Korban Jiwa Perang Narkoba ala Indonesia Mulai Berjatuhan

Semua ini bermula delapan bulan lalu ketika Kepala Badan Narkotika Nasional memuja-muji perang narkoba yang dikobarkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Budi Waseso menyebut nyawa seorang pengedar narkoba “tak ada harganya,” seraya mendesak polisi Indonesia untuk “menembak di tempat bandar narkoba dan para penggunanya.”

Bulan lalu, Presiden Joko Widodo tampaknya segendang dan sepenarian, meminta pihak berwenang untuk tidak “memberi ampun,” terutama bagi para pengedar narkoba asing. “Sudah langsung ditembak saja. Jangan diberi ampun,” ujar Jokowi dalam sebuah pidatonya.

Videos by VICE

Ketika kepala BNN menghujani perang melawan peredaran narkoba d Filipina—yang menelan ribuan korban pembunuhan tanpa pengadilan—kami di VICE Indonesia bertanya-tanya apakah ini cuma cara Waseso agar terlihat gagah. Kini, delapan bulan berlalu, asebuah wawancara yang diturunkan oleh Jakarta Post menunjukkan bahwa kata-kata Budi Waseso benar-benar serius.

Pihak berwenang Indonesia telah menembak mati sebanyak 55 WNI dan WNA dalam penggerebekan narkoba antara bulan Januari dan Agustus, mengacu pada data yang dimiliki oleh kelompok pembala HAM Amnesty International. Survei laporan yang dilakukan oleh Jakarta Post pada tahun 2016 mengungkap hanya lima orang tewas dalam kejadian serupa.

Peneliti Amnesty International mengatakan bahwa penembakan pengedar narkoba oleh polisi semakin rutin terjadi setelah Jokowi mengeluarkan pernyataan di atas.

“Setelah perintah Jokowi keluar, delapan terangka pengedar Narkoba ditembak mati,” kata Bramantya Basuki, peneliti Amnesty International. “Insiden terakhir adalah pembunuhan pengedar narkoba di Surabaya, Jawa Timur Jum’at lalu.”

Budi Waseso, selaku Kepala Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa aparat hanya menjalankan perintah dalam kasus penembakan mati ini. Semuanya dilakukan sesuai dengan SOP, menurut seorang juru bicara Polisi. Ketika seorang pengedar luka parah ditembak polisi, sang pengedar diduga berusaha merebut senjata seorang petugas, seperti yang dilansir beberapa surat kabar setempat.

“Perintah Presiden sudah jelas, kita harus menindak tegas pengedar narkoba dari luar negeri,” ujar Budi Waseso pada awal media.

Mari kita tempatkan ini pada konteksnya. Semua orang, awak pers, pejabat sampai aktivis HAM membandingkan perang narkoba di Indonesia dengan perang serupa di Filipina. Mari kita lihat perbandingan sebenarnya.

Perang narkoba Filipina telah menelan korban pembunuhan tanpa pengadilan dan kasus-kasus pembunuhan misterius lainya lebih dari 7.000 orang. Angka ini disangkal oleh aparat Filipina. Menurut mereka, angka ini dilebih-lebihkan. Catatan resmi kepolisian Filipina menunjukkan jumlah korban perang narkoba Duterte “hanya” sebanyak 2.679 jiwa.

Namun, menurut para ahli perbedaan tersebut tak berarti. Perang narkoba Duterte membuka kesempatan bagi kekerasan taraf mengerikan di mana sebagian besar mayat dapat dianggap konsekuensi kebijakan presiden. Sementara itu, kepolisian Filipina telah dituduh secara sengaja meremehkan jumlah warga yang terbunuh dengan mengirimkan mayat-mayat ke rumah sakit setempat—merusak tindak kejadian perkara dan merusak mayat tersebut dalam prosesnya.

Perang narkoba di Indonesia terkesan jinak kalau dibandingkan dengan Filipina. Namun Filipina dan Indonesia bukan wilayah-wilayah yang mudah dibandingkan dalam urusan kekerasan. Angka pembunuhan per kapita di Filipina sepuluh kali lipat dari Indonesia. Filipina memiliki budaya senjata api yang paling mirip Amerika Serikat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Kita tidak bisa asal membandingkan kedua negara ini untuk memahami permasalahan dengan lebih baik.

Jadi apa yang dapat kita bandingkan dengan 55 kematian ini? Bagaimana kalau kita membandingkannya dengan kematian di luar jalur hukum dan eksekusi penyelundup narkoba? Sampai saat ini, Indonesia telah mengeksekusi 25 orang atas penyelundupan narkoba dan tindak kriminal lainnya terkait narkoba. Angka itu merupakan setengah dari jumlah penyelundup narkoba yang ditembak anggota kepolisian selama delapan bulan terakhir.

Lima puluh lima pembunuhan di luar hukum selama delapan bulan merepresentasikan peningkatan intensitas perang Indonesia melawan narkoba dalam kepemimpinan Jokowi. Namun ini hanyalah salah satu angka yang menunjukkan seberapa jauh pihak berwenang di Indonesia bertekad untuk memerangi narkoba. Ketika Jokowi mengumumkan rencana untuk memulai kembali eksekusi penyelundup narkoba pada awal kepresidenannya, menurut estimasi ada sekitar 130 orang dalam daftar hukuman mati atas dakwaan terkait narkoba. Pada 2016 saja, tambahan 45 orang dihukum mati atas penyelundupan narkoba.

Jokowi telah melaksanakan eksekusi bagi 18 orang sejak awal menjabat pada 2014—angka ini mendekati rekor orang (23) yang dieksekusi pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono selama sepuluh tahun menjabat. Mereka yang dieksekusi SBY selama dua periode kepresidenannya adalah gabungan terdakwa teroris, pembunuh, dan penyelundup narkoba.
Semua orang yang dieksekusi selama Jokowi menjabat dua tahun terakhir adalah terdakwa penyelundup narkoba. Pihak berwenang Indonesia mengumumkan rencana untuk mengeksekusi 30 narapidana mati kasus narkoba tahun ini. Sejauh ini rencana tersebut masih ditunda.

Maret tahun ini, pihak berwenang di penjara mulai memindahkan sekumpulan tahanan baru ke “pulau eksekusi” di negara ini. Sejauh ini belum ada pernyataan resmi mengenai kapan, dan apakah, eksekusi ini akan berlanjut.