Kisah Perempuan Bandel Bergentayangan Keliling Dunia

Satu dekade tarakhir, Intan Paramadhita rutin bergentayangan dari kota ke kota, dari sudut bumi menuju pojokan lainnya. Walaupun Intan bukan hantu, dia lebih doyan berkelana daripada harus menetap di satu tempat. Karenanya dia menyukai makna kata ‘gentayangan’. Sebelum menetap di Sydney, Australia, sejak tahun lalu, Intan pernah tinggal di Jakarta, San Diego, New York, serta Amsterdam.

Kebutuhan menyelesaikan riset akademik seringkali membawanya bolak-balik dari satu kota ke kota lain. Selain itu, jiwanya memang sulit menetap hanya di satu tempat yang sama sepanjang jangka waktu lama. Meski tinggal dalam jangka waktu di satu kota, dia pasti bergonta-ganti alamat beberapa kali. Agaknya, yang langgeng dalam hidup Intan, di samping kecintaannya pada film dan karya fiksi, hanyalah pasangannya Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch, serta putrinya yang kini 14 tahun, Ilana.

Bulan ini, Intan mampir sebentar di Jakarta, dalam rangka menghadiri konser dadakan Melancholic Bitch. Saya berkesempatan ngobrol bareng Intan membahas novel teranyarnya, Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu. Sebagai penulis fiksi, Intan sudah menerbitkan dua kumpulan cerpen Sihir Perempuan dan Pemintal Kegelapan dan cerita lainnya, serta melahirkan satu naskah drama berjudul Goyang Penasaran.

Videos by VICE

Pada hari kami bertemu, Intan mengajak saya ‘gentayangan’ di Cilandak Town Square. Setelah beberapa saat, kami memutuskan duduk di salah satu kafe. Dia mengenakan balutan dress menyala, lipstik merah, dan sepasang nude flats. Sambil menunggu pesanan kami datang, saya meminta Intan menggambarkan seperti apa kebiasaannya, sebagai penulis, tiap memulai hari. Intan diam agak lama, kemudian meminta maaf. Dia tertegun karena sering mengalami “disorientasi dalam ruang dan waktu.”

Rupanya, kebiasaan pindah tempat secara konstan membuat intan terjebak antara dua atau lebih budaya serta rutinitas. “I feel like I’m not here nor there, but at the same time everywhere,” ujarnya. Intan mengulangi dan mengklarifikasi pertanyaan sebelumnya. “Jadi maksudmu, kebiasaanku di hari-hari biasa kan?”

Saya cuma bisa mengangguk. Diam-diam batin saya kecut. Jangan-jangan bertanya tentang cara Intan mengawali hari-hari yang tidak biasa akan lebih manjur sebagai pembuka obrolan.

Aktivitas pagi pada ‘hari biasa’ Intan mencakup ngopi, membabat email-email di inbox, dan memasak makan siang bagi putrinya. Setelah tiga kegiatan itu kelar, baru Intan berangkat menuju universitas tempatnya mengajar. Salah satu kelas yang diampunya bertajuk ‘Screen Images Ideas’. Di mata kuliah itu Intan, yang meraih Ph.D dari New York University, menyigi konsep jalan-jalan serta gender dalam film.

“It’s a lot of fun,” katanya. Nada bicara Intan bertambah riang ketika sudah membahas kuliah serta para mahasiswanya. “Kami ngobrol tentang ideologi tentang rumah, tentang melampui batas. Kami bicara tentang perempuan-perempuan yang travelling dan apa maknanya bagi mereka serta apa bedanya dengan cara dan alasan laki-laki travelling.”

Subyek kelas yang diampunya menjadi bahan penelitian Intan selama sekian tahun. Tak aneh pula jika kemudian perempuan dan perjalanan jadi tema utama novel terbarunya.

Gentayangan dipasarkan sebagai karya yang mengisahkan “perjalanan dan ketercerabutan, memotret mereka yang tergoda batas, yang bergerak dan tersangkut, yang kabur namun tertangkap.” Novelnya disusun dalam beragam pilihan plot, lengkap dengan segala macam konsekuensinya, yang bisa dipilih pembaca manasuka. Pembaca dalam novel ini dipanggil dengan kata ganti “kau”. Dengan sudut pandang macam itu, pembaca bakal dibawa bergentayangan di sekitar wilayah New York City, Tijuana Border, Harlem, hingga Jakarta.

Tiap kali pembaca menuntaskan satu pilihan, dia akan menyusuri kronologi cerita lain dalam novel dan menjajaki alternatif plot berbeda. Intan bilang, kau akan bertemu “cerita para pengelana, turis, dan migran tentang pelarian, penyeberangan, pencarian atas rumah, rute, dan pintu darurat.”

Walaupun mengalami dan mendalami topik perjalanan, Intan secara pribadi tak pernah percaya dengan jargon “tersesatlah dan temukan jatidirimu” yang seakan menjadi mantra para travel writer sedunia. Baginya, slogan itu bias sudut pandang kelas menengah kulit putih. “Travel tidak seharusnya jadi pencapaian. I mean, what about those who can’t afford to ‘get lost’ in a faraway country?”

Intan lantas bercerita bahwa Ilana, putrinya, pernah mengambil kursus bahasa Jepang saat baru 10 tahun. Di akhir tahun ajaran, Ilana ditawari ikut dalam study tour ke Jepang bersama teman sekelas. Ongkosnya tak tanggung-tanggung, US$3.000 (setara Rp40 juta). “That’s a very normal amount for the white education system, tapi untuk keluarga saya jelas bukan nominal yang kecil,” ujarnya. “Artinya, kesempatan berpergian ke berbagai negara sebetulnya mengingatkan pada status sosial dan privilise yang kita miliki.”

