Sebuah video memperlihatkan perempuan yang sangat bersinar ketika memandikan bayinya. Senyum lebar merekah dari parasnya yang ayu. Bentuk badannya pun proporsional. Rumahnya rapi. Bayinya sehat. Segalanya tampak sempurna.
“Menjadi seorang ibu [adalah] hal yang paling membahagiakan,” bunyi caption video tersebut. “Tapi sebagai seorang ibu aku pun seorang istri. Aku ingin menyenangkan suamiku dengan tetap merawat diriku!” lanjutnya.
Videos by VICE
Itu adalah video yang diunggah oleh Shandy Aulia di akun Instagram pribadinya pada 17 Mei 2020. Isinya iklan produk perawatan tubuh yang turut mengesankan bahwa hidupnya sebagai seorang istri sekaligus ibu sangat menyenangkan.
Mungkin memang begitu adanya. Di media sosial, terutama Instagram, bertebaran konten-konten serupa merayakan keistimewaan perempuan sebagai istri dan ibu. Status tersebut dipercaya sebagai puncak kesuksesan kaum hawa dalam hidup.
Tetapi, berbagai citra indah tersebut tidak cukup meyakinkan beberapa perempuan lain untuk mengambil jalan hidup yang serupa. Belakangan di Indonesia bermunculan diskusi soal perkawinan tanpa anak atau childfree. Ada yang secara terbuka mengaku menjalaninya. Misalnya, YouTuber bernama Gita Savitri yang menegaskan telah menutup kemungkinan untuk memiliki keturunan.
Detara pun mengamini jalan hidup ini. Perempuan berusia 24 tahun yang berprofesi sebagai seorang guru itu sejak lama menyadari dirinya tidak bersedia menjadi ibu. “Awalnya karena sebal sama anak kecil. Biasanya anak kecil kan berisik, terus aku kan sensitif sama suara keras,” tuturnya kepada VICE.
Seiring bertambahnya umur, dia semakin yakin atas pilihannya. “Awal nikah mulai ke psikiater, didiagnosa bipolar. Itu ternyata dari keturunan gitu. Makin [mikir] ‘Ngapain aku menurunkan ini ke anakku nanti?’” lanjutnya.
Faktor lain yang menjadi pertimbangannya adalah tentang kondisi finansial. Ini salah satu alasan paling umum yang membuat gentar banyak pasangan menjadi orang tua. Berdasarkan estimasi yang terbit 2020, biaya pendidikan pada 18 tahun mendatang ketika seorang anak mulai masuk kuliah tidak mencapai Rp2 miliar.
Nurul Octavianti atau yang akrab disapa Nunu paham betul beban keuangan yang harus dipikul, seandainya dia dan suaminya memiliki anak. “Ada yang bilang banyak anak banyak rezeki. Aku enggak percaya tuh sama yang gitu-gitu,” kata perempuan 29 tahun itu.
Menjadi orang tua juga adalah vokasi yang secara otomatis memerlukan kemampuan khusus. Setelah menikah tahun lalu, Nunu merasa belum dibekali kecakapan untuk itu, baik dari segi kesehatan fisik maupun kesiapan mental. Tuntutan profesinya sebagai seorang Creative Chef di sebuah perusahaan swasta juga sangat tinggi. “Kalau hamil udah pasti harus resign sih,” celetuknya. Ini adalah situasi yang sangat dia hindari sebab rumah tangga kecilnya masih belum stabil secara finansial.
Tetapi, bagi Intan uang bukan jadi persoalan. Dia dan suami yang sudah dinikahinya lebih dari lima tahun percaya tidak seharusnya membawa manusia lain tanpa dosa ke dunia yang penuh kekacauan, khususnya dari segi lingkungan. Suami Intan yang punya usaha di bidang pertanian dan peternakan mulai merasakan dampak perubahan iklim.
“We know firsthand that the world is NOT going to be better in the future,” ujarnya lewat pesan tertulis pada VICE. “Jadi, kita berdua sampai benar-benar ngerasa bersalah atas masa depan anak kami yang imajiner ini. Kami kasihan di masa depan apa dia masih bisa hidup layak seperti manusia di zaman sekarang.”
Dalam 10 tahun terakhir banyak perempuan di hemisfer bagian barat mengakui mereka ingin berkontribusi dalam menunda kehancuran bumi dengan menolak melahirkan. Populasi dunia saat ini melampaui 7,8 miliar jiwa. PBB memprediksi pada 2050 akan ada 9,7 miliar penduduk sementara berbagai sumber daya dan energi dikhawatirkan kian terbatas.
Sebuah penelitian yang dilakukan tim ilmuwan Swedia pada 2017 menyimpulkan jika setiap keluarga mempunyai satu anak lebih sedikit, maka akan ada 58,6 ton emisi gas karbon yang bisa direduksi setiap tahun.
“Enggak sampai hati mikirin kehidupan generasi mendatang kalau laju kerusakan bumi separah sekarang selama beberapa tahun mendatang,” tegas Intan.
