Saya sudah melakoni profesi sebagai kritikus musik rock selama setengah abad terakhir. Sejauh ini saya menganggapnya capaian luar biasa, sampai-sampai orang kerap bertanya tanpa tedeng aling-aling: “Kok bisa betah?”
Pertanyaan ini biasanya saya jawab tuntas “Ya bisa dong, kenapa tidak.” Maksud saya begini, fase sejarah musik pop yang kita sebut sebagai rock and roll sempat keren banget pada 1967. Rock and roll pernah pula keren pada 1955, lalu pada 1976, dan 1981. Saya berhasil mengumpulkan puluhan album bagus pada awal tahun ‘70an. Di akhir dekade itu dan dekade setelahnya, jumlah album kerennya malah jauh lebih banyak karena wawasan musik saya berkembang dan genre yang saya pilih makin beragam. Akhir tahun ini, saya berhasil mengidentifikasi minimal 60 album bagus—dan jumlahnya akan terus bertambah.
Jadi, seperti yang saya bilang “kenapa tidak?”
Videos by VICE
Oh, ada satu hal lagi. Begitu seseorang mencoba menulis kritik tentang sesuatu—tenang, saya bukan satu-satunya kritikus rock pada 1967—rata-rata menganggap apa yang mereka kritik sebagai seni. Lebih jauh, ada pandangan bahwa seni harusnya bisa bertahan lama. Tapi bukan untuk selamanya apalagi sampai beberapa abad. Seni hanya bisa bertahan seumur satu generasi doang—atau sedikit lebih panjang deh sebab begitu kita serius membicarakan sesuatu, kita akan memulai mempelajari apa yang terjadi sebelum kita ada.
Bagi sebagian besar kritikus musik rock generasi awal, tugas kami adalah menyimak sejarah blues dan country. Namun, bagi saya cakupannya lebih luas lagi. Saya merasa perlu menengok sejarah jazz, musik-musik Afrika, blackface minstrelsy, provencal troubadours, dan musik-musik Dionysus: musik yang mendahului era rekaman elektronik serta segala macam suara atau musik dengan genre apapun yang kita ketahui dari cerita dan gambar, sebab tak pernah dicatat dalam notasi lagu.
Cuma untuk orang yang berumur lebih dari, katakanlah 55 tahun—mereka yang sudah lulus kuliah tatkala Run D.M.C dan Beastie Boys mendadak populer pada 1986—yang menimbulkan pertanyaan bukanlah musik masa lalu, tapi musik saat ini. Seorang berusia 76 tahun seperti saya yang belajar sejarah tak akan pernah dianggap janggal. Beda kasus jika misalnya lelaki yang sama giat mencatat single/album apa saja yang keluar saban akhir pekan dari genre hip hop. Kalau punk atau disko, mereka mungkin pernah suka musik-musik ini saat masih remaja dulu, tapi ngerap kata-kata yang berima di atas beat tanpa melodi? Biasanya orang tua tidak bisa menerima musik-musik anak muda ini. Kalau ada yang suka, seperti saya, biasanya akan disebut aneh.
Padahal saya selalu mencintai rap. Setelah melewatkan sebagain besar perkembangan musik di tahun 1980 gara-gara sibuk menggarap Christgau’s Record Guide: Rock Albums of the Seventies, saya akhirnya menerbitkan kolom “rap” pertama saya pada awal 1981. Saat itu rap selain sangat menarik, juga menubuatkan banyak hal, termasuk perkembangan yang sebelumnya tak bisa kita prediksi kendati gerakan black empowerment mulai menguat seiring rap populer. Mereka yang pada masanya pernah menolak rap, pada akhirnya mengamini pesan-pesan di dalam genre ini. Hal serupa jelas tak terjadi pada semua orang. Banyak orang seusia saya yang tetap gagal memahami hip-hop. Apa mau dikata, kita tak bisa beradaptasi dengan semuanya. Saya saja sampai sekarang belum becus mengirim SMS.
Sebaliknya, pertanyaan “kok bisa?” dari mereka yang lahir saat hip-hop telah jadi bagian inheren dari kehidupannya sehari-hari, biasanya muncul ketika anak muda itu mendapati seorang lelaki yang umurnya sudah lebih dari kepala enam nongkrong di Tower Records untuk membeli album baru Kanye West atau menulis 5.000 kata tentang Eminem. Tapi, tulisan-tulisan itulah yang membuka seksi “Postmodern Times” dari buku terbaru saya yang baru-baru ini terbit, Is It Still Good to Ya?: Fifty Years of Rock Criticism 1967-2017. Di dalamnya, kalian bisa membaca ulasan saya tentang musisi-musisi Abad 21 semisal Lil Wayne, Jay-Z, Radiohead, Shakira, Gogol Bordello, M.I.A., Vampire Weekend, Lady Gaga, Miranda Lambert, dan masih banyak lagi.