Salah satu fragmen dalam novel Gentayangan bercerita tentang satu perempuan yang kembali ke Jakarta demi menghadiri pemakanan neneknya. Semasa hidupnya, sang nenek bak katak dalam tempurung. Tak pernah sekalipun mendiang nenek itu melancong ke luar negeri. “Hasratnya bergerak dan berpindah tempat hanya bisa dimanifestasikan dengan memakai pakaian terbaiknya tiap kali datang ke pasar,” kata Intan. “That’s very important, the desire to move.”

Saya tertarik melayangkan pertanyaan gara-gara penjelasan tersebut. Apakah Intan, seperti sang nenek dalam cerita itu, menyempatkan dandan begitu keluar belanja. Dia segera menggeleng, “Most of the time, Ugo yang belanja, sementara aku masak.”

Baiklah. Tapi gimana ketika Intan gentayangan di mal?

“Duh, aku enggak suka banget ke mal!”

Lho, terus, ke mana dong kalau mau beli makeup?

Dia mengaku pengalaman pergi ke counter makeup membuatnya cemas. “I find myself intimidated by the salespeople. They would make me try on products I don’t need. Or products that look good on them, jadinya mikir kalau aku yang pakai bakal kayak mbak-mbaknya yang cantik itu enggak ya?”

“Aku tahu mbak-mbak sales itu cuma menjalankan tugasnya, tapi aku lebih suka beli makeup online.”

Sebagai perempuan yang aktif mengampanyekan feminisme sejak satu dekade lalu, Intan kerap menerima berbagai macam pertanyaan tentang topik tersebut. Seakan-akan dia diharapkan memiliki jawaban dengan perspektif feminis untuk segala isu, terutama yang terkait budaya pop. Pernah ada orang meminta opininya sebagai seorang feminis tentang popularitas aplikasi Wattpad. Ternyata app tersebut penuh dengan konsep maskulinitas yang merusak namun ternyata banyak disukai perempuan. “But what can I say, I really never use Wattpad! How could I opine on it?” ujarnya.

“I think younger Feminists have fresher perspective on pop culture. I mean, let the younger generation have a say. Why do people keep going to me? Aku kan udah hampir 40 [tahun].”

Intan membutuhkan waktu sembilan tahun untuk menyelesaikan Gentayangan. Setelah bukunya resmi dirilis, dia malah khawatir akankah pembaca Indonesia bersedia membeli karyanya. Dia merasa bukunya yang dijual seharga Rp125.000, di atas harga pasaran buku fiksi lokal. Ketika saya bilang harga segitu masih wajar, dia tertawa terbahak-bahak dan mengatakan, “kamu sih mampu!”

Saya ikut tertawa, tersadar betapa status sosial menuntun kesimpulan harga bukunya terjangkau. “You priviledged bitch!” kata Intan menggoda saya, sebelum menghabiskan kopinya.

Sampul debut novelnya itu menampilkan foto sepatu hak tinggi berwarna merah mengkilap tertutup salju. Saya bertanya, apakah foto itu diambil dari koleksi sepatunya sungguhan atau hanya hasil olah gambar. “Beneran, itu sepatu bisa dipakai. Memang sih yang satu itu untuk gambar sampul saja. Aku punya hampir dua puluh pasang sepatu merah.”

Wizard of Oz adalah salah satu film favorit Intan, biarpun film tersebut menimbulkan perasaan yang campur aduk. “Film itu memiliki potensi untuk menjadi subversif. Kebanyakan karakter yang berkuasa adalah perempuan—si penyihir baik, dan dua penyihir yang dibunuh oleh Dorothy. Jadi kisahnya, Dorothy adalah seorang perempuan manis yang sanggup membunuh penyihir, itu keren banget sih,” kata Intan. “Tapi ujung-ujungnya, film kembali menampilkan ide konservatif bahwa ‘there’s no place like home’, bahwa seorang perempuan akhirnya akan pulang ke rumah dan mulai berkeluarga.”

Dia membuka tasnya dan mengeluarkan sepasang sepatu kulit merah berhak tinggi. “[Sepatu] buat nonton konser nanti!”

Sebelum dia beranjak, saya mengajukan pertanyaan terakhir. Bisakah kita bilang perempuan yang memilih bergentayangan secara sadar merupakan perwujudan dari feminisme. “Tentu saja,” ujarnya. “It has a lot to do with crossing boundaries, which has been a key point in Feminism.”

Kala Abad 19 di Eropa, perempuan yang berkeliaran di jalanan dianggap “cewek bandel,” kata Intan. Begitu pula dalam puisi Charles Baudelaire, istilah flaneur, sang pejalan keliling kota tanpa tujuan, hanya melekat ke laki-laki. Artinya, seorang perempuan cenderung tidak dibolehkan untuk berjalan sendirian. Sebisa mungkin harus ditemani oleh muhrim-nya setiap saat. Kalau tidak, kata Intan, orang-orang merasa perempuan yang gemar ngelayap sebagai pelacur.

“Lagian, kalau surga sudah diklaim sama kalangan konservatif, mendingan kita cari jalan lain,” ujarnya. “That’s why I wrote, ‘cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.”