FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya Korupsi

Birokrat Ajak PNS Batam Iuran Bantu Terpidana Korupsi, Simbol Jiwa Korsa Kebablasan

Koruptor dana pendidikan Al Quran lewat surat resmi Sekda hendak dibantu bayar denda. Setelah ramai dikecam, pemkot menganulir edaran tersebut. ICW menyebutnya kemunduran bagi penegakan hukum.
PNS di Indonesia mengenakan seragam Korpri
Ilustrasi pegawai negeri sipil. Sumber: Setkab. CC 2.0

Gotong royong dan jiwa korsa adalah frasa yang paling sering disebut untuk menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Frasa ini, saking populernya, sering digunakan sembarangan dalam segala kasus. Mulai dari gotong royong positif membantu saudara yang sakit dan kurang biaya, gotong-royong bersih-bersih kampung, gotong royong ikut unjuk rasa ditunggangi agenda politik, sampai gotong royong perkara korupsi.

Iklan

Pola gotong royong unik sekaligus memalukan seperti yang disebut terakhir, sayangnya nyaris terjadi di dunia nyata, tepatnya di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Melalui surat edaran, pejabat di pemerintah kota pada 26 Desember 2018 sempat meminta jajaran pegawai negeri sipil (PNS) di wilayahnya ikut patungan membayar biaya denda subsider seorang terpidana korupsi.

Abdul Samad, mantan PNS di lingkungan Kota Batam, divonis Mahkamah Agung empat tahun penjara subsider satu tahun, ditambah denda Rp626,36 juta. Kalau denda tak dibayar, Samad yang hampir bebas harus menjalani kurungan tambahan. Jika dibandingkan total korupsinya yang mencapai Rp6,3 miliar, denda tambahan tadi tak sampai 10 persen dari kerugian negara yang diperbuat oleh terpidana.

Lagipula nih, uang yang dikorupsi oleh Samad, mantan Kasubbag Bantuan Sosial bagian Kesra Sekretariat Daerah Kota Batam, sebetulnya diperuntukkan sebagai dana hibah bantuan sosial untuk Guru Taman Pendidikan Al Quran. Bagusnya daripada jiwa korsa dan gotong royong ngebayarin uang dendanya, kenapa PNS setempat enggak sekalian jiwa korsa gotong royong menggelar demo berseri atas tuduhan penistaan agama. Itu duit buat pendidikan Al Quran lho yang dikorupsi!

Sayangnya yang terjadi di negara ini sering di luar akal sehat. Pejabat pemerintah Kota Batam justru mengeluarkan surat edaran meminta PNS ikut patungan membantu Samad. Surat edaran tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Batam Jeffridin. Merujuk laporan BBC Indonesia, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kota Batam, M. Sahir, mengakui surat edaran tersebut asli. Para PNS sempat diminta mengumpulkan sumbangan minimal Rp50 ribu per orang.

Iklan

"Dasarnya sederhana sekali, ini terkait jiwa korsa terhadap sesama pegawai," ujar Sahir di Kantor Wali Kota Batam kepada BBC Indonesia.

Peneliti bidang hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menyatakan hukuman bagi seorang terdakwa hanya berlaku bagi individu tersebut, bukan tanggung jawab instansi tempat dia dulu bekerja. Tidak ada dasarnya sebuah instansi mengeluarkan surat yang sifatnya formal meminta kolega kerja membayar denda untuk meringankan hukuman seorang terpidana.

Dana patungan ini, menurut Lalola, memang tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan kasus pidana korupsi Samad. Artinya, seandainya tidak disorot media dan sukses terkumpul sejumlah uang, pejabat Pemkot Batam belum tentu melanggar hukum. Namun, semangat dari edaran untuk membantu koruptor itu perlu dilihat sebagai kemunduran penegakan hukum di Indonesia.

"Enggak masuk akal ketika anggota instansi melakukan pidana kemudian anggota instansi lainnya turut bertanggungjawab. Karena tidak ada dasarnya melakukan patungan itu," kata Lalola kepada VICE. " Kalau mereka melakukan itu jadi contoh buruk, seolah memposisikan instansinya toleran terhadap korupsi dan memberikan dukungan terhadap pelakunya."

