Untung Susilo berjalan pelan membelah jemaat yang bisa dihitung jari. Ia menghampiri sebuah kursi tua berbahan jati, seraya duduk memandangi satu persatu anggotanya. Di hadapannya, terhampar sebuah meja bertaplak hijau. Di atas meja tergeletak sebuah cawan, lonceng kecil, dan sebotol pasir. Tepat di atas kepala Untung, terpacak papan kayu berbentuk ular yang melingkar, yang di dalamnya ada bintang daud dan simbol manusia mesir kuno. Enam orang jemaat duduk melingkar mengitarinya.
Suasana yang mulanya riuh dengan percakapan-percakapan, sekejap berubah menjadi sunyi saat untung berdeham. Ia pun mengambil sebuah lonceng, diayunkannya satu kali, dan mulai memejamkan mata. Gerakan itu, diikuti lingkaran jemaat. Saat meditasi mulai berjalan, ia mengambil napas dalam-dalam, lantas merapal doa dengan nada sedikit bergetar.
Videos by VICE
“Oh…hidup tersembunyi
yang bergetar di setiap atom.
Oh, cahaya tersembunyi
yang bersinar di setiap makluk.
Oh, cinta kasih tersembunyi
yang memeluk setiap semuanya dalam kesatuan.
Semoga, siapa yang merasa satu denganMu
Dari itu mengetahui bahwa ia satu dengan setiap yang lain.”
Lonceng berdenting nyaring. Sekali lagi. Untung memungkasi doa, dan jemaat pun mulai membuka mata. Lingkaran dirapatkan. Kajian tentang Teosofi di Surabaya, sore itu, dimulai dengan khidmat.
Altar ibadah Teosofi terletak di jantung kota Surabaya. Meskipun berlokasi di pusat kota, hanya segelintir orang mengetahui posisi persis markas mereka. Dibalik ilalang setinggi orang dewasa, sebuah gedung bergaya kolonial telah menjadi kamp perkumpulan ini sejak 1908 silam. Tak ada penanda yang jelas selain sebuah papan kayu lapuk bertuliskan “Sanggar Penerangan”, terpasang di atas pintu gedung berwarna putih fasad itu.
Jemaat Teosofi hanya berkumpul di gedung warisan Freemason ini saban dua pekan sekali. Tepatnya, di minggu ganjil tiap bulan. Sementara, minggu-minggu genap digunakan mereka untuk menyiarkan ajaran Teosofi di rumah-rumah jemaat yang berada di luar Kota Surabaya.
Untung Susilo adalah ketua Sanggar Penerangan. Ia mengemban jabatan sebagai ketua sejak pemuka sebelumnya mangkat. Untung, yang saat ini tercatat sebagai anggota tertua, mau tidak mau harus mengantikan pendahulunya. Ia rutin memimpin kajian Theosofi di tiap pertemuan.
Mulanya, Untung adalah pemeluk ajaran Pamungkas Jati Titi Joyo Sampurno. Pendeknya, ia dulu adalah seorang Kejawen. Hingga pada akhir dekade 80’an, ia memutuskan pindah keyakinan, lalu mendalami Teosofi. Kemantapan hatinya didapatkan setelah seorang kolega, yang lebih dulu menjadi jemaat, mengajaknya ikut kajian Teosofi di awal tahun 1985.
“[Saya tertarik] karena ajaranya masuk akal. Seputar ‘sebab’ dan ‘akibat’. Enggak ada menceritakan soal doktin ketuhanan. Hidup kita ya ditentukan oleh perbuatan yang telah kita tanam. Tujuan kita sama, kok. Menuju Tuhan. Cuman, cara [ibadah] saja yang bikin beda. Itu yang sering diributkan,” tutur Untung.
Menurut untung, karena basisnya adalah cara pandang terhadap dunia, bukan agama, maka Theosofi menawarkan rasionalisasi atas berbagai hal. Ia yang sejak kecil tak pernah mengimani agama ‘formal’, menemukan penerangan atas pertanyaan-pertanyaanya atas konsep Ketuhanan. Terutama, karena Theosofi mempelajari persamaan semua agama. Lantas, Ia mencontohkan, soal hukum ‘tabur tuai’, yang sama-sama dimiliki agama Abrahamik seperti Islam dan Kristen.
“Di Al Quran dan Alkitab ada semua. Misal di Alkitab, di Yakobus ada sebuah ayat yang mengatakan, buah yang sudah masak akan menjadi masak akan menjadi maut. Karena akan turun, dan kita akan menerima akibatnya. Semenetara kan juga ada ayat Al Quran yang mengatakan ‘perbuatanmu akan dikembalikan kepadamu. Seolah-olah kamu dihukum oleh dirimu sendiri’,” jelas Untung.