Semakin banyak perempuan yang vokal soal pilihan personal mereka merupakan suatu pertanda norma lawas soal peran perempuan mulai goyah. Tentu saja prosesnya tidak mudah karena nilai keluarga secara tradisional masih mengakar sangat kuat.
Pasangan yang memilih menikah tanpa memiliki keturunan masih berisiko menghadapi stigma negatif, baik di Indonesia maupun negara lain. Bagi yang tidak sanggup menjadi target tatapan aneh dan komentar buruk, mereka terpaksa mengikuti arus.
“Kesulitannya adalah masyarakat memberikan tekanan dengan keteguhan tiada henti, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, bahwa tidak punya anak bisa membuat orang dewasa paling sejahtera sekalipun terasa seperti seseorang yang diasingkan secara sosial,” tulis Nicki Defago dalam buku Childfree and Loving It.
Perempuan yang menolak melahirkan pun dituding sebagai sosok yang egois. “Salah. Orang tua mempunyai anak karena mereka yang mau, bukannya demi kebaikan masyarakat,” tegasnya.
Nicki melihat banyak bukti bahwa “beberapa orang tua juga bisa jadi egois”. Dia mencontohkan bapak dan ibu yang membombardir anak mereka dengan pertanyaan beruntun soal kapan menikah dan punya anak termasuk ke dalam kategori ini. Seandainya berjiwa besar, orang tua tidak akan memaksakan pilihan hidup kepada anak-anak mereka.
Menghindari perselisihan dengan keluarga juga yang membuat Detara belum terbuka mendeklarasikan keputusannya kepada mertua. “Keluarga dia belum [tahu],” ungkapnya. Ketika rasa ingin tahu mereka mulai mengusik, dia dan suaminya memilih melontarkan tanggapan diplomatis. “[Jawab] ‘Belum siap’, gitu aja,” ujarnya.
Detara meyakini stigma bahwa nilai perempuan terletak pada kemampuan reproduksi “jelas salah” sebab ada banyak cara non-tradisional bagi mereka untuk menyalurkan sisi maternal. Baginya, murid-murid yang diajarnya sudah cukup membuat merasa seperti ibu.
Di sisi lain, masyarakat menyebarkan propaganda bahwa perempuan yang sempurna lahir dan batin adalah yang melahirkan anak mereka sendiri. Kegigihan masyarakat dalam melakukannya seperti sedang menjalankan tugas negara saja.
Sedangkan keterbukaan soal pilihan untuk tidak punya keturunan membuat keluarga besar suami Intan murka. “Pernah dia disuruh kawin lagi sama omnya karena aku enggak segera hamil. Dia enggak tahu aja kalau keputusan childfree itu keputusan kami berdua,” ungkapnya.
Sementara itu, suami-istri yang menjalani pernikahan tanpa anak sendiri tidak pernah ambil pusing soal pilihan pasangan lain. Hanya karena perempuan secara biologis mampu mengandung dan melahirkan, bukan berarti mereka harus melakukannya.
“Orang-orang yang childfree tidak butuh mempertanyakan orang tua secara terus-menerus—fakta bahwa mereka punya anak bukan menjadi masalah untuk kami,” tulis Nicki. “Betapa tidak sopannya saya jika bertanya ‘Kamu punya anak? Kamu sangat tersesat!’. Tapi ini selalu terjadi sebaliknya.”
Ada juga anggapan bahwa ibu menjadi aktor utama yang paling sering gerah melihat perempuan-perempuan tanpa anak. “Di kantorku dulu, senior-senior yang udah jadi ibu sering ceramahin aku, sampai dibilang ‘Nanti kalau udah tua siapa yang ngurus kamu?’,” kata Niken, seorang karyawan swasta yang pilih fokus karir ketimbang momongan.
Memposisikan anak sebagai asuransi hidup bukan konsep asing di Indonesia. Banyak pasangan memutuskan menjadi orang tua salah satunya agar ada yang bisa menemani dan merawat mereka ketika menginjak usia senja.
Artinya, anak yang tidak memilih untuk dilahirkan malah dibebani tanggung jawab dari sisi tenaga, waktu dan uang. Mentalitas macam ini bisa dikategorikan sebagai sikap egois dari orang tua.
Perempuan-perempuan yang teguh menempuh jalur childfree dalam pernikahan mereka sesungguhnya sudah sadar menjadi ibu bukan sesuatu yang gampang. Ada serangkaian ekspektasi yang menanti, dan jika gagal memenuhi, mereka akan dianugerahi gelar sebagai ibu yang buruk.
Kehati-hatian mereka tidak lantas menghentikan masyarakat umum dalam memberikan tekanan agar bereproduksi tanpa memikirkan kemungkinan lain: penyesalan menjadi ibu. Orna Donath, Sosiolog asal Israel mendedikasikan satu buku khusus untuk membahas tentang isu tersebut.