Jika penerbit buku saya, Duke University Press, mau bermurah hati meluangkan lebih banyak halaman, mungkin buku ini akan lebih banyak isinya. Tapi memang 443 halaman saja sudah menjadikan buku ini lumayan tebal. Pembaca muda mengenal saya lewat kolom di Noisey dan sejumlah pembaca yang lebih tua mengenal saya sebagai penulis yang irit, seperti terlihat dalam review-review pendek saya di buku-buku Consumer Guide dan kolom Expert Witness. Sampai tulisan ini dibuat, saya sudah menghasilkan 14.000 review pendek. Hanya saja, saya bisa dan rela menulis jauh lebih panjang jika diperlukan—asal honornya menggiurkan.
Is It Still Good to Ya? adalah kumpulan esai yang saya pertajam, revisi, dan susun ulang kronologinya agar mengalir seperti buku kebanyakan. Buku ini merangkum sebagian besar tulisan-tulisan panjang saya. Dengan demikian, buku ini adalah kumpulan esai ketiga saya setelah Any Old Way You Choose It (1973) dan Grown Up All Wrong (1938) dari tujuh buku yang pernah saya tulis. Duke Collection tahun 2019 juga merilis Book Report yang bakal jadi kumpulan esai keempat dan buku kedelapan saya.
Is It Still Good to Ya? dirancang agar pembacanya bisa menyimak satu persatu rangkuman sejarah musik rock dan pop yang dimulai dari musik-musik Dionysus sampai kancah musik rock selepas tahun 1990. Setelah itu, pembaca akan disuguhkan satu bab panjang untuk menghormati musisi-musisi penting sepanjang Abad 20, mulai dari Louis Armstrong hingga ‘N Sync. Ada juga ulasan lebih pendek yang merunut posisi spesial Afrika di kancah musik pop dunia, dan warisan musik setelah tragedi 9/11, saya menamai bab itu “Postmodern Times”, dan akhirnya ditambah tiga obituari yang saya buat untuk Bowie, Prince, Leonard Cohen, ketiganya meninggal pada 2016—tahun yang menyedihkan bagi penggemar musik.
Jadi, begitulah kira-kira gambaran tentang buku baru saya. Beli dong, mau ya? Tapi, sebelum saya kembali membahas fakta yang susah diingkari bahwa banyak pembaca Noisey—katakanlah setengahnya—lebih muda 50 tahun dari saya. Makanya, karena sebuah alasan yang matematis banget, pembaca muda ini—yang berumur 25 tahun ke bawah—mungkin akan lebih sering mengajukan pertanyaan “kok bisa” daripada mereka yang berumur 55 tahun atau lebih. Sebagai catatan, teknologi rekaman elektronik lahir baru tercipta 17 tahun sebelum saya dilahirkan. Lalu, pada 1955, rock and roll yang menceburkan saya ke kancah kritik musik, mulai merajai tangga lagu. Dengan demikian, dengan atau tanpa hip-hop, enam dekade dan lebih ini masih bisa dianggap sebagai “era musik rock.”
Masalahnya, bagi pembaca berumur 25 tahun ke bawah, fakta ada aki-aki ngomongin rock bahkan hip hop, akan terasa sangat mengganggu dan aneh. Nah, dalam beberapa bagian, Is It Still Good to Ya? membahas betapa problematisnya hal ini. Cuma jangan lupa, buku ini masih ditulis oleh seseorang sanggup merunut kembali ketertarikannya pada Cardi B dan Youssou N’Dour sampai ke Chuck Berry’s “Maybellene.” Plus, saya merasa was-was suatu hari harus memainkan lagu-lagu Chuck Berry di dalam kelas sejarah musik di NYU, kampus di mana saya jadi dosen tamu, di depan calon-calon musisi profesional dan mereka tak tahu siapa penyanyi sampai lagu “Johnny B. Goode” disetel.
Intinya, saya cuma mau bilang sangat beralasan bagi saya atau kalian untuk penasaran sebanyak apa musisi Abad 20 yang akan seharusnya memiliki tempat penting di hati kita. Percayalah, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang kita duga. Karena, seperti yang sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, bila kita serius mencintai sesuatu, kita akan terpancing mendalami apa yang terjadi sebelum kita dilahirkan.
Jadi jika tulisan ini membuat penasaran, saya punya satu usulan buat kalian: kunjungi robertchristgau.com dan cari tulisan berjudul “Let’s Get Busy in Hawaiian.” Itu satu-satunya tulisan baru saya yang bisa dibaca cuma-cuma selagi Is It Still Good to Ya? masih hangat-hangatnya dirilis Duke University Press—tulisan panjang lainnya diembargo sampai tahun 2020.
Sori kalau saya ngalantur kepanjangan. Nyaris 4.000 karakter. Apa mau dikata, saya diminta membahas musik populer Abad 20, mau gimana lagi coba? Makanya, coba baca dulu deh buku saya. Jika tulisan ini menarik bagi kalian, kalian seharusnya bahagia bila membeli buku baru saya. Beneran loh. Saya jamin!
Robert Christgau menulis kolom rutin Expert Witness untuk Noisey. Follow dia di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey