk mencari tahu keadaan kakak-kakak dan adikku. Senang bercampur haru menyeruak dari dada mengetahui mereka semua selamat. Aku melihat kakakku menggendong anaknya yang terlihat lemas dan kedinginan. Kakinya bengkak karena tertimpa tembok. Bahkan di kamp ini juga belum tersentuh bantuan. Kami cuma bisa pasrah. Banyak warga yang membangun tenda di halaman polsek dengan kain dan terpal seadanya yang diambil dari sisa-sisa bangunan rumah.

Menjelang siang gelombang pengungsi bertambah. Saat ini ada sekira 2.500 orang pengungsi di Pemenang. Sore harinya aku memutuskan pergi ke Mataram untuk menggalang donasi dan bantuan logistik.

Gempa bumi dengan kekuatan 7 skala richter tersebut telah merenggut lebih dari 130 nyawa dan melukai hampir 1.500 lainnya. Lombok Utara termasuk yang terparah dihantam gempa dengan korban jiwa saat ini 78 orang. Aku dan keluarga merasa sangat beruntung masih diberi kemampuan dan kesehatan. Aku belajar banyak dari kejadian alam tersebut. Bencana ini membuatku merasa kecil di mata Tuhan.

Aku sadar manusia tak memiliki daya dan kekuatan untuk mencegah suatu bencana. Sebagai manusia biasa, aku hanya pasrah dan mencoba menghadapinya semampuku.


*Cerita ini dituturkan kepada Adi Renaldi dari VICE Indonesia lantas ditulis ulang untuk pembaca sekalian.