Pemkot Batam mengakui surat permohonan iuran itu memuat kesalahan administrasi. Yaiyalah, itu namanya menyalahgunakan wewenang, pakai jabatan dan legitimasi lembaga pemerintahan untuk mengeruk uang yang tak ada dasar hukumnya, dan ujung-ujungnya dipakai buat kepentingan pribadi orang lain (baca: koruptor).

Iklan

"Memang mekanismenya tidak tepat, kami segera menarik surat edaran tersebut dari para pegawai di lingkungan pemerintah Kota Batam," ujar Sahir seperti dikutip merdeka.com.

Kasus ini ramai mulai 10 Januari lalu, karena disorot oleh media dan foto edarannya tersebar ke media sosial, menyulut kecaman masyarakat. Setelah gaduh, pada 15 Januari lalu Sekretaris Daerah Kota Batam yang menandatangani edarannya, Jefridin, menganulir surat bermasalah itu.

"Karena [surat edaran] menuai tanggapan beragam di masyarakat, akhirnya putusan itu kami batalkan. Sudah kok. Sudah saya anulir,” ujar Jefridin kepada media lokal.

Bocornya surat edaran ini sukses jadi tertawaan banyak orang. Kok bisa-bisanya ada PNS senior daerah berniat mengajak rekan kerjanya patungan membantu seorang koruptor. Pengamat reformasi administrasi dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Yogi Suprayogi Sugandi, menilai kasus ini tidak bisa dianggap hanya kejadian absurd saja untuk ditertawakan atau dikecam.

Ada dugaan maladministrasi oleh pemkot Batam yang harus diselidiki lebih lanjut. "[Surat edaran] melanggar etika, perilaku ASN yang tentang integritas. Yang kedua, integritas si Kepala BKD (badan kepegawaian daerah), yang mengeluarkan surat itu dipertanyakan. Atas perintah siapa (surat itu dikeluarkan)?" kata Yogi saat diwawancarai BBC Indonesia.

Ombudsman turut menyayangkan mentalitas sebagian petinggi birokrat di Kota Batam yang amat toleran pada korupsi koleganya. Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala menduga kasus ini menggambarkan betapa perilaku korup di Batam menyangkut banyak pihak.

Iklan

"Kalau jadi fenomena sosial, ketika ada pihak ditangkap malah ramai-ramai didukung," ujarnya seperti dikutip CNN Indonesia.

Insiden di Batam ini kian memperburuk citra PNS di Indonesia yang terlanjur lekat dengan citra korupsi. Upaya sebagian lembaga pemerintah lainnya untuk bersih-bersih jadi ternoda lagi, akibat ulah sebagian pejabat di daerah.

Pengamat reformasi birokrasi Medrial Alamsyah kepada VICE menilai persepsi buruk masyarakat soal maraknya praktik korupsi (atau toleransi terhadap korupsi) dalam tubuh aparatur sipil negara sulit dikikis cepat. Kecuali bangsa Indonesia sukses mengubah sistem rekrutmen dan tata kelola kepegawaian di republik ini.

Tantangannya tidak mudah, apalagi di berbagai provinsi yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat, posisi sebagai PNS dianggap jalan terbaik memperkaya diri. Artinya, persoalan reformasi birokrasi ini juga mencakup perkara mentalitas—konsep abstrak yang lebih sulit diatasi dibanding sekadar memperbaiki pola kerja, transparansi anggaran, dan perubahan seleksi CPNS.

"Bayangkan misalnya ada orang yang ingin jadi PNS itu niatnya dianggap orang hebat dan terhormat. Padahal kalau secara teori, yang namanya PNS itu kan civil servant, untuk melayani masyarakat,” ujar Medrial kepada VICE. "Sementara, ada saja orang yang masuk niatnya pengen dianggap orang terhormat biasa dilayani. Kita tidak punya sistem yang bisa mem-breakthrough keluar dari semua ini."