Sejak kecil, Untung dibesarkan di tengah keluarga kejawen tulen. Ia sama sekali tak pernah diajarkan dan mengimani agama ‘formal’ yang diakui pemerintah Indonesia. Ia menilai agama yang hanya mengajarkan umatnya untuk sekedar ‘percaya’ belaka adalah sebuah ketidakwarasan. Baginya, itulah akar dari perpecahan yang terjadi hari ini. “Karena semua orang berebut kebenaran. Kebenaran atas yang mereka kadung percayai. Lah, itu kan tidak waras?” timpalnya.
Hal senada dilontarkan oleh salah satu jemaat, Rudiyanto. Teosofi ini, menurutnya, adalah ajaran yang tidak semerta-merta memberikan doktrin yang harus diimani umatnya. Teosofi justru lekat dengan kajian science dan ilmu filsafat.
“Prinsip saya Teosofi adalah ilmu pengetahuan, sekaligus membangun waktak dan pengabdian. Disingkat SMP: Studi, Meditasi, dan Pengabdian. Itu tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisah, bisa bubrah pemahamannya,” terang Rudy.
Usia Rudi jauh lebih muda dibanding Untung. Namun, perjalanannya mengarungi lautan pengetahuan Teosofi, lebih panjang. Rudi sejak kelas SMA menjadikan ajaran ini sebagai pedoman hidup. Ia mulanya adalah penganut Konghucu. Sejak kenal Theosofi, Rudi berpaling.
Baginya, untuk menjadi seorang Theosofi sejati tak bisa dipaksa. Ia tak pernah memaksa anak-anaknya, ataupun istrinya untuk mengikuti jejaknya. “Teosofi itu seperti panggilan hati. Dulu saya ketika pertama duduk, dan mendengarkan ajaran ini, kebetulan ada sanggar di samping sekolah saya di Blitar, langsung merasa Haqqul Yaqin. Merasa Ainul Yaqin di dalam hati,” kenang Rudi.
Di kalangan jemaat Sanggar Penerangan, Rudi dikenal sebagai cendekiawan. Rudi paling banyak membaca buku-buku Teosofi. Dalam sesi kajian, Rudi kerap dijadikan rujukan pustaka sekaligus bertindak sebagai moderator. Seingatnya, ia sudah membaca lebih dari 5.000 buku terkait teosofi.
“Segala yang ada di kolong langit itu dibahas oleh Theosofi. Mulai dari hewan, tumbuhan, tata surya, superhuman, Karena teosofi itu berasal dari kata theo yang artinya Ilahiah, atau ketuhanan. Dan Sofi, atau sofia yang artinya adalah ilmu. Jadi ini adalah ilmu tentang keilahiaan,” papar Rudi.
Ajaran teosofi dipopulerkan oleh seorang perempuan berdarah Russia, Helena Blavatsky, yang dibantu seorang pendeta dari Amerika bernama Henry Steel Olcott. Secara organisasi, teosofi baru berdiri akhir 1800-an.
Di Hindia Belanda, gerakan teosofi mulai hadir pada 1881, dengan didirikannya loji besar untuk perkumpulan anggota di Kota Semarang, diresmikan langsung oleh Henry Steel Olcott. Pada 1912, perkumpulan teosofi Hindia Belanda menggelar kongres besar di Batavia, yang memutuskan pendirian cabang mandiri terpisah dari hierarki organisasi di Belanda. Cabang-cabang baru bermunculan di banyak kota, termasuk Surabaya.
Ajaran teosofi oleh sosiolog dikategorikan sebagai pola pikir esoterisme ala Barat yang khas Abad 19. Karenanya, gerakan teosofi jadi sering bersinggungan dengan aktivitas pegiat Freemason di nusantara kala itu. Mereka sering berbagi loji.
Karena kemiripan ajaran, banyak pihak di nusantara menyamakan teosofi dengan Freemason. Misalnya seperti yang diyakini Budi Dalton, budayawan dan dosen di Bandung, saat diwawancarai Lokadata. Teosofi merupakan ajaran yang berusaha menjembatani antara agama dan ilmu pengetahuan untuk menjawab problematika hidup. Sementara Freemason adalah gerakan sosial memajukan peradaban manusia berdasarkan sains dan humanisme.
“Gerakan Freemasonry tidak lepas dari teosofi,” ucap Budi.
Namun citra Freemason, termasuk di Indonesia, jadi negatif akibat pola rekrutmen organisasi yang terkesan diam-diam dan penuh rahasia. Freemason, bersama Illuminati, diucapkan dalam satu tarikan napas bersama teori konspirasi tata dunia baru, yang dianggap upaya manipulasi dan menguasai pemerintah berbagai negara dari balik layar.
Asumsi ini biasa muncul dari kelompok antisemit, menganggap Freemason adalah ciptaan Yahudi untuk menguasai dunia. Padahal yang dilakukan Freemason lebih banyak membangun sekolah, menggelar kegiatan sosial, dan karenanya merekrut pemikir, pengusaha, atau seniman terkemuka di suatu negara untuk memuluskan agenda pembaruan peradaban.
Teosofi tidak sampai terstigma parah seperti Freemason. Jejak mereka di Indonesia hadir dengan cukup positif, karena keberadaan ajaran ini berpengaruh terhadap perubahan pola pikir kaum priyayi ningrat Jawa kala itu, yang akan menjadi pendorong kemerdekaan Indonesia, khususnya para petinggi Indische Partij.
Target utama penganut teosofi adalah menjadi manusia sempurna. Yakni suci jiwa dan raganya, serta harus mencecap asam garam kehidupan, menjalani peran sebagai kaum papa hingga orang berpangkat. Menjadi pemuka agama hingga pendosa. Dan yang terpenting, bisa menjalankan tiga perintah teosofi dengan kaffah, termasuk menjalin persaudaran antar umat manusia tanpa memandang golongan, suku, ras, gender, dan orientasi seksual.
“Salah satunya adalah pernah menjadi LGBTQ. Karena, jika tidak pernah melakoninya, pasti akan gagap jika dihadapkan oleh permasalahan umat. Makanya, bagi kami orientasi seksual itu murni hak setiap manusia. Kita tidak boleh membeda-bedakan. Apalagi menghakimi. Memangnya kita ini siapa kok berani mengutuk mereka?” terang Rudi.
Melakoni hidup sebagai minoritas di negara yang gemar mendiskriminasi masyarakatnya bukan perkara mudah. Mendalami teosofi lebih dari separuh hayatnya, membuat Untung maupun Rudi kenyang mendengar celetukan sinis dari masyarakat sekitar. Beberapa kali keduanya dibilang sinting, dan dituding sesat. Namun, teror itu tak menyurutkan keimanan mereka. Satu-satunya problema yang mengganjal penganut teosofi adalah soal mampetnya regenerasi.
Di tempat keduanya bernaung, Sanggar Penerangan, anggota resmi yang tercatat tak lebih dari dua puluh orang. Sementara, separuhnya sudah tak jarang aktif. Semuanya berusia di atas 40 tahun. Ada segelintir anak muda, namun mereka tak rutin datang. Apabila persoalan ini terus terjadi, maka mereka yang masih berkumpul dapat dibilang jemaat teosofi terakhir.
Di Sanggar Penerangan anggota resmi yang tercatat tak lebih dari 20 orang. Separuhnya sudah jarang aktif, dan seluruhnya berusia di atas 40 tahun. Sebetulnya, para jemaat bercita-cita bahwa kelak sanggar mereka akan kembali penuh. Ratusan orang berdesakan mendengar kajian, seperti di era Orde Baru.
Namun, harapan itu angslup saat mereka tahu, menyiarkan ajaran teosofi secara terbuka dapat berakibat celaka. Teosofi, sebagai kolektif terlanjur dicap sesat. Belakangan maraknya teori konspirasi memangkas ruang gerak mereka.
“Bayang-bayang akan direpresi masyarakat tentu ada. Mereka terlanjut melabeli kita sebagai sekte sesat, tanpa mau berdialog dulu. Itulah yang kemudian menjadi tembok bagi kita. Orang mau masuk, malah takut duluan,” papar Untung.
Meskipun hari ini jemaat mereka dapat dihitung jari, mereka percaya teosofi tak akan lenyap begitu saja. Untung bilang, teosofi mengajarkan padanya cara terbaik menerima semua kekurangan manusia.
“Kita berdoa ya biasa saja, yang penting perlakuan kepada sesamamu harus tetap baik. Enak aja, abis menyakiti orang, memohon ampun, agar tidak dibalaskan. Tidak bisa gitu. Baiknya, kita berdoa kepada Tuhan yang ada di dalam. Di diri kita. Bapa ada dalam aku, dan aku dalam bapa. Artinya apa? Tuhan itu siapa? Ya kita sendiri. Percayalah pada dirimu sendiri,” tutup Untung.
Jam pendule berdentang satu kali. Untung meminta izin beranjak memimpin doa penutup. Lonceng yang sedari tadi digengamnya, ia ayunkan sekali lagi. Jemaat menutup mata, dan Untung mulai berdoa.
“Aku diciptakan oleh sinar Illahi
Aku disanggah oleh sinar Ilahi
Aku dilindungi oleh sinar Ilahi
Aku dikeliling oleh sinar Ilahi
Aku berkembang dari sinar Ilahi
Oh..sang Surya”
Reno Surya adalah jurnalis sekaligus pegiat kancah musik di Kota Surabaya. Follow dia di Instagram