“Karena menjadi ibu berada di barisan hal-hal yang bersifat alamiah, tidak terpikirkan bahwa perempuan bisa menyesal menjadi ibu. Tetapi perasaan ini nyata dan memancing reaksi-reaksi sangat buruk, pertama di kalangan perempuan sendiri, tapi juga di antara lingkungan keluarga mereka dan di masyarakat,” tulis Orna dalam bukunya, Regretting Motherhood.
Seorang perempuan di Jakarta yang menolak identitasnya diungkap karena khawatir menerima serangan, mengaku pernah mendengar ibu yang merasakan ini. “Ada temanku yang ngomong sendiri ke aku kayak gitu,” kata dia kepada VICE.
“Zaman kuliah dia termasuk yang sangat berprestasi. Once married, terus nikah punya anak, dia di rumah ngurus anak dan ngomong kayak nyesel punya anak. Tapi aku rasa dia ngomong gitu karena jenuh aja.”
Orna sendiri ingin masyarakat membedakan antara rasa ragu dan kecewa begitu seorang perempuan melakoni peran sebagai ibu. Dua-duanya adalah perasaan yang valid, tapi melihatnya sebagai sebuah kesamaan justru merugikan perempuan yang memang menyesal. Padahal, ini persoalan serius.
“Menyamakan keraguan dan kekecewaan, memperlakukan keduanya seolah sesuatu yang sama, menghapus kemungkinan untuk mendengarkan apa yang mau dikatakan para perempuan yang meratapi posisi sebagai ibu,” tulisnya.
Mereka mengalami tekanan tiada henti untuk menjadi sosok sempurna. Mereka pun khawatir mengungkapkan kekecewaan secara terbuka akan menempatkan diri mereka sebagai ibu yang buruk. Ini lantaran masyarakat tidak mengizinkan kita berpikir bahwa melahirkan dan membesarkan anak bisa jadi pengalaman negatif.
“The society will label her as ungrateful, vile bitch,” kata Prisca Akhaya, seorang ibu dari dua anak yang tidak kaget apabila banyak yang diam-diam merasa kecewa. Bahkan jika waktu bisa diputar kembali, dia akan pilih menunda kehamilan sampai mencapai stabilitas finansial—sebuah pertimbangan yang patut dinormalisasi.
Rasa kecewa kemudian diasosiasikan dengan perlakuan yang diwarnai kekerasan verbal atau fisik kepada anak mereka. “Kalau semua perempuan merasa auto-bahagia setelah jadi ibu, enggak mungkin ada kasus ibu bunuh anak,” ujar ibu lainnya kepada VICE.
Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, ada pula para ibu yang meski menyesal, tetap berusaha menyayangi buah hati mereka. Oran melihat masalah ini bukan sebagai hitam dan putih, tetapi bahwa banyak ibu merasa sendirian dalam menghadapi dilema soal perasaan mereka adalah sebuah realita.
Nunu bersyukur saudaranya yang sudah memiliki satu anak bersedia jujur tentang realitanya. Ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. “Abis nikah, kakak aku yang paling tua langsung ngomong ‘Oke gue bayarin elo pasang [kontrasepsi] spiral. Elo jangan dulu punya anak. Punya anak tuh susah. Punya anak tuh ribet’,” kata dia.
Rupanya bukan cuma perempuan yang merasa kehidupan sebagai orang tua tidak selalu menjanjikan kepuasan batin seperti yang dipropagandakan lewat televisi, pendidikan, ceramah keagamaan, arisan, dan media sosial.
“Kadang aku punya pikiran gila: di dunia paralel lain aku memilih single, jadi eksmud, bebas sleeping around,” ungkap seorang laki-laki yang sudah mempunyai dua anak kepada VICE. Dia meminta tetap anonim karena alasan keamanan.
Laki-laki, menurut dia, turut andil dalam memaksakan perempuan menjadi ibu walau dalam hati mereka tidak bersedia.
“Bagi pria, salah satu simbol kejantanan [yang terlihat] adalah memiliki keturunan. Maskulinitas bagi pria bukan bagaimana he treats his woman, bukan bagaimana dia memuaskan wanitanya (publik tidak bisa melihat), tapi adalah hasil akhirnya,” ujarnya lewat pesan teks. Dengan kata lain: anak.
“Pasangan yang tidak punya keturunan bisa jadi dicap mandul atau bahkan tidak mampu berhubungan seks dengan baik,” imbuhnya. “Semacam pride di bawah sadar, dan jeleknya kadang yang jadi korban adalah wanita.”
Orna menyebut ini salah satu sumber kekecewaan karena istri akhirnya terpaksa mengikuti kemauan suami demi mempertahankan rumah tangga mereka. Dari sini juga sebetulnya bisa disimpulkan bahwa sebelum pernikahan terjadi, pasangan sebaiknya menganut nilai-nilai yang sama.
Berdasarkan pengalaman Detara, calon suami dan istri harus saling terbuka tentang “hal-hal yang sifatnya prinsip” seperti tentang mempunyai anak, mengelola uang hingga pandangan politik untuk meminimalisir konflik di kemudian hari.
“Cari tahu deal breaker-nya apa. Kalau enggak cocok, ya udah bye-bye aja daripada wasting time,” tegasnya.