Konten di Medsos Seputar FWB Tunjukkan Lemahnya Pendidikan Seksual Netizen Indonesia

FWB, zina, dan klamidia: konten di medsos tunjukkan lemahnya pemahaman netizen akan pendidikan seksual

Beberapa waktu lalu, kanal Youtube bernama Voox menuai kontroversi akibat kontennya yang berjudul “GirlsClass”. Konten ini menampilkan beberapa influencer yang berbagi pengalaman seksual mereka – dari kiat masturbasi hingga menjalin relasi friends with benefits atau FWB (hubungan seks kasual dengan seorang teman).

Voox awalnya mengatakan konten mereka adalah bentuk “edukasi seks”. Menanggapi ini, netizen hingga seksolog mengkritik isinya yang minim pendidikan seksual dan lebih fokus pada “pamer” pengalaman seksualitas.

Videos by VICE

Kejadian ini memantik rasa ingin tahu saya, sebetulnya sejauh mana pengetahuan netizen Indonesia akan isu seksualitas dan kesehatan seksual?

Saya melakukan riset etnografi digital (belum dipublikasikan) yang mengurai data percakapan di Instagram, Twitter, dan Youtube terkait salah satu video GirlsClass dari Voox. Analisis data berjalan pada 17-22 Juni 2022 menggunakan mesin pengumpul data daring, Netlytic dan NVivo.

Hasilnya, meski sebagian netizen memahami isu tersebut dengan cukup baik, mayoritas masih belum memiliki pengetahuan yang mendalam terkait seksualitas dan kesehatan seksual.

Ini terlihat setidaknya melalui tiga hal dalam konten dan obrolan mereka: 1) salah memahami apa itu edukasi seks, 2) hanya fokus pada sebatas konsekuensi keagamaan dari praktik seks yang berisiko, dan 3) rendahnya pengetahuan terkait infeksi menular seksual (IMS).

Temuan ini mengkhawatirkan mengingat sebagian remaja dan orang dewasa muda di Indonesia aktif secara seksual.

Beberapa studi memperkirakan bahwa dari kelompok usia tersebut, persentase yang pernah melakukan hubungan seks pra-nikah berkisar antara 9% hingga 33%. Angka ini pun bisa jadi lebih kecil dari realita di lapangan.

Banyak dari mereka juga melakukan aktivitas seksual dengan berisiko. Menurut studi tahun 2020 yang mengulas data riwayat seksual anak muda Jakarta, hanya 40% dari responden lajang yang aktif secara seksual rutin menggunakan kondom selama berhubungan seks dalam sebulan terakhir.

Salah paham pendidikan seksualitas

Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), pendidikan seksualitas tidak hanya sebatas memberikan informasi terkait organ reproduksi.

Pendidikan seksualitas yang baik bersifat komprehensif, yakni memiliki setidaknya tujuh komponen: kesehatan reproduksi, wawasan terkait gender, hak seksual, hubungan manusia, keberagaman, pemahaman tentang kekerasan, dan kepuasan.

Yang lebih penting, pendidikan seksualitas tidak mendorong anak dan remaja melakukan kegiatan seksual berisiko.

Mayoritas literatur menyatakan internet memberikan ruang bagi anak dan remaja dalam mengakses pengetahuan seksualitas yang masih tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Masalahnya, tidak semua citra dan informasi seksualitas di internet dapat dikategorikan sebagai pendidikan seksualitas.

Dalam analisis data percakapan yang saya lakukan, saya mengamati sebuah obrolan antara influencer dalam video Voox sebagai berikut:

Tanya: “Apa sih alasan kalian mau ONS-an (one night stand, atau hubungan seks semalam)? Karena fisik atau sebatas mabok terus sange?”

Jawab: “Ya sange aja sih sebenernya – efek alkohol gitu kan, bikin gerah.”

Mengacu pada pendidikan seksualitas komprehensif, alih-alih memberikan pemahaman terkait keamanan personal dalam hubungan seks, percakapan di atas justru menggambarkan praktik seksual yang bisa jadi tidak melibatkan persetujuan karena dilakukan di bawah pengaruh alkohol.

Konten tersebut sekaligus memperlihatkan tidak semua orang yang membuat konten seksualitas di internet punya kapasitas menyampaikan pendidikan seksual secara tepat.

Meski demikian, ada juga beberapa komentar yang menggambarkan adanya kesadaran maupun permintaan akan pendidikan kesehatan seksualitas dan reproduksi yang layak, seperti dalam cuitan berikut:

Aib, dosa, dan zina

Riset saya juga menemukan bahwa internet masih menjadi tempat munculnya perdebatan yang justru mempersulit pelaksanaan program pendidikan seksualitas di Indonesia.

