Lebih dari 400 Mantan Napi Teroris tak Terpantau Pemerintah

Efektivitas pemberantasan terorisme di Indonesia kembali menjadi sorotan. Lebih dari 400 mantan narapidana kasus terorisme kini tidak diketahui keberadaannya, menurut Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir.

Menurut Kadir, sekitar 600 napi kasus terorisme sudah bebas hingga 2016. Sebanyak 184 masih terpantau oleh aparat. Hal ini memicu kritik bahwa sudah saatnya pemerintah mencari jalan lain yang lebih efektif, terutama dalam soal monitoring. Apalagi setelah ada kasus bom molotov di Samarinda akhir tahun lalu yang ternyata pelakunya adalah mantan narapidana terorisme. Begitu pula kejadian peledakan bom panci di Bandung yang dilakukan alumnus pelatihan militer ISIS di Aceh. Polisi sebetulnya sudah mengenal sosok Yayat Chadiyat, namun tidak ada pengawasan terhadap sosoknya, sehingga akhirnya dia beraksi di Cicendo.

Videos by VICE

Pengamat terorisme Taufik Andrie dari Yayasan Bridging Without Prejudice mengatakan tak terdeteksinya 400 mantan napi menunjukkan perlunya pemerintah memiliki program pendampingan komprehensif setelah masa tahanan berakhir. “Program deradikalisasi tidak boleh hit n run, alias berhenti pada masa tahanan saja,” kata Taufik kepada VICE Indonesia. “Jadi program deradikalisasi ini harus panjang. Karena selama ini kan tidak mengakar dan tidak kontinyu.”

Dalam ketentuan undang-undang pemasyarakatan, seseorang yang menjalani hukuman mendapat pembinaan, jika seseorang sudah bebas bersyarat, dia mendapatkan program pembimbingan. Menurut Taufik, sebetulnya pendampingan ini wajib dilakukan seperti amanat UU. “Entah ada kekurangan di beberapa sektor, hal tersebut jadi tidak maksimal. Pengelolanya, Balai Pemasyarakatan di bawah Dirjen Pemasyarakatan, tidak punya mekanisme monitoring dan empowering yang memadai, mereka cenderung melakukan kerja-kerja administratif.”

Kritik terhadap konsep deradikalisasi juga disampaikan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah. Sejauh ini, konsep deradikalisasi mantan napi teroris masih terlalu kabur. “Modalnya sekedar melakukan stereotype kepada kelompok tertentu dengan ciri-ciri tampilan fisik dan lan-lain. Model program yang tidak komprehensif menangkal radikalisasi mulai dari Hulu sampai hilir tidak dilakukan dengan serius,” ujarnya.

Jika memang si napi membutuhkan empowerment ya dia harus didampingi agar dia memiliki ruang sosial baru. “Tapi jika dari awal assessment menunjukkan bahwa napi tersebut tidak bisa menerima program apapun, maka yang digunakan adalah mekanisme monitoring,” kata Taufik.

BNPT, intelijen, dan lembaga pemasyarakatan harus aktif. Hal ini juga bisa dilakukan dengan mengajak aktor non-negara seperti NGO dan tentu masyarakat. Selama ini publik tak pernah diberikan akses informasi seberapa jauh program tersebut berhasil, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya serangan teroris.

Pemerintah sejak 2014 sudah melakukan program deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan. Program tersebut termasuk dakwah, kontra-ideologi, dan wawasan kebangsaan. “Deradikalisasi ini memang sulit, meski bukan mustahil,” kata Taufik. “Proses deradikalisasi lama dan hasilnya belum bisa diukur karena selalu mengutamakan perubahan ideologi dan pemikiran kognitif. Disengament ini lebih kepada perubahan perilaku dan lebih terukur. Misalnya seberapa jauh dia bisa menghindari kekerasan dan tidak berjejaring dengan kelompok lama.”

Menurut Taufik, program deradikalisasi harus mencermati satu per satu akar masalah pada narapidana terorisme. Program yang ada sekarang tidak berdasarkan pendampingan dan penilaian per individu.

“Deradikalisasi itu merupakan jalan panjang, harus dicermati satu per satu akarnya. Kita harus melihat dulu subyek per subyek, apakah yang bersangkutan ini menerima program atau tidak. Problem mendasar terletak pada konsep atau program desainnya,” kata Taufik.