Artikel ini pertama kali tayang di VICE Magazine berkolaborasi bareng Noisey. Majalah VICE edisi khusus musik bisa didapatkan di sini.
Di era digital, kurator berkuasa. Kita tidak lagi membeli album musik, yang kita dapatkan justru santapan prasmanan all-you-can-eat mencakup hampir setiap genre musik yang pernah dibuat manusia. Dikepung lautan musik sebanyak ini, perusahaan streaming yang paling berkuasa—contohnya Spotify dan Apple Music—sukses lantaran memiliki sumber daya untuk mengorganisir dan mengatur pergerakan konsumsi musik masyarakat. Spotify dan Apple ibaratnya kurator kelas kakap. Para kurator besar ini mengubah musik menjadi semacam layanan publik, bahkan tanpa kita sadari, sekarang telah membelokkan persepsi manusia kebanyakan atas makna menjadi seorang musisi.
Videos by VICE
“Kita di era sekarang tidak lagi berada di dalam ruang apresiasi musik,” kata Daniel Ek, pendiri Spotify, saat diwawancarai Majalah New Yorker pada 2014. “Kita berada di dalam ruang momen.” Artinya, kita mendengarkan musik karena kita ingin musiknya melainkan karena kita sedang butuh musik yang cocok untuk momen tertentu.
Pernyataan Ek harus mulai kita anggap serius, walaupun sekilas bertentangan dengan akal sehat. Spotify setiap bulannya membayar royalti ke pemegang hak cipta lagu, demi menyajikan katalog mereka dalam bentuk streaming. Kemudian, algoritma data Spotify akan merekomendasikan lagu lain kepada pengguna, yang masih satu genre. Dengan cara seperti itulah Spotify menciptakan playlist terkurasi, dan sangat spesifik, mulai dari genre yang mikro banget (“Christian Dance Party,” “Coffee Table Jazz”), genre berkaitan sama mood (“Melancholia,” “GalauIndoback2back”), dan musik penunjang aktivitas (“Coping with Loss,”). Tiap-tiap playlist sesuai kebutuhan tadi memiliki ratusan ribu hingga jutaan pelanggan.
Karena Spotify tidak membeberkan bagaimana mekanisme algoritma mereka memilih lagu, musisi yang berharap lagunya dimasukkan dalam playlist ini harus mengandalkan keberuntungan semata. Cara semacam itu dulu yang melejitkan karir duo EDM the Chainsmokers. Saat diwawancarai Billboard keduanya mengaku memulai karir menciptakan remix up-tempo lagu indie populer demi mendaki halaman aggregator blog musik Hype Machine. Mereka mencapai ketenaran lewat perilisan “#Sellfie,” sebuah lagu yang mengejek media sosial, namun tak malu tetap mengeruk keuntungan darinya.
Setahun terakhir, produser lo-fi macam DJ Boring dan DJ Seinfeld—yang lagu-lagunya menjembatani musik house klasik Chicago dengan indie pop santai kekinian—sukses mendapatkan jutaan views di YouTube. Sebagian karena algoritma YouTube memetakan preferensi pemirsanya. Ketika lagu-lagu rekomendasi Youtube langsung dimainkan (auto-play) setelah video awal, pendengar pasif sebagian besar rupanya tidak akan menolak. Dari situlah genre-genre yang awalnya dianggap niche, seperti lo-fi house hingga seapunk atau vaporwave melonjak. Views mereka meningkat (awalnya karena autoplay), lantas disorot media musik arus utama, jadilah algoritmanya, dan berarti popularitasnya, turut meningkat. Namun persoalannya, yang populer adalah genrenya. Bukan si pencipta lagu, musisi, atau produser. Sosoknya tak penting. Rekomendasi YouTube (atau Spotify) hanya membuat kita fokus pada genre sejenis.