Narasi tentang zina, neraka, dosa, dan aib menggambarkan bagaimana standar moralitas ideal berbasis agama masih kental digunakan untuk mencegah remaja melakukan praktik seks pra-nikah.

Simak dua komentar netizen di Instagram dan Youtube terkait salah satu konten Voox:

“Jaga hasrat sblm nikah makannya jangan pacaran lgsg nikah biar ga nambah dosa” – komentar di Youtube terkait salah satu konten Voox.

“Ya ga bisa dilarang sih tiap2 orang maunya apa gitu. Nikmati hidup ala surga di dunia, tapi siap-siap dengan neraka di akhirat. Itu aja sih dari gua” – komentar di Instagram terkait salah satu konten Voox.

Langgengnya narasi ini berpotensi meminggirkan pengetahuan penting tentang kesehatan seksual dan reproduksi – dari ketimpangan kuasa yang dapat memunculkan kekerasan seksual hingga risiko IMS.

Wawasan tentang IMS masih rendah

Salah satu tujuan edukasi seks adalah memberikan wawasan tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Ini termasuk risiko IMS yang dapat timbul akibat hubungan seksual seperti HIV/AIDS, atau HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks atau rahim.

Namun, salah satunya akibat langgengnya standar moralitas ideal dalam perdebatan seksualitas, studi saya juga menemukan bahwa kaum muda memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang IMS.

Mari kita simak kembali dua komentar netizen di Instagram dan Youtube:

“Kok bisa sih konten yang jelas jelas ngomongin gonta ganti pasangan dibilang s3x education? Sayang banget, kalo belum tau sakitnya, pengobatan kalau udh kena penyakit menular seksual 🥲. Kebetulan saya kerja sebagai farmasi tiap hari nyiapin arv buat pasien, rasanya mirisssssssss. Pasien HIV udh banyak kayak apa. Gak bisa sembuh. Kalau udh gini nyalahin siapa?”

“Ngeri gue sama konsep Fwban yang mereka bilang, ngeri penyakit-penyakitnya, contohnya HIV.”

Walaupun salah satu cara penularannya memang melalui hubungan seksual, namun banyak netizen nampaknya tidak tahu bahwa penularan HIV juga bisa melalui penggunaan jarum suntik, kehamilan, persalinan, atau menyusui.

Selain itu, data percakapan yang saya analisis juga menggambarkan minimnya pengetahuan akan jenis infeksi menular seksual lain yang sangat berbahaya. Di antaranya gonoremeningokokusHepatitis B dan C, dan klamidia.

Data percakapan ini juga sejalan dengan temuan Kantor Regional UNICEF di Asia Timur dan Asia Pasifik pada tahun 2019 bahwa 80% perempuan dan 56 persem laki-laki usia 15-24 tahun di Indonesia tidak dapat menyebutkan jenis dan gejala IMS.

Pentingnya pendidikan seksual di sekolah

Riset ini memperkuat literatur sebelumnya bahwa pemahaman remaja Indonesia terkait seksualitas masih rendah. Tapi, selain itu, studi ini juga memperlihatkan bahwa media sosial tak selalu menjamin akses kepada pendidikan seksualitas yang tepat.

Alih-alih menjadi ruang demokrasi untuk mencari informasi yang seringkali tabu dibicarakan antara orang tua dan anak, media sosial dapat mengandung banyak konten dan komentar kaum muda yang bertentangan dengan tujuan pendidikan seksual itu sendiri.

Ini mengonfirmasi penelitian terdahulu bahwa kaum muda butuh pelatihan dan arahan tentang cara mendapat informasi terkait seksualitas yang dapat dipercaya. Studi ini sangat penting dalam mendorong masuknya pendidikan seksualitas komprehensif ke dalam kurikulum sekolah, disertai dengan penguatan literasi digital di dalamnya.

Sayangnya, memberikan pendidikan seksual pada anak dan remaja di Indonesia bukanlah perkara yang mudah.

Berlindung di balik alasan “adat ketimuran” dan “nilai agama”, masyarakat Indonesia banyak yang masih terus memelihara nuansa tabu dalam mendiskusikan seksualitas. Pemerintah dan lembaga negara lain bahkan kerap ikut serta menentang gagasan pendidikan seks bagi anak dan remaja.

Tapi, jika kita ingin membekali remaja dan orang dewasa muda di Indonesia untuk menghadapi kerentanan seksual mereka – dari IMS, ancaman kekerasan seksual, hingga kehamilan di luar usia layak – pendidikan seksual harus jadi agenda prioritas Indonesia.


Endah Triastuti adalah dosen sekaligus peneliti di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.