Aku sedang menyantap bihun goreng yang rasanya keasinan di ruang tunggu kecil Narsih—salon waxing dengan daftar tunggu pelanggan atau sebut saja pengikut fanatik yang sangat panjang. Beberapa saat berikutnya, aku baru menyadari betapa religiusnya semua hal di rumah cabut bulu tersebut. Perempuan yang kutaksir berusia 50-an di sebelahku sedang mengaji surat-surat Al-Quran dari ponselnya, suaranya lirih dan merdu. Kaligrafi Ayat Kursi digantung pada salah satu tembok. Pada tembok lainnya, terpacak kaligrafi Basmalah.
Terus terang, salon waxing ini tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Narsih, terletak di kawasan Jakarta Selatan, adalah layanan cabut bulu legendaris yang ramai diperbincangkan di grup-grup WhatsApp Ibu Kota. Keragaman klien mereka adalah bukti popularitasnya. Di sini, tas Hermès sangat mungkin bersandingan dengan totebag kanvas. Sering pula terlihat sepatu Tod’s berjejer rapi di samping sandal jepit Swallows.
Salah satu daya pikat waxing Narsih adalah harga yang terjangkau. Di mana lagi kita bisa melakukan Brazilian waxing seharga Rp 45.000 dan threading alis seharga Rp35.000? Namun, Narsih tak sekadar soal itu; Narsih adalah tempat di mana kawan lama dapat bertegur sapa, dan pelanggan bisa curhat selepasnya dengan pekerja.
“Setengah angkatan SMA dulu waxing di Narsih,” ujar Euginia Vanya, mahasiswi berusia 20 tahun. “Kalau di kampus, aku kenal lima sampai sepuluh orang yang sering ke sini.”
Vanya bilang, dia jadi berkawan baik dengan seorang staf Narsih, perempuan bernama Vera yang tidak hanya telaten mencabut bulu, sekaligus teman berkeluh kesah yang jempolan.
“Mbak Vera itu pendengar yang baik,” ujarnya. “Jadinya susah engga kelepasan curhat sama dia.”
Sari, pelanggan rutin 33 tahun, merasa Narsih rasanya sudah seperti rumahnya yang kedua.
“Kalau saya waxingnya telat, mbak langganan saya suka komen, ‘Ya ampun, ini hutan apa ya?’” ujar Sari terkekeh. “Dia gemes banget.”
Setelah menunggu satu jam, seorang staf memanggil nomor urutku (#12). Aku memasuki pintu yang di atasnya digantung kaligrafi Basmalah. Sembari berjalan, aku menghitung ada tujuh bilik dalam ruangan itu, masing-masing paling berukuran 2×2 meter. Setiap bilik dipisahkan tirai tipis saja. Aku mengganti pakaian dengan kemben warna salem yang disediakan di atas ranjang. Pada meja, semangkuk gula kental dipanaskan di atas kompor elektrik mungil. Nah, di samping mangkuk aku ngelihat hal paling paling janggal: pisau roti.
Aku berbaring di ranjang sementara staf rumah wax mengolesi gula panas pada bagian kulit seakan-akan aku adalah roti bakar. Rada aneh sih rasanya, tapi aku mencoba boam. Mbak-mbak waxingku ngejelasin bahwa ternyata Narsih sudah buka sejak 2000. Saat itu bisnis ini dijalankan di rumah berbeda, meski masih di komplek perumahan yang sama. Narsih adalah perintis layanan waxing di Jakarta dan sempat menjadi andalan selebriti ibukota.
Rumah ini buka delapan jam setiap hari, dan dijalankan oleh delapan staf. Dua di antaranya bergantian mengurus dapur supaya para pelanggan bisa nunggu giliran sambil nyamil. Layanan di sana sebetulnya b aja: manicure, pedicure, bleaching bulu, dan yang paling favorit adalah Brazilian waxing dan threading alis.
Videos by VICE
Sekitar 15 menit kemudian, tercerabut sudah bulu-buluku sampai ke akarnya. Pisau roti ditempelkan ke area privat saja sudah lumayan horor. Jangan lupa, waxing mau gimanapun rasanya pedih sis. Tapi pesona Narsih memang tidak terletak pada teknologi canggih atau dekorasi merinci. Narsih adalah sebuah kelab, berisi perempuan-perempuan yang memiliki ikatan karena keterampilan dan persahabatan delapan staf/juru masak.