Kiat Bahagia Melakoni Kerja Kantoran Sekaligus Jadi Musisi di Waktu Senggang

Tomo Hartono saat tampil bersama Rekah

Selamat datang di Don’t Quit Your Day Job, kolom VICE Indonesia menceritakan profesi keseharian musisi yang bertolak belakang dari citranya di panggung.


Kita sering membayangkan, kondisi ideal bagi musisi adalah bisa hidup layak dari karya yang mereka buat. Benarkah demikian? Buat beberapa musisi, terutama dari jalur independen, terlalu fokus ‘jualan’ malah membuat ekspresi mereka terancam tak jujur lagi.

Videos by VICE

“Kalau gue mikirin jualan ketika nulis musiknya, nanti gue enggak bisa bebas eksplorasinya,” kata Tomo Hartono, gitaris sekaligus otak dari band post-hardcore Rekah. Tomo memilih fokus mencari penghidupan dari kerja kantoran. Dia sempat menjajal berbagai bidang industri kreatif. Jadi admin medsos sampai desainer sudah dia jabani. Kini Tomo terlibat dalam divisi produk Jurnal Ruang.

Setiap melihat seorang musisi atau band tampil di panggung, hal terakhir yang terpikirkan adalah kehidupan mereka saat tidak beraksi. Sudah banyak musisi lokal (bahkan di dunia) yang harus mengambil pekerjaan yang amat kontras dari dunia musik, untuk membiayai kesenangan mereka. Mungkinkah kompromi tercapai? Tomo salah satu yang menganggapnya situasi ideal bagi musisi.

VICE Indonesia ngobrol bareng Tomo Hartomo, membahas cara mencari keseimbangan menjalankan kerja harian dengan passion bermusik. Tema kayak gini ternyata tak akan pernah klise. Berikut cuplikan obrolan kami:

VICE: Bisa diceritain kenapa elo dulu milih kerja kantoran untuk menyokong hobi bermusik?
Tomo Hartono: Gue agak pusing karena kerjaan freelance gue udah mulai enggak mencukupi. Soalnya gue butuh beli alat-alat untuk bermusik. Salah seorang temen jamming gue rekomendasiin coba apply ke salah satu perusahaan desain di Kemang, karena mereka lagi butuh project manager. Akhirnya gue wawancara di sana dan ngobrol-ngobrol tentang apa aja yang gue kerjain, dari musik sampai kegiatan di kancah musik independen. Ternyata mereka lumayan mengapresiasi apa yang gue kerjain.

Pengetahuan dari kerja kantoran apakah ada pengaruhnya ke aktivitas bermusik?
Sejak bekerja sedikit banyak gue belajar tentang produksi dan percetakan. Buat gue, itu ilmu yang sangat berguna buat memanajeri band gue sendiri yang sejauh ini masih Do It Yourself (DIY) banget [tertawa].

Sebelum kerja kantoran, elo cari duitnya gimana?
Gue pernah kerja freelance sebagai manajer media sosial. Enggak ada hubungannya dengan apa yang gue kerjain sekarang sih, tapi ilmunya lumayan berguna buat memasarkan band sendiri. Sebenarnya gue orangnya lumayan low-key, jadi agak males bikin yang terlalu gimmicky. Soal desain, gue tergolong awam, tapi mengenai seni sih gue lumayan banyak bergaul sama temen-temen dengan latar belakang seni. Akhirnya [pengaruh kerjaan ke seni] lebih ke gimana gue menangani tiap-tiap proyek. Narasinya apa? Apa mediumnya? Eksekusinya gimana? Gue rasa proses berpikir di bidang kreatif itu bisa diterapkan ke mana-mana.

Artinya banyak dong korelasi antara kerjaan elo dan aktivitas di dunia musik.
Semua bisnis branding menarik, karena gue sangat suka proses brainstorming dan concepting gitu. Mengelola situs juga menarik, karena gue jadi belajar satu hal lagi yang di luar zona nyaman. Soal masa depan, gue adalah orang yang sangat nihilis, jadi entahlah [tertawa]. Hal-hal di masa depan yang gue pikirkan hanya karya apa lagi yang mau gue buat. Udah. Korelasinya dengan band? Gue rasa kemampuan project management yang baik dibutuhkan tiap musisi independen yang pengin karyanya take off dari hardisk dan buku catatan, supaya terealisasikan.

1553672111162-28721806724_ac85f34ac6_o
Foto dari arsip Tomo Hartono.

Apa yang paling menantang dari ritme kerja kantoran buat musisi kayak elo?
Mungkin karena gue udah biasa di industri kreatif bertahun-tahun ya, jadi lumayan hafal gimana pacing-nya. Tantangan terbesar sejauh ini malah datang dari proyekan-proyekan musik gue.

Elo pakai skill-skill desain dari kerjaan untuk mengolah materi band sendiri?
Dulu ketika nulis musik gue belum kepikiran imagery. Sekarang sih, ketika nulis musik gue udah lumayan mikirin estetikanya gimana. Misalkan mau ada treatment visual seperti dalam video atau desain.

Melihat peluang ke depan, elo masih kepengin menjadikan band sumber penghasilan utama?
Enggak [tertawa]. Kalau gue mikirin jualan ketika nulis musiknya, nanti gue enggak bisa bebas eksplorasinya. Narasi besar untuk semua aktivitas promosi selalu gue pikirin setelah karyanya beres.

Rekah pernah merilis video klip lagu “Tentang Badai…/Belajar Tenggelam“. Apa konsep video ini terkait pengalaman pribadi?
Mengenai narasi personalnya sih gue cuma pengen menceritakan pengalaman gue bergulat dengan gangguan mental lewat medium musik. Bentuk musiknya sendiri merupakan eksperimentasi gue: apakah bisa gue membaurkan post-black metal, shoegaze, dan emo jadi satu? Di situ gue masih banyak meraba bentuk musik yang ideal buat Rekah. Videonya dikerjain lumayan ngebut, dibantu beberapa temen-temen dari 2 AM Club, zine tentang kesehatan mental yang gue jalanin bareng mereka. Eksekusinya lumayan straight-to-the-point. Gue rasa enggak buruk buat sebuah karya awal.