Itu konsekuensi wajar ketika jasa streaming memprioritaskan penggalian data demi menentukan musik yang disukai pendengar. Keunikan dan brand pribadi musisi menjadi tidak terlalu penting. Apalagi kemampuan perusahaan teknologi mengkurasi sound yang menghasilkan lagu-lagu populer secara algoritma adalah kunci utama bisnis mereka. Seorang staf dari label indie besar, yang meminta namanya dirahasiakan, mengatakan pada Noisey bahwa musisi dengan basis penggemar besar bisa kesulitan meraup pendapatan layak dari bisnis streaming. Alasannya lagu-lagu mereka tidak mudah masuk ke dalam parameter algoritma populer budaya playlist. Sebaliknya musisi yang kurang dikenal justru bisa meraup penghasilan lumayan dari streaming karena musik mereka mudah diadaptasi untuk berbagai playlist.
Jika tren ini terus berlanjut, kita bisa saja suatu hari terbangun dan menyadari peran musisi sudah tidak diperlukan.
Contoh ekstrem lain dari kecenderungan streaming bergantung kepada statistik adalah saat ditemukan kontroversi “musisi palsu” Spotify beberapa waktu lalu. Seorang musisi tak dikenal menggunakan nama samaran—banyak dari mereka berafiliasi dengan perusahaan musik bebas royalti yang dimiliki investor Spotify juga—mendapat jutaan play lewat playlist genre ambient di Spotify. Artinya, Spotify mulai menyodorkan musik buatan mereka sendiri dengan bungkus playlist. Persis seperti minimarket Indonesia menyodorkan minyak goreng atau air mineral merek sendiri. Ketika ditanya apa sebetulnya yang terjadi, juru bicara Spotify mengatakan pada New York Times, “Kami memiliki kebutuhan terus mengisi konten. Kami bekerja dengan orang-orang yang tertarik memproduksi konten tersebut.”
Sesungguhnya, cara Spotify memperlakukan lagu sebagai semata sebagai data inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi musisi menghadapi era streaming. Dulu kita menilai musik ciptaan seseorang sebagai “seni”, dan musik yang kita dengar di mal, ruang tunggu dokter sebagai latar lift sebagai bebunyian generik. Sekarang yang terjadi kebalikannya. Era streaming membuat batasan mana yang musik dan mana yang sound generik menjadi kabur. Streaming mengarahkan kita menilai semua jenis musik sebagai alat untuk menciptakan “momen” spesial dalam hidup.
Dalam sistem ekonomi berbasis momen ini, banyak musisi terpaksa melepas mimpi mereka cari nafkah dari karya seni. Seorang teman musisi mengatakan pada Noisey, “Kerja delapan jam sehari terasa lebih tidak memicu stres daripada harus mencurahkan waktu mencari celah biar bisa masuk Spotify.”
Apabila kita tidak hari-hati, peradaban ini bisa berakhir dengan dunia di mana musisi bukanlah seniman, tapi “tenaga kreatif”, semacam orang-orang yang diminta menciptakan musik untuk cafe trendi atau gym tanpa berusaha kehilangan aura pemberontak karena masih bisa dandan nyentrik dan memiliki tato.
Jika tren ini terus berlanjut, kita bisa saja suatu hari terbangun dan menyadari peran musisi sudah tidak diperlukan. Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat. Google saat ini tengah mengupayakan jaringan neural menciptakan musik orisinal, sementara Spotify memperkerjakan seorang ahli komputer yang bertugas mengajari AI (Kecerdasan Buatan) meniru berbagai bentuk jenis musik populer.
Sebelum kita marah-marah karena mesin akan mengambil alih masa depan manusia seperti film Terminator, perlu diingat tidak semua musisi bertujuan mencari uang dari musik. Mereka yang menciptakan musik karena gairah, pastinya tidak akan berhenti hanya karena takut program komputer menolak memasukan lagu ke dalam playlist Spotify makan siang seseorang. Peluang masih ada.